CATATAN GURU RANTAU : Antara Mimpi, Teko, dan Qurrota 'Ayun
![]() |
Source : Here |
Satu malam, di hadapan anak-anak peserta TPA kami, saya iseng bertanya seperti ini : "Eh, besok kan Hari Jum'at. Ada satu waktu khusus dimana Allah akan mengabulkan segenap doa kita. Kalau kalian berhasil mendapatkannya, doa apa yang kiranya bakal kalian panjatkan?"
Ehe.
Satu dua menjawab dengan jawaban yang umum. Ingin membahagiakan orang tua. Ingin menjadi orang sukses. Ingin masuk surga. Beberapa yang lain, sambil nyengir, berharap agar kiranya diberi kemudahan dalam melewati beragam tantangan di dunia, seperti ujian sekolah, ulangan harian, hingga aneka tes seleksi.
Tapi ada 1 anak yang berhasil membuat saya takjub.
Usia 8 tahun. Dengan suara kecilnya dia menjawab, 'Saya ingin kalo nanti meninggal kayak gini, tadz...' , seraya menunjuk ke satu senyum manis yang tersungging di wajah imutnya. Lalu dia tertawa.
Aih. Waktu seakan ikut berhenti. Di momen seperkian detik itu, saya seakan larut dalam hening nan menyesap. Begitu dalam. Begitu berarti.
Terlepas dari dzon kita yang barangkali mengira bahwa itu hanya sekedar kebetulan; tapi hei kawanku, ingat baik-baik, kalaupun itu memang benar 'kebetulan' semata, lantas sehebat apa latar belakang anak tersebut hingga mampu berucap seperti itu, bukan?
Mari kita permudah. Tahu teko? Atau ketel? Atau jika masih terlalu sulit, bisa bayangkan sebuah kendi?
Ketika isinya berupa air comberan, dituang kemanapun ia akan selalu menuangkan air yang sama. Namun ketika isinya diganti dengan jenis air yang lain, seperti teh atau kopi, tatkala dituangkan, tentu teko tadi hanya akan mengeluarkan apa yang menjadi isinya, bukan?
Sama halnya dengan lisan kita, kawan. Ibarat moncong dari sebuah teko, dia hanya meneruskan apa yang menjadi isi hati kita. Mengutarakan apa yang selama ini bercokol di sanubari terdalam kita. Ketika isinya baik, percayalah, lisan kita akan senantiasa dihiasi dengan manfaat terhadap sesama. Adapun ketika hati lumrah diisi dengan maksiat dan hal-hal buruk, maka tentu, apa yang keluar dari lisan tak akan jauh dari itu semua. Mulai dari sumpah serapah, caci maki, kata-kata kotor, hingga sumpah palsu. Disengaja ataupun tidak (reflek). Karena, sekali lagi, lisan hanya sekedar meneruskan apa yang menjadi kandungan kalbu kita.
Sama halnya dengan anak kecil di atas. Sekalipun boleh muncul prasangka bahwa itu hanyalah satu simpul 'kebetulan' semata, tapi pahamilah kawan, bahwa sesungguhnya itu semua merupakan cerminan dari kelembutan hati anak tersebut. Hanya hati yang lembut-lah yang dapat mengemukakan jawaban se-‘kuat’ itu.
Dan tentu itu tidak serta merta terjadi begitu saja. Ada banyak proses pendidikan yang berjalan di baliknya. Oleh orang tuanya. Oleh guru-gurunya di sekolah. Itu adalah kumpulan dari tahun-tahun nan panjang, penuh ikhtiar dan doa, yang mungkin boleh jadi telah dimulai bahkan sebelum sang anak lahir di atas dunia. Usaha terus-menerus yang kemudian terakumulasikan dalam sebentuk akhlak yang menawan.
Berapa banyak anak-anak kita yang di usia dini sudah berani mengutarakan gagasannya? Cukup banyak boleh jadi.
Berapa banyak anak-anak kita yang di usia dininya sudah berani memiliki visi misi jauh ke depan? Setengah dari jumlah di atas, mungkin.
Namun terakhir, berapa banyak anak-anak kita yang di usia dininya sudah berani berbicara tentang konsep kematian yang ingin dia wujudkan suatu hari nanti? Saya berani menjamin, jumlahnya akan jauuuuh lebih sedikit.
Maka sekali lagi, izinkan saya untuk sekejab terpukau. Lalu berucap 'Maa syaa Allah'. Kutitipkan dia pada Engkau, ya Rabb, duhai Dzat yang tak akan pernah hilang darinya segala titipan. Untuk engkau tuntun anak-anak ini di jalan yang lurus, dan engkau jadikan mereka sebagai cahaya penerang di zamannya suatu hari nanti.
Saya jadi teringat dengan salah satu pesan Gurunda kami, Dr Ahmad Hatta, ketika memberi kami wejangan beberapa saat yang lalu. Kata beliau penuh khidmat ketika itu, 'Sebelum kamu mendidik anak-anak kamu untuk menjadi anak-anak yang CERDAS, didik mereka terlebih dahulu untuk menjadi sosok yang ber-HATI lemah lembut. Karena anak yang cerdas, namun hatinya keras, pada akhirnya ketika dewasa nanti ia hanya akan menjadi seperti Malin Kundang!'
Jadi kawanku, kutujukan nasihat ini untukku dan untukmu. Ketika kelak Allah izinkan kita untuk memiliki garis keturunan, pertama kali yang harus kita lakukan ialah mengajarinya untuk mengenal Allah, lalu Rasul-Nya, lalu kitab-Nya Al Qur’an. Mendidiknya dalam balutan cahaya risalah, agar ia tumbuh dewasa bersama akhlaqul karimah. Dengan itulah perlahan hatinya akan lembut, dan ia akan menjadi sebenar-benar qurrotul ‘ayun bagi kita para orang tuanya, di dunia maupun di akhirat.
Rabbanaa hablanaa min azwajina wa dzurriyaatinaa qurrota ‘ayun. Waj’alnaa lilmuttaqiina imaama….
------------------------
Tanjung Barat,
Sekuntum Mawar di Tengah Pekat Pelita,
22 2 2019 - 11.11 PM.
Komentar
Posting Komentar