CERBUNG : Mimpi di Ujung Meja Hijau (Bagian 4)
[Source : Here] |
-----------------------------
Kejadian suram itu terjadi sekitar 27 tahun yang lalu. Itu adalah masa-masa dimana aku seharusnya mendapatkan curahan kasih sayang yang cukup dari kedua orangtuaku. Saat itu aku masih ingat jelas kalau aku masih duduk di bangku kelas 3 SD.
Ayahku ditangkap oleh pihak berwenang saat beliau sedang mengantarkan aku ke sekolah SD-ku. Penangkapan itu sendiri terjadi di depang mataku sendiri. Dan terjadi begitu cepat. Tak kurang dari 15 menit ayahku telah dibawa entah kemana. Aku sendiri hanya berdiri melongo ketika menyaksikannya dari balik pagar sekolah. Sayangnya, bukan aku saja yang menyaksikan kejadian itu. Seluruh penghuni sekolah pun turut melihat kejadian itu!! Dan itulah yang menjadi berita buruk bagiku di hari-hari mendatang. Seluruh murid sekolah mengejekku sebagai anak penjahat kapanpun aku berada di dekat mereka. Tidak ada seorangpun diantara mereka yang mau berteman denganku. Aku dikucilkan bahkan oleh teman sebangkuku.
Ketika kejadian penangkapan ayahku itu terjadi, yang kuketahui berikutnya hanyalah aku dijemput pulang oleh ibuku. Aku tidak sbisa memahami sepenuhnya kejadian ini. Banyak pertanyaan yang ingin kuajukan kepada ibuku mengenai hail ini. Kenapa ayah ditangkap? Kemana ayah dibawa oleh mereka? Kapan ayah pulang? Memangnya ayah salah apa sama mereka? Itu hanyalah sebagian kecil dari puluhan pertanyaan lainnya. Tapi yang kudapatkan bukanlah jawaban dari ibuku. Yang kudapatkan hanyalah pelukan dan tangis darinya. Dan aku masih terlalu kecil untuk dapat meringankan kesedihan ibuku ketika itu.
Baru beberapa tahun ke depan aku mendapatkan cerita yang sesungguhnya. Ternyata ayahku dijebak oleh atasannya. Mereka merancang tipu daya muslihat sedemikian rupa untuk menyingkinkan ayahku yang pada saat itu memiliki karir begitu cemerlang di Departemen Kesehatan. Yaitu dengan cara memfitnah ayahku sebagai dalang utama dalam kasus korupsi penggelembungan dana salah satu proyek di departemennya. Wajar jika ayahku memiliki banyak musuh, karena ia adalah orang paling tegas yang pernah kukenal. Ia begitu teguh dengan pendiriannya, termasuk untuk hidup bersih tanpa segala macam haal berbau korupsi. Apalagi ia termasuk orang yang cukup dekat dengan Menteri Kesehatan RI ketika itu. Sehingga maklum jika banyak orang yang merasa ‘panas’ saat gagal membujuk ayahku untuk berbuat hal-hal kotor. Aku tahu cerita itu dari ibuku saat aku memohon dengan sangat kepadanya.
Begitu banyak kejanggalan lain dalam kasus ayahku yang baru kutemukan jauh setelah aku beranjak dewasa,bertahun-tahun lamanya sesudah aku mendengar kisah sebenarnya tentang kasus ayahku. Seperti fakta jika musuh-musuh ayahku telah mengatur sedemikian canggihnya sehingga kasus tersebut tidak sampai menjadi konsumsi publik. Atau fakta lain dimana mereka sukses ‘membeli’ hakim-hakim yang mengurus kasus ayahku. Ini yang membuatku merasa muak acap kali mendengar kata ‘hakim’ disebutkan. Selain itu, aku juga curiga jika ada sebagian kecil oknum KPK yang ikut ‘bermain dalam kasus ayahku. Meskipun hingga saat ini aku belum berhasil menemukan bukti atas dugaanku itu. Sama halnya seperti aku yang belum berhasil menemukan otak dari konspirasi kotor itu.
Ayahku bebas dari penjara kurang lebih 4 tahun kemudian. Namun saat itu ia telah berstatus sebagai pengangguran. Departemen Kesehatan memecatnya saat ia ditahan, karena memang peraturan itulah yang berlaku di departemennya pada saat itu. Kalau aku tidak salah, peraturan itu bertujuan untuk menjaga nama baik Departemen Kesehatan sendiri sekaligus untuk menjaga kepercayaan publik terhadapnya. Aku masih ingat betul hari dimana ayah pulang. Saat itu ibuku benar-benar bahagia. Hal yang belum pernah kulihat sejak ayahku ditangkap dulu. Seakan-akan hilang sudah semua penderitaan yang ditanggungnya selama 4 tahun ini.
Untungnya, tak berapa lama kemudian ayahku berhasil menemukan pinjaman modal dari salah seorang saudara jauhnya. Itulah yang menjadi modal dari usaha yang saat ini telah dikelola oleh ibuku. Sedangkan ayahku, telah meninggal sekitar 6 tahun yang lalu. Ia wafat saat usaha yang dirintis olehnya sedang berkembang begitu pesatnya. Meskipun demikian, ia berwasiat kepadaku di ujung hayatnya untuk terus melanjutkan karirku sebagai hakim demi mencegah munculnya hakim-hakim tak bermoral yang dulu ikut menjebaknya di penjara. Semenjak saat itu aku berjanji kepada diriku sendiri untuk terus aktif memerangi korupsi melalui profesi yang kulakoni. Itu semua demi menghentikan tangisan anak-anak lain yang bernasib sama sepertiku.
-----------------------------
Itu tadi adalah 3 menit yang paling berat seumur hidupku. Aku selalu tak tahan membayangkan kejadian ketika ayahku ditangkap di depan mataku sendiri. Tapi aku bisa sedikit tenang sekarang. Sebab kenangan itu sukses menjadi pengorbanan yang kubutuhkan untuk membuat keputusan dalam sidang ini. Ya, aku sudah membulatkan hati dalam menentukan akhir dari sidang ini. Sidang yang mempertemukan kita untuk pertama kalinya, juga sekaligus sidang yang akan memisahkan diantara kita berdua nantinya.
Aku menatap matamu sekali lagi,sebelum beranjak untuk mendiskusikan keputusan akhir sidang hari ini bersama hakim lainnya. Tahukah kamu apa keputusanku atas berkas kasusmu ini,Basuki Rahmat? Seolah-olah tahu akan pertanyaanku ini, kau hanya mengangguk singkat yang dibarengi dengan senyum halus di bibirmu.
(bersambung ke bagian 5 - akhir Insya Allah...)
Komentar
Posting Komentar