KEPING KETUJUH : Pergi (untuk) Kembali



 ------------------
Bahwa sejauh apapun kita pergi nanti, kita tetap harus kembali ke bumi pertiwi.  
Bahwa setinggi apapun kita terbang nanti, kita tetap mesti ingat daratan tempat tumpah darah kita dilahirkan.  
Bahwa sehebat apapun prestasi kita menjulang di negeri orang, kita selalu akan tetap punya tanggung jawab terhadap orang-orang yang ditinggalkan di belakang.
------------------ 


Potret ini, meski cuma selembar gambar, sejatinya menyimpan banyak cerita dari tempat-tempat nan berjauhan. Dari Afrika Utara hingga Sumatera Barat. Dari gang-gang sempit kota Solo menuju sudut terminal kota Surabaya. Di samping saya, adalah beliau Gurunda kami, al-ustadz @fatahyasina, tetangga di kota yang sama sekaligus kakak tingkat 1 tahun di atas saya ketika masih bersekolah di Kampung 2 Menara dulu. 2015 silam, dari titik nadir yang sama, gurat takdir mengantarkan kami berpisah menuju tujuan masing-masing yang terpaut hampir seperempat lingkar bumi jauhnya. Dari Solo, beliau melanjutkan studi ke negeri Sudan di nun jauh ujung Afrika. Sedang saya, dari Solo melanjutkan kehidupan di tanah tugas Maninjau, lingkaran danau di pelosok Sumatera Barat sana. Beda nasib. Tapi justru perbedaan itulah yang mengantarkan saya beserta beliau pada beberapa persamaan nan unik. Hidup di tanah rantau, membuat kami sama-sama mengerti bagaimana rasanya jauh dari kampung halaman. Bahkan kata beliau ketika nongkrong bareng suatu malam, 'Nikmatnya hidup di tanah air itu baru terasa ketika kita hidup di negeri orang lain..'. Ah, saya betul itu. Saya mengamini sepenuhnya ucapan beliau barusan. Hidup di tanah rantau, dan jauh dari karib maupun kerabat, membuat kami kemudian sama-sama sering 'eksis' atau setidaknya hadir di komunitas dunia maya. Saya lewat barisan caption yang serba panjang, beliau melalui koleksi foto menawan yang disertai tulisan singkat namun padat. Pun lewat sosial media, kami kemudian kerap saling bertukar kabar, kepada sesama karib maupun kerabat yang terpisah jarak ribuan kilometer. Hidup di tanah rantau, sama-sama menjadikan waktu liburan di kampung halaman terasa terlalu singkat buat kami. Walhasil, pilihan cuti seringkali menjadi godaan yang sangat menggoda, mengalahkan godaan es teler di siang Ramadhan seperti saat ini. Seperti, tahun lalu, saya cuti 3 pekan dari segenap tugas mengajar. Tahun kini, Gurunda @fatahyasina yang malah cuti 1 bulan dari segenap kewajiban belajar. 😂😂😂 Ketika kembali ke kampung halaman, kami pun sama-sama lebih banyak menghabiskan waktu untuk berjalan menyambangi kawan di berbagai daerah. Menjadi pelampiasan untuk ketidakhadiran kami dalam momen-momen spesial karib se-angkatan, serta secuil ganti atas waktu yang hilang bersebab jarak yang membentang. Maka inilah dia potret nan spesial itu. 3 tahun tak bersua, kami rupa-rupanya kembali dipertemukan di garis frekuensi yang sama oleh sang Maha Pencipta. Saya yang semenjak Februari silam resmi mengundurkan diri dari rutinitas di Maninjau, dan genap kembali ke kota Solo. Sedangkan beliau, sedari April lalu memang sedang menjalani liburan (dan bonus liburan) di kota Solo tercinta ini. Hingga puncaknya, semua 'kebetulan' yang serba ditakdirkan tersebut, membawa kami berdua dalam perjalanan penuh hikmah ke Masjid Namira, Lamongan tempat dimana foto ini diambil. Perjalanan yang luar biasa lagi penuh tafakkur! Dari beliau saya belajar, bahwa selalu ada kata pulang untuk setiap perantau yang meninggalkan tanah airnya. Pun dari beliau saya kembali menyadari, bahwa diantara kumpulan kata : "PERGI KEMBALI" yang kerap diagungkan para pelancong, harus ada kata sambung "(untuk)" yang menjadi ikhtiar penengah di antara keduanya. Bahwa sejauh apapun kita pergi nanti, kita tetap harus kembali ke bumi pertiwi. Bahwa setinggi apapun kita terbang nanti, kita tetap mesti ingat daratan tempat tumpah darah kita dilahirkan. Bahwa sehebat apapun prestasi kita menjulang di negeri orang, kita selalu akan tetap punya tanggung jawab terhadap orang-orang yang ditinggalkan di belakang. Pergilah (untuk) kembali! Agar setidaknya, itulah yang menjadi upaya serta usaha kita untuk mencerdaskan kehidupan berbangsa, membenahi kebobrokan, memberantas kejahilan, dan menyadarkan umat akan tantangan dunia kita hari ini. Pergilah (untuk) kembali! Agar setidaknya, itulah urun ikhtiar kita untuk tetap berguna bagi umat yang menanti, sembari mempersiapkan generasi-generasi penerus berikutnya, dan membangun nusa maupun bangsa tempat kita dibesarkan! Pergilah (untuk) kembali! Agar setidaknya ketika kelak kita ditanya di hadapan Allah perihal apa yang kita perbuat untuk umat ini, kita dapat menjawab nya dengan tuntas melalui bukti amal-amal kebaikan nan ikhlas. Pergilah! Tuntutlah ilmu setinggi-tingginya! Reguklah pengalaman-pengalaman terbaik dari mata air kehidupan dunia ini! Kumpulkanlah cerita-cerita terhebat dari seluruh belahan dunia! Lalu kembalilah...! Kembalilah ke tanah airmu, untuk mewariskan semua kebaikan tersebut kepada anak-cucu maupun anak-didik kita... Agar obor kebaikan ini terus menyala penuh terang... Agar estafet pengetahun ini dapat terus dilanjutkan... Agar hikayat demi hikayat ini dapat terus dibacakan sepanjang zaman... "Pergi (untuk) kembali" adalah milik kita bersama. Untuk terus belajar maupun mengajar. Untuk terus mencari maupun memberi ilmu. Untuk terus mengingat sembari menghayat, bahwa sedepan apapun kita berjalan, selalu ada doa sepenuh tulus dari orang-orang yang mendukung kita di belakang. Selamat belajar. Selamat merantau. Suatu hari nanti, usai genap seluruh pencarian jati diri kita, mari bersama berjibaku membangun negeri ini menuju negeri penuh berkah yang mendapat ampunan dari Rabb Yang Maha Pengasih. Insya Allah. Allahumma Amiin. -------------- Jazakumullah ahsanal Jaza untuk Gurunda kami, ustadz @fatahyasina, yang telah sedia menemani perjalanan penuh nanti ini. Semoga Allah memberi balasan terbaik untuk semua kebaikan Antum selama safar keliling Jawa Timur ini. 😁😁😁 Juga Jazakumullah Ahsanal Jaza 'ala syaikhina @harisashshiddiq yang telah berkenan menerima kami sepenuh cinta selama bermukim 2 malam 3 hari di sana. Semoga Antum tidak kapok menerima kami para musafir nan kesepian ini. Pun semoga segala urusan Antum dipermudah dan diberkahi Allah, ya syekh. Kapanpun dan dimanapun. Insya Allah semoga nanti akan ada review khusus yang membahas perihal masjid favorit kita ini ke depannya. Pun Jazakumullah Ahsanal Jaza, untuk sahabat seperjalanan saya, pengantin baru di angkatan kami, mas @bahri_cengkaruk yang selama ini menjadi sohib saya dalam aneka perjalanan penuh seru. Thank you, brother untuk pengambilan sudut foto yang terlihat sempurna ini. Semoga keluarga baru Antum samawa, dunia pun akhirat! Sering-sering dolan nang Iqro bos! Jo lali! 😁😁😁 -------------- Markaz Iqro Tujuh yang molor lama 10 Ramadhan 1439 H ----------- #CatatanMenujuKemenangan #RamadhanProduktif #RamadhanPositif #30InspirasiRamadhan #30HariMenulis

Komentar

Postingan populer dari blog ini

A-Ambisi

KEPING PERTAMA : Garis Nadir

KEPING KELIMA : Aroma Hujan

CERBUNG : Mimpi di Ujung Meja Hijau (Bagian 3)