PERGI (untuk) KEMBALI : Djakarta

Diunduh dari : https://pxhere.com/en/photo/1377752


Djakarta. Tak pernah terbayang, bahwa suatu hari nanti saya akan menjadi bagian dari hiruk pikuk kota metropolitan ini.


Sekedar berkunjung atau berwisata 1-2 kali, masih cukup oke lah bagi saya pribadi. Namun untuk hidup luruh bersama seluruh gegap gempita Jakarta dan segala ihwal permasalahan sosialnya? Ah, kawan, saya kira negeri kita ini masih cukup luas untuk sekedar mencari tempat bermukim, bukan?


Ada kota Solo yang selalu menjadi salah satu pilihan utama saya. Kecil, hangat, serba berdekatan, dan tentu tak seramai Ibukota kita ini. Atau ada pula Yogyakarta, tanah para sultan yang selalu dan selalu membuat saya rindu untuk sekedar mampir sejenak. Adem ayem, dikenal luas sebagai kota pelajar, dan yang paling membuat bangga tentu karena masyarakatnya yang luar biasa amat santun kepada para pendatang. Ditambah beberapa kota lainnya, tetap masih ada banyak pilihan selain Djakarta, bukan?


Tapi, hehehe, apa daya… Misteri hidup memang luar biasa misterius. Manusia hanya bisa berusaha, namun di atas segalanya, ada Dia yang Maha Menentukan. Apa yang saya sebut sebagai ‘tak pernah terbayangkan’ di atas, rupanya malah jadi kenyataan yang harus saya bayangkan sedari sekarang. Maka ya, kabar itu benar, akan ada noktah baru dalam lembar kehidupan saya. Noktah bernama : Djakarta.


2 pekan pertama di Djakarta, ada banyak hal baru yang saya temui. Kenalan baru. Rumah baru. Rutinitas baru. Masyarakat baru. Lingkungan baru. Beberapa membantu menguatkan pondasi saya dalam beradaptasi, namun beberapa yang lain justru mengenalkan saya lebih jauh perihal kota ini.


Djakarta? Kesan terbaik kedua saya tentang kota megapolitan ini ialah : penuh dengan paradoks! Hal-hal yang berlawanan saling berpadu sisi di tempat ini. Malam yang tetap menggeliat ramai, sunyi yang kerap terasa di tengah keriuhan, pemukiman kumuh yang menyemuti para pencakar langit, berita hoaks yang justru tumbuh subur bak jamur di tengah sumber kebenaran informasi , atau harga nan mahal untuk aneka kebutuhan hidup meski kota ini berstatus pusat segala barang serta bahan.


Masih adakah yang lain? Banyak.


Tapi sebanyak apapun itu, saya akhirnya menyadari satu hal penting. Satu hal yang kemudian saya pilih sebagai kesan terbaik tentang Djakarta itu sendiri.


Bahwa seberisik apapun Djakarta untuk kita semua, sekeras apapun kehidupan di atas kota ini, semacet apapun jalanan di se-antero kota ini, setimpang apapun strata sosial di sudut-sudut tersempit gang kota ini, Djakarta tetap merupakan kumpulan mimpi serta harap bagi segenap penghuninya. Perantau atau bukan, semua bersatu padu penuh bangga menggelar cita-cita mereka di bawah langit-langit kota Djakarta!


Ada yang datang untuk mencari kesempatan lebih baik. Ada yang bertahan demi sekeping nafkah yang lebih layak.


Ada yang datang untuk mengejar apa yang tak ada di tanah asal. Ada yang bertahan demi meneruskan warisan para leluhur.


Ada yang datang untuk meningkatkan kualitas diri. Ada yang bertahan demi menyiapkan jalan terbaik bagi sanak famili.


Dan untuk itu semua, masa kan saya tak angkat topi sedikitpun? Oh, tentu tidak, bujang. Justru kepada mereka lah saya menaruh salut setinggi-tingginya! Karena ini mimpi-mimpi mereka, bung! Karena ini suara hati mereka, tekad yang mempersatukan takdir kita bersama di atas Djakarta!


Dari para pejabat hingga sekalian rakyat. Dari mereka yang tinggal di daerah penyangga, hingga ujung negeri sekalipun. Semua tumpah ruah, bersinggung rasa, memperjuangkan apa yang menjadi alasan keberadaan mereka di atas sepotong tanah bernama Jakarta ini.


Ah, maka untuk itulah, wahai segenap penduduk Djakarta, -di dunia nyata maupun maya, di alam gaib maupun di alam fana-, saya mohon izin ya, untuk sekedar numpang tinggal bersama Anda sekalian; ikut menggelar tikar tempat mimpi-mimpi saya berada. Karena meski kita berlain tujuan di ujung sana, namun toh setidaknya kini kita berada di potongan keping takdir yang serupa, bukan? Di atas kota yang kemudian menyatukan segala petatah-petitih perbedaan kita : Kota Djakarta.


Jadi, boleh kan? Geseran dikit ya…


o-●-o-●-o-●-o-●

Photo Taken by @zuhair_najm
Photo Taken at Galeri Nasional, Jakarta

o-●-o-●-o-●-o-●

Di bawah langit Djakarta,
5 Muharram 1439 H

o-●-o-●-o-●-o-●

PS : Insya Allah, untuk ke depannya, saya akan memulai satu edisi khusus seputar hari-hari saya yang berputar di antara semrawutnya Jakarta ini. Nantikan Batavia’s Diary. Segera! ^__^

Komentar

Postingan populer dari blog ini

A-Ambisi

M-Menelusuri Asal Muasal Nama Ibukota

KEPING PERTAMA : Garis Nadir

KEPING KELIMA : Aroma Hujan