Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2019

KEPING KEEMPAT BELAS : Menang atau Kalah

Gambar
[Dok.Pribadi] o-●-o-●-o-●-o-● "Guru, apa hakikat kemenangan?" "Ketika engkau siap menghadapi kekalahan, sebagaimana sama siapnya untuk menggapai kemenangan itu sendiri. Di saat itulah engkau mencapai puncak tawakkal tertinggi; berserah diri sepenuh hati pada kekuatan kosmik semesta-Nya. Di saat itulah engkau memegang kekuatan terbesar; keikhlasan untuk sepenuh sadar bersandar pada gurat garis takdir Sang Maha Pencipta. Dan di saat itulah, apapun hasil yang terjadi di akhir nanti, engkau sesungguhnya telah MENANG sebenar MENANG!" o-●-o-●-o-●-o-● Esok lusa, ada pengumuman penting yang bersama kami nanti dengan segenap harap. Pengumuman yang boleh jadi, akan menjadi garis acuan untuk kehidupan kami beberapa tahun mendatang. Awalnya nervous . Sangat nervous . Jeda 48 hari semenjak pelaksanaan ujian tes, jelas terasa begitu lama bagi kami yang menunggu hasil terbaik. Ada saat-saat dimana firasat menang itu muncul menenangkan pikiran. Namun, ada leb

[BookReview] Sejarah Dunia Kuno

Gambar
Judul : Sejarah Dunia Kuno – Dari Cerita-Cerita Tertua Sampai Jatuhnya Roma Penulis : Susan Wise Bauer Penerjemah : Aloysius Prasetya A. Penerbit : Elex Media Komputindo, 2017 ISBN : 978-979-27-9043-6 Bahasa : Indonesia Jumlah Halaman : 1002 halaman Pengarang : Susan Wise Bauer --------------------------- 1000 halaman! Dengan jumlah halaman setebal itu, rasanya wajar jika buku ini kemudian menjadi salah satu buku terpanjang yang pernah saya baca. Ajaibnya, ini bukan sejenis novel atau dongeng yang kerap menjadi genre favorit saya. Ini adalah buku sejarah, boi. Sejarah umat manusia. Alamakjang !  Belajar sejarah memang sering menjadi momok menjenuhkan. Narasi-narasi yang dibuat untuk menceritakan peristiwa di masa lampau biasanya amat monoton dan membosankan. Tidak mengundang gairah, bahkan malah justru mengundang kantuk. Wajar jika generasi muda kemudian merasa alergi, bukan? Namun tidak demikian halnya dengan buku ini. Penulisnya, Susan Wise Baue

KEPING KETIGA BELAS : Kado

Gambar
[Dok. Pribadi] o-●-o-●-o-●-o-● Seharusnya, ini tamasya yang luar biasa asyik. 3 tahun lalu, paruh awal tahun 2015, ada saya, @naufal.ahmadd, @ibrahim_fayadl yang baru rampung mengikuti seleksi beasiswa di Jakarta, ditambah 'supervisor' kami yang kebetulan sedang libur ngampus dan bosan sendirian : mas @faris.amin . Berempat, kami merencanakan pelesir sejenak ke Kebun Raya Bogor (KRB) yang termahsyur itu. Kebetulan pula, masing-masing dari kami punya agenda tersendiri di sisa hari tersebut. Naufal, tuan rumah kami, bersama Fayadl kembali ke Depok. Mas Faris Amin pulang ke kosan. Sedang saya, rencananya akan pergi bersilaturrahmi ke tempat PKL di daerah Bogor dulu. Gegara itulah, akhirnya sepanjang perjalanan nanti saya terpaksa 'ngoyoh-ngoyohan' menggotong ransel ukuran penuh kemana-mana. Nasib. Tapi itu masih belum seberapa, kawan. Berhubung karena kami semua sama-sama buta pengalaman, juga gengsi bertanya kepada masyarakat sekitar, jadilah akhirnya kami

