CATATAN GURU RANTAU : Tentang Mendidik dan Mengajar




Tidak semua orang dapat berkesempatan menjadi pengajar. Tetapi, semua yang berkompeten, bisa menjadi pendidik yang baik dimanapun ia berada.


Di tempat-tempat pengabdian dimana saya sempat singgah sejenak, terutama di tanah rantau Maninjau dan di kampus pinggir kota Solo, saya belajar banyak hal tentang perbedaan keduanya.


Bahwa mendidik bukan sekedar berdiri di depan kelas, lalu berkata beberapa patah kata di hadapan para murid, dan kemudian bergegas undur diri setelah memberi setumpuk tugas.


Bahwa mendidik bukan sekedar menyampaikan beberapa materi pelajaran, menjelaskan mana yang dirasa sulit dimengerti, dan kemudian mengadakan ulangan mendadak di akhir pekan berikutnya.


Bahwa mendidik bukan sekedar menjadi guru atau kepala sekolah, dimana kesehariannya berjibaku dalam menggodok kurikulum sembari terus mengevaluasi mana yang sekiranya masih kurang maksimal.


Di tempat-tempat tersebut saya belajar memahami bahwa mendidik merupakan sebuah perjalanan proses maha panjang. Mencakup dari hal-hal mendasar nan mendetail, hingga beragam permasalahan pelik lagi kompleks. Dari semenjak anak masih berada dalam usia kandungan, sampai kelak jelang sakaratul maut menjemput


Karena mendidik adalah tentang kesabaran.


Seberapa tangguh kita berhadap-hadapan dengan tantangan zaman, untuk kemudian membawa anak didik kita menuju kecerlemangan di masa yang akan datang. Seberapa sanggup kita dalam mewarnai mereka, di tengah arus globalisasi yang terus menyeret kita bersama segudang problematikanya. Lalu bisakah kita bersabar, sembari terus memahami lika-liku kondisi jiwa sang anak, yang mungkin akan bercabang pada 1001 masalah?


Mendidik juga tentang membangun kondisi hubungan batin yang baik.

Di madrasah-madrasah tempat saya mampir tersebut, saya ‘dipaksa’ belajar menciptakan lingkungan yang kondusif terlebih dahulu, bahkan sebelum memulai sebaris materi pelajaran. Karena kondisi yang nyaman, akan menghasilkan hubungan batin yang kuat. Anak-anak didik merasa tenang serta antusias untuk menerima secercah pemahaman baru tentang dunia yang mereka tempati hari ini.


Dan ini yang sebenarnya susah-susah gampang, kawan. Mengingat setiap tempat bahkan waktu, terkadang membutuhkan jawaban yang berbeda satu sama lain. Solusi yang kita hadirkan hari ini, belum tentu terasa tepat untuk esok harinya. Atau cara yang kita pakai di daerah pertama, ternyata tak dapat berlaku di daerah lain dikarenakan kondisi yang amat berbeda. Memang ribet, namun bagi pendidik sejati, ini sebentuk tantangan yang menarik, bukan? Hehehe….


Di tempat-tempat singgah tersebut, saya pun banyak bersinggung rasa dengan para ‘guru kehidupan’. Tak semua dari mereka mengajar di depan kelas, bahkan beberapa diantaranya hanyalah masyarakat biasa. Namun meski demikian, sungguh dari merekalah saya belajar memperluas sudut pandang saya terhadap dunia pendidikan.


Mereka mengajari saya, bahwa semua dari kita dapat menjadi pendidik yang hebat. Tak perlu terdaftar sebagai guru. Tak mesti menjadi tenaga pengajar di instansi-instansi formal. Cukup dengan menjadi diri kita sendiri! Kemudian kita ikhlaskan tujuan kita, bahwa dengan sungguh sepenuh hati akan menjadikan anak didik kita sebagai manusia-manusia bermanfaat di tengah masyarakat. Maka dengan niat yang mulia tadi, setiap tindakan yang kita ambil berikutnya akan senantiasa berpedoman pada kebenaran dan kemashlahatan bersama.


