RIHLAH MALAYA : Ini Tentang Mimpi

Georgetown, Penang, Malaysia.


Ada satu hal yang belum saya katakan: saya fobia pesawat


Selagi mungkin, saya jelas akan memilih transportasi lain. Bis, kereta, kapal, mobil pribadi, atau bahkan sepeda motor. Prinsip konyol saya, semua kendaraan yang saya sebutkan di atas tadi masih menyediakan opsi darurat ketika terjadi hal-hal yang tidak diharapkan. Saya masih bisa memecahkan jendela, atau bahkan loncat menerobos pintu keluar, sebelum kemudian berguling mencari keselamatan diri. Namun pesawat? Oh tentu saja, Kawan. Kita tidak bisa terjun begitu saja dari ketinggian puluhan ribu kaki, bukan?


Apalagi diperparah dengan masifnya pemberitaan nasional ketika ada maskapai yang mengalami 'kegagalan' penerbangan. Terus diberitakan selama berminggu-minggu tanpa henti. Seakan semua itu kian meniup buhul-buhul ketakutan yang bermuara pada ketakutan kita semua : takut mati. 


Aih, itu yang bikin repot.


Saking keukeuhnya, ketika masih merantau di tanah Maninjau dulu, ada beberapa kesempatan dimana saya lebih memilih moda angkutan bis untuk pulang-pergi ke pulau Jawa. 1900 kilometer, duduk mendekam di kursi yang sama selama hampir sepekan. Lelah menang, namun hati terasa lebih tenang. Haha...


Pesawat juga bukan merupakan transportasi favorit di keluarga besar kami. Itu yang kemudian membuat saya sedikit kesulitan ketika meminta izin untuk bepergian agak jauh. Dan jelas, itu juga yang menambah alasan mengapa saya terbilang cukup terlambat untuk 'terbang lepas landas' melancong ke luar negeri.


2 hal di atas, menjadi kombinasi yang amat klop, ya kan?


Tapi perjalanan ini adalah tentang mimpi-mimpi yang genap terpatri. Tentang harapan cita yang selalu berpendar pada tujuan yang serupa. Tentang hasrat jiwa yang menanti waktu paling tepat untuk ikut meledak!


Sedari dulu, mimpi-mimpi itu selalu bermuara pada hal yang sama. Tentang perjalanan menaklukkan dunia. Melangkahkan jejak keliling antero bumi. Untuk kemudian menyeksamai ayat-ayat kebesaran duhai Rabb Pencipta Semesta, mengumpulkan noktah demi noktah pengalaman dari mereka yang sempat berpapas jalan, agar lalu diwariskan kepada generasi penerus peradaban sepanjang berlalunya zaman. Itulah sumbangsih saya!


Maka karena itulah perjalananan ini harus sempurna diikhtiarkan. Melawan ketakutan, menghapus keraguan. Di malam sebelum keberangkatan, ketika asyik bertukar cerita dengan Pria Berambut Gondrong, saya serius berkata :


"Ya! Aku memang takut, boi. Amat fobia dengan pesawat. Bahkan kalau ini hanya sekedar tentang aku seorang diri, mungkin sudah kubatalkan sedari kemarin. Tapi di satu titik, aku merasa, bahwa inilah kesempatanku untuk mendobrak batas-batasku. Mendorong titik pencapaianku. Kukira, bila aku melewatkan kesempatan ini, selamanya aku tak akan pernah pergi kemanapun, kawan!"


Kata-kata yang terus terngiang. Sampai-sampai saya ikut merinding. Bahkan hingga hari ini. 


o-●-o-●-o-●-o-●


Ibukota, 
25 Mei 2019

Tulisan yang sudah sangat lama sekali. Namun penting bagi saya untuk tetap mengarsipkannya dengan rapi dalam lembaran virtual di sini, agar sekalipun waktu terus berjalan maju, namun kenangan manis tentang hal tersebut dapat tetap terngiang bersama dalam ingatan kami, para pelaku sejarah itu sendiri.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

A-Ambisi

KEPING PERTAMA : Garis Nadir

KEPING KELIMA : Aroma Hujan

CERBUNG : Mimpi di Ujung Meja Hijau (Bagian 3)