PERGI (untuk) KEMBALI : Tentang Jogja

Gambar
[Dok. Pribadi] Ada Jogja yang menjadi cerita terbaik kita hari ini. Dua kali hampir ketinggalan kereta, jelang pergi maupun kembali. Yang satu terselamatkan bersebab mengebut di jalan raya, sedang satunya berkat ngos-ngosan lari sprint di sepanjang jalur stasiun. 😥😥 Tiba di tujuan, tiga kali kami bolak-balik berjalan kaki dari ujung utara ke ujung timur, demi menunaikan kewajiban ibadah, menggenapi persyaratan, dan (yang paling membuat heboh) demi melengkapi berkas seorang kawan yang 'teledor' kelupaan. Saking hebohnya, kami bertiga sampai lupa mengisi jatah perut yang terlanjur keroncongan dari pagi. Alamakjang. 🤤🤤🤤 Terakhir ketika di Malioboro, bukannya asyik bersantai menikmati sore bersama riuh ramai di pusat wisata Kota Pelajar, yang ada kami malah justru jalan grasak-grusuk, salip kanan salip kiri seakan dikejar tagihan debt collector, demi menyusul waktu yang kian menyempit. Kali ini murni gegara ulah saya sendiri, pemandu wisata yang lebih khusyuk menawar

CAKRAWALA RINDU : Sketsa Empat

Gambar
[Dok. Pribadi] Kita pernah bertemu. Lalu berpisah. Aku, kamu, semua saling berdalih mencari setangkup makna bahagia dari bilik jendela masing-masing. Aku berkelana. Ikut ke arah ombak bergelayut manja, merana menyimpan rindu. Padahal kutahu, rindu tersebut tertiup angin tertitip di tanah mula. Engkau menetap. Beringsut segar meski menyimpan selarik kusam, bingung mencari arti kembali yang tak kunjung datang kembali. Padahal engkau sama tahu, bahwa kata 'kembali' hanya ada sebakda penantian lantang penuh nyali. Lalu, di salah satu simpang semesta, kita bertemu lagi. Malu-malu menyapa, lantas bertanya : "Sudahkah engkau berbahagia?" Masing-masing dari kita, coba menegakkan kepala, agar semua kepura-puraan yang terpasang jangan sampai tersingkap. Bersembunyi di balik topeng manis Raja Rahwana, durjana malang dari Kerajaan Alengka. Kemudian sama terdengar: "Ya, sudah..." Padahal bilik-bilik hati kita bergemuruh begitu keras, menertawakan mendun

I-Istana Pendahulu Kita

Gambar
[Source: Here ] Kejadian ini benar-benar terjadi. Suatu hari, kepala negara sekaligus kepala pemerintahan sebuah negara superpower mengunjungi salah satu kawasan di bawah kekuasaannya. Kepada orang-orang yang menyambutnya ia bertanya, “Di mana saudaraku?” Mereka bertanya, “Siapa yang Anda maksud?” Kepala negara itu menyebut nama kawan baik yang dipanggilnya “saudaraku”. Kawan baiknya itu seorang gubernur sebuah negara bagian yang modern, berpenduduk banyak, subur, dan luas wilayahnya. Tak lama kemudian si Kawan Baik datang, memeluknya dan langsung mengajaknya ke rumah kediaman resminya. Di rumah sederhana itu tak ada furnitur apa-apa. Yang terlihat hanya seperangkat senjata dan persediaan air minum. Sang Kepala Negara bertanya, “Kenapa rumahmu tak ada furniturnya seperti rumah orang lain?” Si Kawan Baik menjawab, “Sudah ada kamar untuk tidur. Itu cukup.” Kepala Negara itu ‘Umar bin Khattab, Pemimpin Orang-orang Beriman. Penerus kepemimpinan Utusan Allah Muhammad Sh

KEPING KEDUA BELAS : Ketidaksempurnaan yang Sempurna

Gambar
[Source: Here ] o-●-o-●-o-●-o-● Kita tak sempurna, tak pernah sempurna, dan memang selalu akan tetap tak sempurna. Karena sedari awal, Allah telah takdirkan bahwa 'kesempurnaan' bukan sesuatu yang 'baik' untuk kita, para anak Adam. Tak percaya? Syahdan, dalam hikayat perjalanan bergurunya Nabi Musa 'alaihissalam kepada Nabi Khidir 'alaihissalam , sebagaimana termaktub dalam gelaran Surat Al Kahfi 65-82 ( monggo, ditadabburi... ), ada satu keping cerita yang menarik untuk bersama kita telisik. Tentang perahu nelayan yang ditumpangi kedua nabi nan sholih tadi, dimana di tengah-tengah pelayaran, tetiba sang Khidir justru malah melubangi dinding kapal tersebut. Padahal untuk menaikinya menuju tujuan di seberang, mereka berdua tak sedikitpun dimintai upah oleh para pemilik perahu. Merasa ada yang ganjil, maka Musa dengan perawakannya yang tegas lagi keras, bergegas menayakan maksud dari perbuatan tersebut kepada sang Guru : " Mengapa engkau lubang

