BATAVIA's DIARY : Dari Tempat Berteduh

[Source : Here]

Hujan mengguyur begitu deras. Membasahi belantara Ibukota yang sebulan terakhir kering kerontang diterpa panas kemarau.

Ada aku yang berteduh di kafe pinggir jalan, menanti reda yang tak kunjung tiba. Ini anugerah. Setidaknya sesaat yang sekejab ini membantuku mengingat betapa menakjubkannya harmoni serunai air yang menggerimisi Ibukota.

Tentang Hujan dan jalanan Ibukota, aku tiba-tiba terpikir : apa yang paling berbahaya bagi Ibukota dan segenap penduduknya?

Apakah banjir yang saban tahun selalu menggenangi pemukiman Ibukota? Apakah sampah plastik yang dari hari ke hari kian menggunung tak terbendung di Bantar Gebang? Apakah macet yang terus mengular makin panjang seiring bertambahnya kendaraan bermotor? Ataukah ketimpangan sosial antara si kaya dan miskin yang kian terasa jomplang?

Ah, aku kira tidak begitu. Ada yang jauh lebih berbahaya dari itu semua.

Tentang ketidakpedulian.

Ketika orang-orang memutuskan untuk berhenti peduli, ketika orang-orang memutuskan untuk berhenti melibatkan diri, ketika orang-orang memutuskan untuk berhenti berbuat lebih banyak. Bukankah ini pangkal segala bahala?

Macet yang panjang bertambah riuh dengan adu sahut klakson. Semua saling berbalap untuk mendahului. Orang-orang berhenti peduli. Orang-orang enggan untuk bersabar di tengah antrian.

Sampah-sampah bertambah tinggi. Berserak di sepanjang pemukiman, berterbangan di pinggir jalanan. Orang-orang berhenti peduli. Orang-orang berhenti berbuat baik. Acuh tak acuh pada sampah yang dibuang bukan pada tempatnya. Itu bukan tugas saya, bukan?

Jarak si kaya dan miskin bertambah jauh. Jurang pemisah bertambah dalam. Si kaya tak lagi peduli, si miskin hanya termangguk menanti sesuap nasi yang tak pernah datang. Tanpa kepedulian terhadap sesama, adakah yang masih sedia memberi?

Hujan perlahan surut.  Aku masih santai berteduh. Di kejauhan, aku melihat seorang muda yang membantu tua-renta menyeberangi jalan. Memayunginya dari sekadar rintik gerimis yang memercik turun, dan menuntunnya membelah arus kemacetan kendaraan Ibukota.

Aku tersenyum. Negeri ini memang tidak berkekurangan orang-orang baik. Namun apakah orang-orang baik tersebut akan sedia untuk peduli di setiap waktu, alih-alih diam dan berpura-pura tidak tahu?

Entahlah. Itu pertanyaan yang seharusnya ditanyakan kepada orang-orang yang mengaku 'orang baik'. Bukan kepadaku, yang semata rakyat jelata di tengah gerimis hujan Ibukota.


----------------
Ibukota Lama,
10.25 - 15 September 2019
Hujan yang Lama Tak Turun

Komentar

  1. Balasan
    1. Thanks kak... Semoga terus betah singgah di gubuk kami ini...heheh

      Hapus
  2. Balasan
    1. Sebentar lagi Insya Allah masuk musim penghujan yang ademnya bikin mager kemana-mana....hehehe

      Hapus
  3. Alim-alim diam dan berpura-pura tidak tahu...huuh

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya typo kak... Harusnya, "...alih-alih diam dan berpura tidak tahu...". Thanks buat koreksinya...hehe

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

BATAVIA’s DIARY : Ramadhan Ibukota

Mengenal Bang Zen, Sohib Aliyah di ODOP Batch 7

BATAVIA’s DIARY : Dari Pinggir Jendela

KEPING KEDUA PULUH : Tentang Niat, Tentang Karsa