I-Istana Pendahulu Kita
[Source: Here] |
Kejadian ini benar-benar terjadi.
Suatu hari, kepala negara sekaligus kepala pemerintahan sebuah negara superpower mengunjungi salah satu kawasan di bawah kekuasaannya.
Kepada orang-orang yang menyambutnya ia bertanya, “Di mana saudaraku?”
Mereka bertanya, “Siapa yang Anda maksud?”
Kepala negara itu menyebut nama kawan baik yang dipanggilnya “saudaraku”. Kawan baiknya itu seorang gubernur sebuah negara bagian yang modern, berpenduduk banyak, subur, dan luas wilayahnya.
Tak lama kemudian si Kawan Baik datang, memeluknya dan langsung mengajaknya ke rumah kediaman resminya. Di rumah sederhana itu tak ada furnitur apa-apa. Yang terlihat hanya seperangkat senjata dan persediaan air minum.
Sang Kepala Negara bertanya, “Kenapa rumahmu tak ada furniturnya seperti rumah orang lain?”
Si Kawan Baik menjawab, “Sudah ada kamar untuk tidur. Itu cukup.”
Kepala Negara itu ‘Umar bin Khattab, Pemimpin Orang-orang Beriman. Penerus kepemimpinan Utusan Allah Muhammad Shallallaahu ‘alahi wa Sallam.
Kawan Baik itu Abu ‘Ubaidah bin Al-Jarrah, Panglima Pembebasan Baitul Maqdis dan wilayah sekitarnya, “Orang yang Paling Dipercaya oleh Ummat Ini” gelarnya, dan Gubernur sebuah negeri yang dibebaskannya yang sekarang seluas empat negara: Suriah, Lebanon, Palestina dan Yordania. Negeri Syam.
Negara superpower itu ialah Kekhalifahan Islam yang meluas dengan cepat wilayah da’wahnya di bawah kepemimpinan ‘Umar.
Itulah 'Istana' para pendahulu kita. Rumah kecil nan sederhana, meski hakikatnya milik Gubernur pemilik jabatan tertinggi di wilayah sekitar. Karena jabatan ada sebagai amanah untuk dipikul, bukan kendaraan untuk mencari kemewahan, kekayaan, dan keterkenalan.
Semoga kita sibuk memperbaiki diri dan anak keturunan kita demi lahirnya generasi baru semirip Kepala Negara dan Kawan Baiknya.
--------------------
*terinspirasi dan dikutip dari salah satu artikel di Sahabat Al-Aqsha dengan sedikit penyuntingan tanpa bermaksud merubah makna asli.
Komentar
Posting Komentar