SEBAIK MANUSIA

Gambar
[Source : Here ] Untuk menjadi manusia terbaik, sungguh, engkau tak perlu berdiri tegak di puncak tampuk kekuasaan. Tidak, kawan. Tidak perlu, karena itu justru mengundang orang tuk kian membenci dan menyakitimu. Untuk menjadi manusia terbaik, sungguh, engkau tak perlu bekerja terlampau keras guna menumpuk kekayaan setinggi langit. Tidak, kawan. Tidak perlu, karena itu justru akan kian mengundang orang tuk ber-iri hari padamu. Untuk menjadi manusia terbaik, sungguh, engkau tak perlu membuktikan diri sebagai lelaki paling rupawan atau wanita paling cantik, bolak-balik menghabiskan biaya berlebih demi aneka perawatan dan kesegaran jasmani. Tidak, kawan. Tidak perlu, karena toh, itu semua hanya sekedar topeng yang perlahan kian luruh seiring menuanya usia, bukan? Kawan, untuk menjadi manusia terbaik, engkau cukup duduk manis di majlis Al Qur’an. Boleh TPA, TPQ, Halaqoh Tahsin , kajian tafsir, atau majelis-majelis taklim lainnya, deh. Belajar disana, lalu ketika pulang, ajar

Tentang Menulis

Gambar
[Source: Here ] Menulis adalah sebentuk ikhtiar kemerdekaan.  Untuk meng-ada-kan sesuatu yang mulanya tidak ada.  Untuk mencipta-nyatakan segala yang awalnya berwujud gagasan menjadi sebentuk bacaan.  Untuk menelusuri sepanjang jalan ketidaktahuan hingga tuntas tiba di penghujung noktah penanda akhir simpul pembelajaran.   Menulis adalah tentang keberanian.  Untuk bebas bersuara dan mengabadikan karya pikiran.  Lalu siapkah? ------------------ Jika diminta memilih apakah akan menulis fiksi atau non-fiksi, saya jelas akan tetap memilih dua-duanya. Alasannya sederhana. Saya hanya ingin berkarya dengan bebas. Menghadirkan cerita-cerita terbaik dari belahan penjuru dunia, agar semoga dapat meninggalkan jejak di hati para pembaca. Menyajikan batas-batas imajinasi agar semoga dengannya dapat menginisiasi satu-dua kebermanfaatan bagi kita bersama. Menulis non-fiksi tentu amat menjanjikan. Dalam dunia akademik, kemampuan menulis aneka ragam tulisan tersebut jelas amat dibut

H-Halo Dunia Kampus

Gambar
[Dok. Pribadi] Semester ini, saya memutuskan untuk kembali ke bangku sekolah. Menjadi mahasiswa, menghanyutkan diri mencari pengalaman terbaik dari perspektif sudut pandang seorang pelajar. Syukur-syukur, dari situ nanti, saya dapat meramu dan meracik metode baru untuk mengupgrade dan mengupdate cara mengajar saya. Hehehe…. Untuk menyeimbangkan kewajiban saya di sekolah tapal batas negeri Maninjau, saya sengaja memilih kuliah di akhir pekan. Setiap weekend, jadilah saya me-‘rajin’-kan diri berangkat pagi buta untuk mengejar absensi dan mata kuliah. Menghabiskan 2 jam perjalanan di atas motor matic tua sembari menempuh jarak 63 km (bolak-balik 2 hari total 200 km). Rasanya luar biasa. Luar biasa borosnya, luar biasa lelahnya, luar biasa pula  serunya. Hehehe….. Tapi tak mengapa. Saya tetap happy. Karena ini konsekuensi dari keputusan yang saya ambil. Yaitu ketika usia, keluarga, dan dunia tempat tinggal hari ini terlanjur menuntut untuk segera memiliki gelar di belakang nama, n

