RIHLAH MALAYA : Safar di Bulan Suci?

Giant Sektor 9, Selangor

Mengapa perjalanan ini justru dilakukan di tengah Ramadhan penuh nanti? Mengapa tidak memilih hari-hari yang 'lebih bersahabat'? 


Cukup mudah diterka, sebenarnya.


Pertama, jelas untuk menghemat anggaran. Haha. Dengan berpuasa, setidaknya kami dapat menghemat pengeluaran untuk 2x makan, bukan? Dikali 5 hari perjalanan, tentu itu bukan sekedar biaya yang sedikit. Apalagi untuk ukuran kantong backpacker setengah nekat seperti kami. Haha...


Untuk makan malam, kami juga tak perlu terlampau khawatir. Di bulan Ramadhan, biasanya banyak masjid-masjid yang menyelenggarakan ifthor jama'i (buka puasa rame-rame) dengan beragam pilihan menu nan lezat. Kami hanya perlu datang jelang adzan berkumandang, mengantri dengan rapi, lalu makan lahap dengan segenap syukur. 


Duhai. Kami kira, inilah salah satu berkah Ramadhan paling nyata. Tatkala ada begitu banyak orang-orang baik yang saling berlomba dalam berbagi kebaikan serta kebahagiaan. Dan untuk kami, para pelintas jejak, timbul sejenak perasaan syahdu ketika menyaksikan begitu banyak saudara seiman yang kami miliki sekalipun berada di tanah seberang. Maka, nikmat Tuhanmu manakah yang kamu dustakan?


Alasan kedua, saya ingin turut membersamai nuansa Ramadhan di negeri orang sekaligus menyeksamai khazanah keislaman yang berlaku di daerah tersebut. Bukankah perjalanan merupakan ikhtiar dari sebuah pembelajaran? Membuka pandangan. Memperluas wawasan. Memperdalam pengetahuan. Ya kan?


Agar dari situ, kiranya dapat kian bertambah rasa syukur kami terhadap anugerah nikmat Rabb Semesta Alam. Bertambah pula rasa cinta kami terhadap segenap tanah tumpah darah tempat kami berpulang menuju kediaman keluarga masing-masing. 


Karena sejauh apapun kita beranjak melangkahkan kaki, pergi merantau ke negeri antah-berantah di ujung dunia sekalipun, tetap tak akan ada yang dapat menggantikan hangatnya pelukan kasih dari orang-orang terdekat lagi penuh cinta, bukan? 


Ehe, mulai melankolis, nih. Lalu, apakah berat menjalani Ramadhan sembari terus berjalan?


Oh, sudah barang tentu, kawan. Berkali-kali lipat, bahkan. 


Ada beberapa kesempatan dimana kami menjalani sahur di atas bis yang membelah Semenanjung Malaya. Hanya bermenukan sebotol besar air mineral dan sebungkus roti tawar. Bergantian sebagai bekal bersama. Memang sederhana, namun sungguh, tetap terasa penuh nikmat, kawan.


Godaannya juga lebih menantang. Godaan mata. Godaan telinga. Godaan hati. Dahsyat, deh. 


Siang terik di tengah kota Kuala Lumpur, ada 2 orang turis asing yang asyik berjalan melewati kami sembari menggigit sebatang es krim sejuk nan menggiurkan. Haha. Dan itu belum seberapa, boi. 


Di Thailand, orang-orang justru malah berjejalan menjajakan aneka jajajan rakyat di sepanjang jalanan utama. Para turis sibuk mengantri, riuh ingin mencoba satu per satu menu-menu unik yang disajikan. Mau begimana lagi. Namanya juga minoritas, kan?


Tapi itu yang kemudian menjadi cerita tersendiri. Meninggalkan setangkup kesan penuh makna bagi setiap dari kami. Serta menjadi wasilah (perantara) dalam menggapai maksud tujuan kedua kami di atas. Tentang syukur. Tentang tafakkur. Tentang tadabbur.


Jadi, jika ditanya kembali… Ah, ya. Perjalanan ini masih sepenuhnya berkutat pada proses kami dalam memaknai Ramadhan. Hanya tempatnya yang serba berbeda. Di sana, di luar Endonesah. Hehe…


o-●-o-●-o-●-o-●


Ibukota, 
27 Mei 2019

Tulisan yang sudah sangat lama sekali. Namun penting bagi saya untuk tetap mengarsipkannya dengan rapi dalam lembaran virtual di sini, agar sekalipun waktu terus berjalan maju, namun kenangan manis tentang hal tersebut dapat tetap terngiang bersama dalam ingatan kami, para pelaku sejarah itu sendiri.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

M-Menelusuri Asal Muasal Nama Ibukota

Mengenal Bang Zen, Sohib Aliyah di ODOP Batch 7

Memaknai Perjalanan

KEPING KEDUA PULUH DELAPAN : Jejak Kebermanfaatan