BATAVIA’s DIARY : Dari Pinggir Jendela

[Dok. Pribadi]

o-●-o-●-o-●-o-●
.
Dear Diary,
.
Akhir-akhir ini, saya suka sekali berkeliling Ibukota dengan moda transportasi bis TransJakarta.
.
Murah meriah, cukup 3500 rupiah, saya sudah bisa bepergian dari ujung ke ujung, selama belum keluar dari halte pemberhentian.
.
Tapi bagian yang paling asyik adalah saat-saat ketika saya berada di pinggir jendela bis. Duduk takzim menatap pemandangan di luar, lalu -ah- waktu seakan ikut berhenti terdiam.
.
Pikiran saya berputar-putar dilamun cakrawala angan. Menghitung peradaban. Mengukur pencapaian. Tentang negeri ini.
.
Di tepi jalan, orang-orang pinggiran berjalan tanpa alas kaki. Di pinggir pusat perbelanjaan, borjuis-borjuis mengantri memanggil antrian taksi.
.
Di tengah-tengah keramaian, angkasa awan dikoyak oleh kehadiran pencakar langit. Bumi pertiwi dikeduk begitu dalam, demi memancangkan paku-paku pondasi penopang tanda kegagahan di atasnya.
.
Bis masih terus berjalan.
.
Ibukota, jelang petang, jutaan manusia silih-berganti masih terus berlalu lalang. Malam tak pernah lagi sekedar menjadi batas untuk kita berpulang. Sekalipun surya menghilang, lampu-lampu canggih yang ribuan jumlahnya siap mengubah gelap temaram selayak terang benderang.
.
Metropolitan selalu riuh ramai. Entah semua ini memang nyata kiranya, atau sekedar metamorfosa sunyi yang sekedar dipaksakan. Karena kian kemari, kekosongan pertanda sepi itu kian terasa. Jarak antara kita makin merenggang, hubungan sesama insan pun justru bertambang senggang. Jiwa yang hampa, bukan lagi suatu hal baru di tanah  belantara beton ini.
.
Bis yang saya naiki masih terus menyibak kemacetan.
.
Saya tahu, ada banyak orang-orang baik di kota ini. Orang-orang yang memberi kehangatan seraya berbagi kebaikan. Saya tahu, sebab dari pinggir jendela tempat saya membuang pandangan, orang-orang seperti mereka tentu tak akan terluput begitu saja.
.
Mereka orang-orang yang sedia untuk peduli. Tak sungkan menolong yang lemah, tak ragu memberi kesempatan bagi yang membutuhkan. Mereka para pengendara yang berhenti sejenak membiarkan para pelintas menyeberang jalan. Mereka para penumpang kendaraan umum yang tak akan membiarkan seorang tua renta dan ibu hamil berdiri di sepanjang sisa perjalanan. Juga mereka kadang berwujud sebagai petugas negara yang sibuk berteriak mengatur kendaraan-kendaraan rewel di perempatan jalan.
.
Ketika adzan berkumandang, tak sedikit dari mereka-mereka itu yang bergegas mengejar seruan tersebut di surau-surau terdekat. Mencari sekeping kedamaian dari sejenak kewajiban ibadah yang ditunaikan di sudut-sudut Metropolitan. Mereka orang-orang yang baik. Saya percaya itu. Tapi adakah itu cukup?
.
Bis masih melaju. Perlahan. Tersendat-sendat berhubung macet tak kunjung teruraikan.
.
Saya di tepi jendela perlahan kian terbuai kantuk. Bahkan, ini sudah ketiga kalinya saya terantuk besi pegangan di pinggir kaca. Apa boleh buat, pemandangan di luar justru menambah penat kebingungan di bilik-bilik benak yang sudah terlanjur lelah.
.
Ada yang sedang sakit di negeri ini. Bila penduduk dan pemerintahnya menolak dikatakan sakit, boleh jadi Ibukota ini yang terlampau tua untuk menanggung seluruh beban kehidupan penghuni di atasnya. Sehingga peradaban yang seharusnya menjadi suar pemancar kebahagiaan, justru perlahan digerogoti pekat yang membawa penderitaan, menyambut kepalsuan, dan menghapus senyuman dari segenap masyarakatnya.
.
Entahlah. Bis terus melaju. Sedang aku , aduh, rupanya sudah asyik terlelap dalam mimpi bersamamu.
.
o-●-o-●-o-●-o-●

Komentar

  1. Balasan
    1. Sebenarnya jatuhnya bukan diary sih, kak... Lebih kepada catatan santai seputar kehidupan yang berkelindan di Ibukota dari sudut pandang saya sebagai penulisnya.

      Hapus
  2. Keran..kritik sosial atas kondisi metropolotan. Lanjut kang..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semoga membantu kita untuk beraksi nyata bagi orang-orang di sekitar kita. Amiin...

      Hapus
  3. Balasan
    1. Supaya orang-orang gak serius mulu bawaannya, bang... Biar bisa senyum-senyum sendiri...hehehe

      Hapus
  4. Terlelap dlm mimpi bersamamu 😁😁😁

    BalasHapus
    Balasan
    1. Karena boleh jadi, kita hidup di negeri mimpi, bukan? hehehe

      Hapus
  5. Balasan
    1. Thanks kak... Semoga betah singgah di terus di rumah kami ini...hehehe

      Hapus
  6. Fenomena kegelisahan yang kekinian ^_^

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terasa begitu dekat di mata, namun apa daya, sekadar hidup sehari-hari saja kadang masih limbung sana-sini... Namun semoga dari yang kecil ini bisa bantu menginspirasi teman-teman pembaca untuk berbuat lebih kepada orang-orang di sekitar... Amiin

      Hapus
  7. Balasan
    1. Thanks kak... Semoga betah berlama-lama di rumah kami ini...hehehe

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

BATAVIA’s DIARY : Ramadhan Ibukota

Mengenal Bang Zen, Sohib Aliyah di ODOP Batch 7

KEPING KEDUA PULUH : Tentang Niat, Tentang Karsa