CAKRAWALA RINDU : Sketsa Tiga

Gambar
[Source: Here ] o-●-o-●-o-●-o-● Dari    : Aku Untuk : Wanita yang, eh, belum kutahu siapa gerangan dia o-●-o-●-o-●-o-● Putri, kamu tahu mengapa Solo begitu berarti untukku? Karena sejauh apapun aku pergi, melangkahkan kaki ke ujung dunia sekalipun, toh pada akhirnya nanti aku akan selalu kembali ke kota ini. Tak peduli seberapa lama euforia petualangan membawaku berkeliling bumi, toh pada akhirnya nanti, garis safarku akan selalu berakhir di kota ini. Lalu kudengar satu tanya darimu, mengapa dari seluruh tempat, harus Solo yang menjadi pilihanku? Aku tersenyum. Karena di kota ini ada setangkup asri yang kuabadikan bersama lalu lengang sang mentari. Ada rumah rindu, titik nol dimana aku berpulang setelah lika-liku panjang penuh debu perjalanan. Dan yang paling penting, ada kamu, tempatku menambatkan seluruh isi hatiku selama ini. Iya kamu, bisikku pelan. Kamu, sosok yang senantiasa kutitipi doa-doa nan hangat tiap kali bersimpuh di hadapan langit. Kamulah n

SENJA-KALA-HILANG

Gambar
[Source: Here ] o-●-o-●-o-●-o-● Sore itu, hujan turun begitu kencang. Lautan rinai tertaut mentabiri gemintang, mengundang badai datang mengguncang, menuang kelabu di atas singgasana sang petang. Ah, ini memang pemakaman tempat kematian berpulang. Ada anak kecil duduk menjeplak di pinggir tanah merah berhias riak pecah ratap hingga serak semua telak diamuk jarak! Ibu! Ini aku! sahutnya sendu Aku pulang! Aku kembali! ucapnya rindu Langit membisu. Bumi membatu. Angin menderu. Hanya seekor gagak yang lanjut berkicau. Ibu! Ini aku! peluk dia pada tanah liat Aku pulang! Aku kembali! lunglai berderap mendekap lahat Ini memang sempurna tentang jarak. Tentang jantung yang berdetak lalu yang tak lagi terletak. Tentang dekat yang terlanjur pekat, namun tak kunjung bangkit melekat. Ibumu sudah pergi, nak. suara lain jatuh terdengar, Ibumu sudah pergi, nak. Jauh sekali. Urung kembali, serekat apapun peluk-mu. Urung bangkit, seerat apapun pinta-

CATATAN GURU RANTAU : Tentang Arti Bangga untuk Orang Tua Kita

Gambar
[Source: Here ] o-●-o-●-o-●-o-● Suatu malam, di salah satu warung tenda di pinggir stasiun Solo Balapan, saya asyik menemani salah seorang wali santri kami yang sedang bersiap kembali ke kota asalnya.  Bersama secangkir hangat minuman teh yang saya seruput dan sepiring nasi pecel yang beliau nikmati, mengalirlah obrolan ringan di antara kami berdua. Hingga perlahan, percakapan kami tersebut tiba di bagian yang amat menarik, –terutama bagi saya pribadi. “Saya itu bangga sekali dengan anak saya, pak Ustadz...” tutur beliau mengawali. Ah ya, sudah 2 tahun terakhir anak beliau dipondokkan di sekolah kami. “ Pripun niku, nggih Pak ? Ceritanya gimana itu, Pak?” sambut saya antusias. Maklum, jika sudah begini, biasanya akan ada satu cerita spesial tentang kesan para orang tua sebakda anaknya masuk dunia pesantren.  “Gini lho, tadz. Ramadhan kemarin, pernah suatu ketika anak saya diminta mengimami sholat malam di masjid dekat rumah. Ba’da sholat Isya, ta’mir masjidny

