KEPING KEDUA PULUH DUA : Tentang Ketenaran


1 juta like. 
2 juta viewer. 
3 juta follower. 
4 juta subscribers.

Bilangan-bilangan yang terus dikejar, demi satu bentuk kepuasan akan makna kesempurnaan. Olehku. Olehmu. Oleh kita.

Itu baik. Sungguh. Selama niat kita sempurna utuh demi kebermanfaatan pada sesama, tanpa melanggar maksud murka Ilahi, seraya membentengi darinya keberadaan ujub, takabbur, riya, dan sum’ah; mengapa tidak?

Namun juga jangan terlupa, bila ketenaran pun pada hakikatnya adalah sebentuk tanggung jawab. Ujian amanah, yang tentu bakal dimintai mas’uliyyah (pertanggung jawaban) nya kelak ketika di persidangan akhirat.

Tentang apa? Perihal tontonan yang menjadi tuntunan di tengah khalayak pengikut kita. Karena bila ditelisik lebih jauh, ketenaran kiranya tak berbeda jauh dengan kepemimpinan itu sendiri. Mengajak dan mempengaruhi orang-orang di sekitar untuk turut meniru dan membiasakan dengan segala yang kita pertunjukkan. Dan itulah yang mesti kita pertanggung jawabkan kelak.

Kisah Imam Ahmad mungkin dapat menjadi gambaran utuh bagi kita.

Syahdan pernah disebutkan, bahwa suatu ketika ada seorang sipir penjara yang karena merasa kasihan melihat penderitaan beliau, lantas menyarankan, “Kasihanilah dirimu hai Syaikh, sungguh umurmu telah tua, dan tubuhmu penuh uzur, maka ambillah rukhshah (keringanan); katakan apa yang mereka suka asal hatimu tenteram dengan iman…”

Lalu apa kata Imam Ahmad? Seraya tersenyum beliau menjawab, “Lihatlah! Penduduk Baghdad duduk di pintu rumahnya, memegang kertas dan pena, siap menulis apapun yang terucap dari lisan ‘ulama. Maka pantaskah Ahmad selamat, tetapi manusia menjadi sesat?" Dan beliaupun terus beristiqomah.

Duhai, ketenaran seharusnya disikapi dengan segenap bijaksana. Terlepas apapun peranan yang dimainkan -entah itu ulama, pemimpin, figur publik, atau artis dunia maya sekalipun-, tanggung jawab di hadapan langit tak akan pernah sirna.

Bagaimana dengan ketenaran tersebut, kita dapat membawa rantai kebaikan bagi umat, mencegah kejelekan di antara sesama masyarakat, dan mengubah arus kerumunan menjadi setumpuk kekuatan perubahan di berbagai bidang kehidupan.

Juga bagaimana dengan kebenaran tersebut, kita dapat mengatakan kebenaran, mengungkapkan pandangan ke depan, dan membawa secercah sumbangsih bagi peradaban. Bukan semata bersebab pada keuntungan konten duniawi semata, namun juga tetap menatap laju pada urusan akhirat nanti.

Itu yang berat. Lalu siapkah?

o-●-o-●-o-●-o-●

NB: Sama halnya dengan sosok di balik tulisan ini. Semoga seluruh konten yang ada di gerai virtual ini dapat membawa kebermanfaatan akhirat pada yang melihat, sekalipun hanya secercap kecil dari lapisan di udara. Bila tidak, mohon kiranya diingatkan. Pun bila sempat ada, saya izin memohon maaf dan maklum. Agar tiada kesia-siaan yang kelak harus dipertanggungjawabkan di hadapan Dzat Yang Maha Melihat.    

o-●-o-●-o-●-o-●

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BATAVIA’s DIARY : Ramadhan Ibukota

Mengenal Bang Zen, Sohib Aliyah di ODOP Batch 7

BATAVIA’s DIARY : Dari Pinggir Jendela

KEPING KEDUA PULUH : Tentang Niat, Tentang Karsa