BATAVIA’S DIARY : Mati Rasa


Dear Diary,

2 tahun hampir berlalu. Tentang Ibukota, apa kabarku?

Jika dahulu di masa-masa awal kedatanganku di Ibukota aku setengah mati membenci lalu-lalang kemacetan yang saban detik terjadi, kini beberapa saat kemudian, entah kenapa rasanya aku mulai terbiasa dengan itu semua.

Jika dulu macet yang sekejab sudah sanggup membuatku manyun berjam-jam, mengeluh sepanjang hari, sekarang semua terasa…… biasa.

Aku kehilangan empati dan simpati. Bahkan beberapa kali, aku pernah berjalan menyibak macet tanpa memikirkan apapun. Hanya berjalan menerabas antrian kendaraan di hadapan. Mengikuti arus dan terus menerjang maju.

Tentang Ibukota, apa kabarku? Ah seiring waktu, sejujurnya memang ada yang kian berubah dalam diriku.

“Tapi bukankah itu pertanda baik? Itu artinya kamu sudah berhasil sebagai manusia. Untuk beradaptasi. Untuk menyesuaikan diri...” kata seorang kenalan.

Yup. Memang betul. Tapi dalam skala yang lebih luas, itu mulai membuatku bertambah khawatir.

Seiring waktu, itu terjadi tidak hanya pada kasus kemacetan saja. Mati rasa tadi, juga mulai merambah menuju nilai-nilai moral yang selama ini aku anut keyakinannya.

Sebagai pembanding sederhana, jika dahulu di Solo atau di Maninjau tiap melihat para peminta lusuh menyorongkan tangan meminta sedekah hatiku seakan terketuk, empatiku seperti maju menyongsong ke depan, kini di Jakarta…..hampir tidak lagi, boi.

Alih-alih memberi sekedar recehan di kantong baju, tak jarang turut mencuat pula pikiran negatif di kepala, seperti “ah, jangan-jangan dia cuma mau nipu nih…” atau “dasar orang males ah, bisanya cuma minta-minta aja..”.

Simpatiku hilang. Berganti antipati yang justru kian tumbuh subur membesar.

Di titik itu, aku bahkan berpikir, jangan-jangan Ibukota memang sedang mencoba mengikis kemanusiaanku. Jangan-jangan Ibukota memang ikut serta meniadakan kepedulian sosialku.

Itu nyata. Bahkan bukan hanya terjadi sekedar untuk aku seorang diri.

Datanglah ke Ibukota. Bertahan hiduplah barang sebulan-dua bulan. Tengoklah dari pinggir-pinggir jembatan kota. Telisiklah keramaian jalanan tempat rakyat jelata berlomba mencari sesuap nasi. Atau singgahlah ke stasiun dan terminal. Adakah yang sedia peduli?

Untuk itulah, maka mengapa cerita ini kutuliskan. Agar orang-orang mengerti, bahwa ada suatu hal mendasar yang harus kita ubah dari negeri kita ini.

Ada yang salah, tapi dimana? Dari titik itulah kita bergerak mencari tahu. Sebagai ikhtiar untuk menjawab tanya barusan, sebagai bagian untuk memenuhi country call, panggilan bakti bagi negera kita tercinta.

Dear Diary, aku akhirnya tiba pada satu simpul keputusan.

Bahwa untuk menghapuskan keresahan dan kegelisahan barusan, kita perlu bergerak serta berbenah bersama. Mencari orang-orang yang turut sedia peduli, agar mati rasa ini tak kian menjalar ke sekujur tubuh, agar mati rasa ini tak serta merta bulat-bulat menelan seluruh hati kemanusiaanku.

Untuk itulah kita disini.
Di Ibukota, di medan tempur sesungguhnya bagiku.
Bagi kita.

------------------

Pinggir Ibukota,
1 Rajab 1441 H - 17.36
Padamu Negeri.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

M-Menelusuri Asal Muasal Nama Ibukota

Mengenal Bang Zen, Sohib Aliyah di ODOP Batch 7

Memaknai Perjalanan

KEPING KEDUA PULUH DELAPAN : Jejak Kebermanfaatan