BATAVIA’s DIARY : Ramadhan Ibukota

[Dok. Pribadi]
●-o-●-o-●-o-●
.
Dear Diary,
.
Ini Ramadhan pertamaku di kota Batavia. Dibandingkan dengan Maninjau yang sama-sama merupakan tempatku merantau, tentu ada begitu banyak perbedaan yang hadir diantara keduanya.
.
Maninjau begitu tenang. Pelosok tepi danau nan indah, saban maghrib di sana terasa begitu syahdu, terlebih bila seisi pesantren diundang berbuka di rumah-rumah penduduk. Aih, nikmatnya.
.
Djakarta tak begitu. Sempurna berbalik 180 derajat. Di Ibukota, gema alunan adzan berbuka, lumrah terdengar beriring bersama dengan bunyi klakson jalanan. Saling bersahut, di tengah puncak kemacetan metropolitan.
.
Bahkan di hari pertama Ramadhan, aku genap melewatkan waktu berbuka di atas sepeda motor yang asyik menyibak kerumunan panjang antrian kendaraan. Dengan sebiji kurma, bismillah, sambil tetap menge-gas laju, berbukalah kami ketika itu.
.
Apakah terasa cukup menyenangkan? Ah, tentu tidak, kawan. Seorang diri, jauh dari kehangatan rumah tempat keluarga terdekat berada, bahkan seraya melibas macet bersama kepulan debu dan asap knalpot, siapa yang bisa mengatakan itu momentum yang sempurna, bukan? Ehe.
.
Tapi begitupun, aku kemudian belajar satu pemahaman yang baik. Bahwa di hari pertama Ramadhan kami tersebut, tatkala tiba adzan maghrib, aku menyaksikan orang-orang yang kian bergegas menepikan kendaraan mereka. Sibuk meraih bekal, -makanan ringan, snack kecil, atau bahkan air minum di termos-, lalu ringan melanjutkan berbuka puasa.
.
Aih. Begitu damai. Begitu menyentuh.
.
Aku percaya masih ada banyak orang-orang baik di kota ini. Orang-orang yang semangat penuh  gegap gempita menyambut datangnya bulan suci Ramadhan. Orang-orang yang bahkan ketika adzan maghrib berkumandang, lebih memilih berhenti sejenak untuk menyegerakan berbuka, ketimbang ngotot menerobos kemacetan yang tinggal sejenak lagi. Orang-orang sabar, yang tak satupun di antara mereka mengeluh, karena memang demikianlah adanya realita di Ibukota ini.
.
Ah, ini kiranya salah satu bentuk syukur paling sederhana yang pernah aku lihat. Sekalipun riuh ramai deru kendaraan di atas jalanan, masih ada banyak manusia-manusia yang mengingat Rabb-nya dengan kadar keimanan mereka masing-masing. Bukankah dari sini kita bisa belajar banyak?
.
“Allah tidak akan menyiksamu, jika kamu bersyukur dan beriman. Dan Allah Maha Mensyukuri, Maha Mengetahui..” -(An Nisaa [4] : 147)
.
Kukira aku makin jatuh hati dengan Ibukota ini. Entahlah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CERBUNG : Mimpi di Ujung Meja Hijau (Bagian Akhir)

CERBUNG : Mimpi di Ujung Meja Hijau (Bagian 2)

RIHLAH MALAYA : Linimasa Bagian Kejutan