G-Gisting

[Source : Here]

Gisting sejatinya adalah tentang proses asimilasi. Perjalanan maha panjang pencampuran budaya pendatang dengan masyarakat lokal Lampung, yang berpadu padan menjadi satu kesatuan nan majemuk.

Gisting terletak di Kabupaten Tanggamus,  Lampung. Dari pelabuhan Bakauheni, kami masih membutuhkan kisaran waktu 4-5 jam perjalanan darat via bis umum sebelum tiba di daerah ini. Meski sejatinya daerah ini terletak di Pulau Sumatera, namun rasa-rasanya kami seakan masih berada di Pulau Jawa, yang  lengkap dengan nuansa desanya.

Dari cerita Ibunda ustadz Dinar, kawan tempat kami bermalam selama singgah 3 hari di Lampung, barulah kami mengerti bahwa memang mayoritas masyarakat di sini adalah para transmigran pendatang dari berbagai daerah di Jawa. Mereka datang dengan segudang harap, membuka lahan, merintis usaha, lalu perlahan mulai ikut mewarnai Gisting dengan budaya tempat tinggal mereka sebelumnya. Maka disinilah proses asimilasi dan adaptasi itu terjadi.

Lalu apakah proses asimilasi tersebut berjalan lancar dan mulus begitu saja? Tidak juga. Sebagaimana setiap proses adaptasi pada umumnya, ada beberapa pihak lokal yang secara perlahan mulai tersisih dan terpinggirkan dengan kedatangan kaum pendatang. Jika dulu sangat wajar apabila kita menemukan penduduk lokal yang memiliki tanah berhektar-hektar luasnya,  maka kini, tanah-tanah tersebut telah banyak yang beralih kepemilikan ke tangan para pendatang. Beberapa bersebab tuntutan ekonomi, lainnya dijual daripada tak terurus. Walhasil, jadilah kini banyak tanah penduduk lokal yang berpindah tangan ke para pendatang dari Jawa, menciptakan satu perkampungan baru yang dipenuhi orang-orang Jawa lengkap dengan ke-khas-an budaya serta bahasa mereka. Termasuk salah satunya rumah kawan kami ini, Ustadz Dinar.

Saking kentalnya dengan budaya Jawa, terkadang saya sampai harus menepuk pipi saya sendiri,
supaya lekas sadar bahwa sesungguhnya daratan yang kami pijak saat ini adalah bagian paling ujung dari tanah Andalas: Provinsi Lampung, yang meski beraneka warna budaya dan ragam, tetap asyik untuk dinikmati, tetap seru untuk dikunjungi, dan tetap seru untuk dijelajahi.

Penuh rindu, desa Jawa ala Gisting.


-------------------

[Dok. Pribadi]

In Frame: Gisting juga mempersaudarakan kami para perantau dari berbagai wilayah Nusantara. Paling kanan ada adik kelas kami, Rifki Luqman, seorang asli Magelang yang kini telah jadi warga Kupang, Nusa Tenggara Timut. Di tengah ada tuan rumah kami, Ust Dinar, yang secara garis keturunan juga bermula dari Magelang, namun kini telah menjadi bagian dari masyarakat Gisting, Lampung. Sebelah kiri ada saya, keturunan marga Batak yang telah terpapar budaya halus wong Solo selama lebih dari 10 tahun.


Hehehehe....Dua hal yang kemudian menyatukan kami bertiga dalam kelindan takdir yang sama: GISTING dan tanah rantau nan sunyi MANINJAU.

Komentar

  1. Semoga tidak berpindah tangan ke pihak asing saja, Kak 👍👍🙏

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dan apakah definisi Asing itu? Apakah hanya mereka yang bukan setanah air Indonesia, atau dapat diartikan juga sebagai semua yang berasal dari luar daerah?


      Hehehe.. Becanda aja atuh... ^-^

      Hapus
  2. baru dengar daerah gisting ka, kapan2 main ah ke sana hhe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bisa cek peta kak.. Ternyata Indonesia itu luaaaas buangeeet...! hehe

      Hapus
  3. Terima kasih telah memperkenalkan gisting pada kami

    BalasHapus
  4. Kayak belajar ekonomi hahaha 👍

    BalasHapus
  5. Enaknya punya saudara baru di tanah rantau

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah. Sebagai ganti dari yang ditinggalkan di kampung halaman.

      Hapus
  6. Penduduk lokalnya yang perlahan tersisih...jadi agak sedih

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

BATAVIA’s DIARY : Ramadhan Ibukota

Mengenal Bang Zen, Sohib Aliyah di ODOP Batch 7

BATAVIA’s DIARY : Dari Pinggir Jendela

KEPING KEDUA PULUH : Tentang Niat, Tentang Karsa