PERGI (untuk) KEMBALI : Puncak Lawu

[Dok. Pribadi]

o-●-o-●-o-●-o-●

Tak ada yang patut disombongkan. Tak ada yang patut dibanggakan berlebih. Yang ada hanya untaian kalimat taffakkur berikut rangkaian ucapan syukur.

Karena tiap kali kaki ini mengatakan menyerah untuk melangkah, tiap kali itu pula Dia beri ganti kekuatan untuk terus maju melaju menuju puncak.

Karena meski tiap kali keluh kesah itu datang menderu lisan pula pikiran, tiap kali itu pula asa demi asa perjuangan ditiupkan oleh-Nya melalui sahabat-sahabat seperjalanan nan setia.


[Dok. Pribadi]

Alhamdulillah! Segala puji untuk Tuhan Semesta Alam!

Lewat perjalanan penuh cerita ini, saya dapat mendaras beragam makna terpenting : bahwa mendaki, sejatinya bukan tentang menaklukkan alam nan terbentang, melainkan tentang proses mengalahkan tiap kelemahan dalam diri kita sendiri; membuang secuap ego, mengubur rasa takut, serta jauh-jauh mengusir keinginan menyerah, untuk kemudian terus dan terus membersamai setiap potong jejak kaki kita hingga tiba di kulminasi tertinggi di ujung sana.

Lawu, terima kasih! Untuk semua hikmah kebijaksanaan alam yang saya dapatkan!

o-●-o-●-o-●-o-●

Hargo Dumilah, 3.265 MDPL
Bersama Purnama yang Menerangi Lawu
14 Syawal 1439 H

Komentar

  1. Setuju bang, proses itu diperlukan untuk mencapai tujuan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sepakat. Proses yang berkualitas akan menghasilkan hasil yang sama kualitasnya. Hehe...

      Hapus
  2. MaasyaAllah indah sekali, kayaknya enak teriak disana ehee

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul sangat indah sekali, kak. Tapi kalau teriaknya terlalu keras, lama-lama diliatin orang juga, disangka udah gila karena patah hati....hehehe

      Hapus
  3. MasyaAlloh... Segala puji bagi Alloh, Tuhan semesta alam

    BalasHapus
  4. Balasan
    1. Mampir lagi, kak.. Lawu salah satu tempat paling santuy buat mendaki gunung... hehehe

      Hapus
  5. belum merasakan daki mendaki hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bisa dicoba pelan-pelan kak.. Dijamin bakal jadi pengalaman berharga banget... Bisa dimulai dari gunung-gunung kecil seperti Andong, Kelud, dsb...

      Hapus
  6. Dari puncak kita sadar bahwa diri ini tidak akan tampak dari ketinggian, lalu apa yang bisa kita sombongkan

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul. Kita -manusia-, tidak ada apa-apanya dibanding seluruh kebesaran semesta. Apatah lagi di hadapan Sang Pencipta, bukan?

      Hapus
  7. Mendaki adalah cara mendekati Yang Maha Tinggi..ah Lawu apa kabarmu?belasan tahun tak menyapamu...
    Tulisannya bagus selalu mengalir dan bisa dirasa...keren,kak

    BalasHapus
  8. Dulu setahun tiga kali ke lawu..dan sudah 17 tahun tak bisa menapakkan kaki, bahkan di lerengnya. Makasih tulisannya memunculkan memori indah

    BalasHapus
  9. pengen juga suatu hari nanti bisa muncak. pasti bisa dapat banyak inspirasi nulis saat di atas sana.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

BATAVIA’s DIARY : Ramadhan Ibukota

Mengenal Bang Zen, Sohib Aliyah di ODOP Batch 7

BATAVIA’s DIARY : Dari Pinggir Jendela

KEPING KEDUA PULUH : Tentang Niat, Tentang Karsa