G-Gisting

Gambar
[Source : Here ] Gisting sejatinya adalah tentang proses asimilasi. Perjalanan maha panjang pencampuran budaya pendatang dengan masyarakat lokal Lampung, yang berpadu padan menjadi satu kesatuan nan majemuk. Gisting terletak di Kabupaten Tanggamus,  Lampung. Dari pelabuhan Bakauheni, kami masih membutuhkan kisaran waktu 4-5 jam perjalanan darat via bis umum sebelum tiba di daerah ini. Meski sejatinya daerah ini terletak di Pulau Sumatera, namun rasa-rasanya kami seakan masih berada di Pulau Jawa, yang  lengkap dengan nuansa desanya. Dari cerita Ibunda ustadz Dinar, kawan tempat kami bermalam selama singgah 3 hari di Lampung, barulah kami mengerti bahwa memang mayoritas masyarakat di sini adalah para transmigran pendatang dari berbagai daerah di Jawa. Mereka datang dengan segudang harap, membuka lahan, merintis usaha, lalu perlahan mulai ikut mewarnai Gisting dengan budaya tempat tinggal mereka sebelumnya. Maka disinilah proses asimilasi dan adaptasi itu terjadi. Lalu apakah

PERGI (untuk) KEMBALI : Puncak Lawu

Gambar
[Dok. Pribadi] o-●-o-●-o-●-o-● Tak ada yang patut disombongkan. Tak ada yang patut dibanggakan berlebih. Yang ada hanya untaian kalimat taffakkur berikut rangkaian ucapan syukur. Karena tiap kali kaki ini mengatakan menyerah untuk melangkah, tiap kali itu pula Dia beri ganti kekuatan untuk terus maju melaju menuju puncak. Karena meski tiap kali keluh kesah itu datang menderu lisan pula pikiran, tiap kali itu pula asa demi asa perjuangan ditiupkan oleh-Nya melalui sahabat-sahabat seperjalanan nan setia. [Dok. Pribadi] Alhamdulillah! Segala puji untuk Tuhan Semesta Alam! Lewat perjalanan penuh cerita ini, saya dapat mendaras beragam makna terpenting : bahwa mendaki, sejatinya bukan tentang menaklukkan alam nan terbentang, melainkan tentang proses mengalahkan tiap kelemahan dalam diri kita sendiri; membuang secuap ego, mengubur rasa takut, serta jauh-jauh mengusir keinginan menyerah, untuk kemudian terus dan terus membersamai setiap potong jejak kaki kita hingga tiba

KEPING KESEBELAS : Simpul Semangat

Gambar
[Source: Here ] o-●-o-●-o-●-o-● Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali.. (Surat An-Nahl (16) : 92) o-●-o-●-o-●-o-● Jangan kasih kendor! Terhadap semua simpul amal sholih yang telah kita seksamai bersama dalam Ramadhan tahun ini, jangan kasih kendor! Sudahi dahulu semua gelisah yang mendera sanubari terdalam lautan hati kita, juga menyandera raga kita dalam badai keraguan yang tak kunjung berkesudah. Sudahi dahulu seluruh khilaf maupun silap, yang terkumpul bersama segenap maksiat kala lupa maupun ingat. Sudahi dahulu riuh-gaduh rutinitas penduduk dunia yang membuat kita terlena dari sunyi senyapnya 10 malam terakhir di bulan suci Ramadhan tahun ini. Karena kini, kita telah tiba di penghujung waktu, detik penentuan dimana kesimpulan itu pasti akan ditanyakan : sejauh mana Ramadhan menjadi makna bertakwa bagi kita yang mengaku beriman? Maka jangan kasih kendor!

Cakrawala Rindu : Sketsa Dua

Gambar
[Source: Here ] ----------------- Aku memutuskan untuk pergi. Pada akhirnya, aku yang terjungkal kalah ini memutuskan untuk menjauh, meninggalkan kota dimana aku dibesarkan, sembari menyembuhkan luka hati yang terlanjur menguar. Beberapa kawan coba bertanya, "Kau punya keluarga yang hebat, bung. Bahkan terhitung berpengaruh di kota ini. Mengapa tak kau gunakan status mentereng tersebut di hadapan keluarganya?" Cinta bukan perihal memaksa, kawan.  Cinta sepenuhnya adalah tentang ketulusan sebuah arti perasaan, saling rela bersanding menggenapi setiap keganjilan dunia. Sahabat yang lain bertanya, "Mengapa tak kau katakan kepadanya, bahwa selama ini kaulah yang banyak membantu biaya sekolah adik-adiknya dari dulu hingga sekarang?" Ah, kau lagi-lagi salah, sahabat. Cinta sejati tidak pernah bicara harga, tidak pernah berukur pamrih meminta tanda balas jasa. Cinta sejati adalah tentang keikhlasan, menerima apa adanya, bukan karena ada apanya. "Lal