Lingkungan belajar akan senantiasa kita usahakan nyaman serta kondusif, setiap permasalahan yang timbul (dan pasti akan selalu ada) selalu dapat disikapi dengan bijaksana tanpa melibatkan emosi berlebih, dan kemudian dengan seizin Allah –tentu disertai dengan doa tiada henti dari kita selaku pengayom mereka– akan ada masa dimana anak-anak kita kelak berpendar indah menerangi lembaran sejarah. Dimanapun mereka berada, disitu mereka akan terus berkarya. Dimanapun mereka berpijak, disitu mereka akan senantiasa memberi faedah.


Itulah puncak keberhasilan suatu pendidikan. Selama kita ikhlas berpaku pada balasan langit semata, berusaha terbaik untuk mereka yang kita didik, maka percayalah, Allah tak akan pernah menyia-nyiakan usaha seorang hamba-Nya.


Sebagaimana Ibrahim yang berhasil mendidik Ismail untuk tetap tegar sekalipun pisau penyembelih telah genap berada di urat lehernya. Sebagaimana Ya’kub yang berhasil mendidik Yusuf agar tetap bermanfaat terhadap sesama sekalipun berada di balik jeruji nan gelap. Sebagaimana Khidir yang berhasil mendidik Musa agar kian lebih penyabar terhadap segala hikmah nan gaib. Juga sebagaimana Nabi kita Muhammad shallahu ‘alaihi wasallam yang berhasil mengkader para sahabatnya untuk menjadi pondasi dari peradaban selama ratusan abad berikutnya.


Dan itulah yang harus terus kita ikhtiarkan selaku para (calon) pendidik masa kini. Memberi tahu mereka yang tak tahu, menerangi mereka yang terkungkung gelap pekat kebodohan, mendorong maju mereka yang selama ini terjebak dalam kebobrokan moral juga etika, serta membawa asa agar anak-anak kita di seluruh Indonesia berani bermimpi untuk hari-hari di depan mereka! Di situlah letak peran kita, kawan! Mendidik tiada henti hingga ujung nafas penghabisan! Menyiapkan generasi untuk menyongsong hari yang akan datang!


Ah, saya jadi teringat dengan salah satu nasehat Gurunda kami di tanah rantau Maninjau dulu ketika saya curhat mengeluh mengenai kenakalan santri-santri kami. Kata beliau hari itu, “Ustadz, kita di sini semuanya adalah pendidik. Bukan sekedar pengajar di kelas. Kalau santri nakal, dan nakalnya hanya sekedar kenakalan anak muda yang masih serba labil, ya kita sebagai guru harus mengingatkan mereka! Kalau mereka masih nakal, ya kita ingatkan lagi! Kalau mereka masih ngeyel juga, ya berarti kita nya yang harus lebih ngeyel menasehati dia! Karena kita di sini mendidik mereka dengan satu tujuan yang sama : memanusiakan manusia. “


Nylekit. Namun membekas hingga kini. 😁😁😁
o-●-o-●-o-●-o-●


InFrame: Menyimak simakan Juz 'Amma anak-anak didik kami di Halaqoh Tahfizh Riyadhul Qur'an (HTRQ) Cabang Tebet akhir pekan lalu. Menyaksikan mereka mengaji, seringkali membuat saya terpikir tentang zaman dimana mereka tumbuh dewasa kelak. Ada terselip beberapa kekhawatiran manusiawi disana, namun kemudian saya teringat bahwa hal terbaik yang dapat kami lakukan hanyalah berikhtiar sebisa kami dalam mendidik serta membimbing mereka. Dan sesudah itu, kami hanya dapat menitipkan mereka kepada Allah, satu-satunya Dzat yang tak akan pernah hilang dari-Nya segala titipan, agar semoga mereka di hari-hari yang akan datang mendapat kemudahan, keberkahan, serta perlindungan dari-Nya. Allahumma Amiiin.


o-●-o-●-o-●-o-●


Djakarta dari ketinggian 24 Lantai,
27 Muharram 1439 H

Komentar