ZAKAT dan GAYA HIDUP KITA


Source : Here

------------------------

Siapa yang tak kenal potensi Zakat?

Puluhan seminar, ratusan paper, ribuan diskusi boleh jadi telah jamak dilalui segenap mahasiswa Islam di Indonesia terkait dengan potensi Zakat dalam rangka mengentaskan kemiskinan di negeri tercinta. Tapi adakah yang sedemikian itu telah berhasil berpengaruh banyak pada realita di lapangan?

Mungkin sudah. Mungkin belum.

Ini menarik untuk dikaji lebih lanjut, meski saya pribadi sedang dalam posisi untuk menyetujui pendapat : sudah, tapi baru sedikiiiit sekali.

Mengapa?

Pertama, jumlah penduduk miskin Indonesia per Maret 2019 masih 25,14 JUTA orang. Itu hampir 2,5 kali lipat dari jumlah penduduk DKI Jakarta. Dan kedua, meskipun ada penurunan presentase kemiskinan yang cukup signifikan di tingkat Nasional (dari 9,66% menjadi 9,41%) pada tahun 2019, zakat masih belum menjadi salah satu faktor utama di balik hal tersebut. Berdasarkan catatan BPS, faktor-faktor yang berpengaruh besar terhadap turunnya presentase angka kemiskinan tadi adalah naiknya rata-rata upah riil buruh per hari, kecilnya angka inflasi, dan penurunan harga eceran beberapa komoditas.

Zakat, Sedekah, Infaq, dan Wakaf (ZISWAF) memang mempunyai potensi besar untuk pemerataan kekayaan. Itu betul. Terlebih dalam konsep Ekonomi Islam. Tapi mengapa belum berhasil secara signifikan?

Nah ini dia.

Tentu ada banyak faktor. Perlu riset yang lebih mendalam untuk merumuskan kesimpulan akhir terhadap probelamtika di atas.

Namun jika saya boleh berpendapat, boleh jadi salah satu penyebabnya adalah, gencarnya ajakan untuk ber-ZISWAF pada hari ini, masih belum diikuti semangat yang sama untuk mengkampanyekan kesadaran dalam rangka mengurangi pola hidup konsumtif di tengah masyarakat. Alih-alih menggunakan bantuan ZISWAF tersebut untuk hal-hal yang bersifat investasi dan produktif, masyarakat kita masih begitu sering sekedar menggunakannya dalam kegiatan konsumsi yang serba habis.

Pola hidup konsumtif jelas amat merugikan secara jangka panjang. Uang akan ikut habis bersamaan dengan habisnya barang yang dikonsumsi. Lalu ketika itu terjadi, darimana orang akan mendapatkan ganti uang yang pergi?

Oleh karena itu, dakwah kita untuk saat ini bukan sekedar menyeru masyarakat untuk berzakat, bersedekah, berinfaq, ataupun berwakaf. Namun juga harus dibarengi dengan memperbanyak seruan berhemat, menyisihkan sebagian pendapatan untuk investasi jangka panjang, dan mengurangi pola hidup yang serba konsumtif.

Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu pernah menasihatkan kepada 'Ashim sang anak, "Wahai anakku, makanlah hingga sekedar separuh perutmu, dan janganlah kamu membuang bajumu sebelum rusak. Juga janganlah kamu termasuk segolongan kaum yang menjadikan semua rezeki pemberian Allah habis semata demi urusan perut dan punggung mereka."

Duhai alangkah indahnya. Adakah keluarga kita hari ini yang masih seperti demikian dalam menasehati anak-anak mereka? Hehe....

Ketika saya memikirkan gagasan ini, teringatlah saya pada suatu ayat mulia dalam Surat Ar Ra'd ayat 11, "Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah kondisi suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri..."

Memang benar. Itu semua kembali kepada sikap kita selaku seorang manusia. Sebanyak apapun harta kita, sebanyak apapun bantuan yang diberikan pemerintah, sebanyak apapun zakat/infaq/sedekah yang disalurkan kepada masyarakat kita, apabila tidak dibersamai dengan edukasi untuk berhemat, untuk hidup di atas nilai-nilai kesederhanan, dan menghindari pola hidup serba konsumtif, pada akhirnya semua itu hanya akan membawa kita kembal ke titik nol.

Tidak mengubah apapun. Tidak tuntas mengentaskan kemiskinan. Dan tidak menaikkan level masyarakat kita dari golongan mustahik menuju kalangan muzakki. Semua bantuan tersebut akan habis, dan masyarakat kita ya begitu-begitu aja.

Saya kira ajakan untuk mengurangi pola hidup konsumtif ini senada dengan banyak perintah kebaikan dalam agama Islam. Seperti perintah untuk bersyukur, qonaah, tawadhu', zuhud, dan masih banyak lainnya.

Itu artinya, Islam sedari dulu sudah mengatur, bahwa perkara Zakat / Infaq / Sedekah ini bukan semata tentang mekanisme pengumpulannya di area hulu (orang-orang mampu), namun juga telah lengkap mengatur hingga ke titik hilir (bagaimana sikap mengelolanya).

Ini yang masih kerap kita lupakan. Dan kiranya ini juga yang perlu menjadi agenda besar kita untuk ke depannya. Tidak perlu menjadi seorang dai untuk turut berkontribusi dengan permasalahan ini. Cukup dengan menjadi generasi muda yang ikut peduli dengan nasib bangsa dan umat tercinta. Iya. Itu kita kan?

------------------------

Tebet,
28 Jumadil Awal - 15.38
Tulisan Pertama di Tahun 2020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BATAVIA’s DIARY : Ramadhan Ibukota

Mengenal Bang Zen, Sohib Aliyah di ODOP Batch 7

BATAVIA’s DIARY : Dari Pinggir Jendela

KEPING KEDUA PULUH : Tentang Niat, Tentang Karsa