SENJA-KALA-HILANG

[Source: Here]

o-●-o-●-o-●-o-●

Sore itu, hujan turun begitu kencang.
Lautan rinai tertaut mentabiri gemintang,
mengundang badai datang mengguncang,
menuang kelabu di atas singgasana sang petang.
Ah, ini memang pemakaman tempat kematian berpulang.


Ada anak kecil duduk menjeplak
di pinggir tanah merah berhias riak
pecah ratap hingga serak
semua telak diamuk jarak!


Ibu! Ini aku!
sahutnya sendu
Aku pulang! Aku kembali!
ucapnya rindu


Langit membisu.
Bumi membatu.
Angin menderu.
Hanya seekor gagak yang lanjut berkicau.


Ibu! Ini aku!
peluk dia pada tanah liat
Aku pulang! Aku kembali!
lunglai berderap mendekap lahat


Ini memang sempurna tentang jarak.
Tentang jantung yang berdetak
lalu yang tak lagi terletak.
Tentang dekat yang terlanjur pekat,
namun tak kunjung bangkit melekat.


Ibumu sudah pergi, nak.
suara lain jatuh terdengar,


Ibumu sudah pergi, nak.
Jauh sekali.
Urung kembali,
serekat apapun peluk-mu.
Urung bangkit,
seerat apapun pinta-mu.
Karena ini pemakaman tempat kematian berpulang
sebakda perjalanan lelah penuh panjang
di dunia nan terang benderang.
Selamat datang!
Akulah sang penjaga gerbang!


Anak kecil tadi masih tergugu sendirian.
Sekecil itu dia genap belajar arti kematian
dari pengalaman penuh keterlambatan
tentang pulang yang tak kunjung tersampaikan
tentang bukti bakti yang kadung jadi kenangan
kepada Ibu di pangkuan Ibu Pertiwi.


Aku hanya ingin satu pelukan!


Pelan,
sosok tua tadi beringsut jalan
menghapus genangan di cekung tangisan
lalu memberi setangkup dekapan
sebagai ganti yang tak tergantikan
bersama sepetak kelindan kenangan.


Tak apa, bisiknya penuh kesahajaan.
Ini hanya satu dari sekian ribu kematian
dari yang pernah aku saksikan
bersama sahabatku: sang hujan.

o-●-o-●-o-●-o-●

Sesuatu baru terasa berharga, ketika ia telah beranjak pergi. Maka pulanglah sebelum sempurna terlambat. Karena kematian tak pernah mengenal kata telat, untuk menjemput jatah waktu dari mereka yang kita kasihi sepenuh cinta sepanjang hayat.

o-●-o-●-o-●-o-●

Solo,
Kecamuk Perasaan - 12.48
Semoga Jadi Amal Kebaikan

Komentar

  1. "Sesuatu baru terasa berharga, ketika ia telah beranjak pergi" :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Keluarga. Waktu. Kesehatan. Segala yang sudah pergi, kadang memang membuat rindu.

      Hapus
  2. aku bisa merasakan lantangnya suara sang anak dalam puisi ini

    BalasHapus
    Balasan
    1. Suara yang kemudian ditelan datangnya malam berbadai.

      Hapus
  3. Betul, sesuatu baru terasa berharga, setelah ia beranjak pergi...

    Dan aku adalah orang yang menyesali kepergian alm. Ayahku. Karena belum lagi berbuat "sesuatu", beliau sudah lebih dulu dipanggil Yang Maha Kuasa 😭😭😭

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semoga dengan doa dari anak-anaknya yang Sholih/at, beliau mendapat pahala yang mengalir di sisi-Nya.

      Hapus
  4. Selalu takzim dengan diksi yang dipilih, kena banget...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima Kasih telah sedia berkunjung ke rumah kami ini, kak...

      Hapus
  5. Sesuatu memang berharga jika sudah tiada. Tapi ketika ada, selalu disia-siakan 😓

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semoga kita bisa belajar menghargai apa-apa yang ada di sisi kita semua. Allahumma Amiiin

      Hapus
  6. Konsisten untuk puisi ya, keren"

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

BATAVIA’s DIARY : Ramadhan Ibukota

Mengenal Bang Zen, Sohib Aliyah di ODOP Batch 7

BATAVIA’s DIARY : Dari Pinggir Jendela

KEPING KEDUA PULUH : Tentang Niat, Tentang Karsa