BATAVIA's DIARY : Dari Tempat Berteduh

Gambar
[Source : Here ] Hujan mengguyur begitu deras. Membasahi belantara Ibukota yang sebulan terakhir kering kerontang diterpa panas kemarau. Ada aku yang berteduh di kafe pinggir jalan, menanti reda yang tak kunjung tiba. Ini anugerah. Setidaknya sesaat yang sekejab ini membantuku mengingat betapa menakjubkannya harmoni serunai air yang menggerimisi Ibukota. Tentang Hujan dan jalanan Ibukota, aku tiba-tiba terpikir : apa yang paling berbahaya bagi Ibukota dan segenap penduduknya? Apakah banjir yang saban tahun selalu menggenangi pemukiman Ibukota? Apakah sampah plastik yang dari hari ke hari kian menggunung tak terbendung di Bantar Gebang? Apakah macet yang terus mengular makin panjang seiring bertambahnya kendaraan bermotor? Ataukah ketimpangan sosial antara si kaya dan miskin yang kian terasa jomplang? Ah, aku kira tidak begitu. Ada yang jauh lebih berbahaya dari itu semua. Tentang ketidakpedulian. Ketika orang-orang memutuskan untuk berhenti peduli, ketika orang-orang m

KEPING KESEPULUH : Sepuluh yang Utama

Gambar
Selalu ada ujung untuk setiap pangkal mula. Selalu ada noktah penanda akhir kata untuk setiap aksara kalimat awal. Selalu ada salam perpisahan untuk setiap sapa pertemuan. Maka demikian halnya dengan Ramadhan kita tahun ini. Silih hari berganti, perlahan mengantarkan kita pada satu kesimpulan nan pasti : sudahkah Ramadhan menjadi arti bertakwa bagi kita yang mengaku beriman? Jika sudah, maka bersyukurlah, karena di sisa bilangan yang ada, kita hanya perlu menjaga sembari memaksimalkannya. Jika belum, maka kejarlah! Karena di sisa shiyam yang ada, masih tersedia jutaan rahmat serta barokat dari Dia yang Maha Mengasihi. Jika sudah namun kemudian menghilang seiring lesunya iman, maka bersiaplah! Karena di sisa hari yang ada, pintu taubat masih terbuka demikian lebar bagi mereka yang sungguh-sungguh mencari ampunan-Nya. Lebih-lebih, sepertiga terakhir bulan Ramadhan merupakan kumpulan dari 10 malam yang penuh nanti. Allah hadirkan kesempatan emas untuk turut mencicipi

BATAVIA’s DIARY : Dari Pinggir Jendela

Gambar
[Dok. Pribadi] o-●-o-●-o-●-o-● . Dear Diary, . Akhir-akhir ini, saya suka sekali berkeliling Ibukota dengan moda transportasi bis TransJakarta. . Murah meriah, cukup 3500 rupiah, saya sudah bisa bepergian dari ujung ke ujung, selama belum keluar dari halte pemberhentian. . Tapi bagian yang paling asyik adalah saat-saat ketika saya berada di pinggir jendela bis. Duduk takzim menatap pemandangan di luar, lalu -ah- waktu seakan ikut berhenti terdiam. . Pikiran saya berputar-putar dilamun cakrawala angan. Menghitung peradaban. Mengukur pencapaian. Tentang negeri ini. . Di tepi jalan, orang-orang pinggiran berjalan tanpa alas kaki. Di pinggir pusat perbelanjaan, borjuis-borjuis mengantri memanggil antrian taksi. . Di tengah-tengah keramaian, angkasa awan dikoyak oleh kehadiran pencakar langit. Bumi pertiwi dikeduk begitu dalam, demi memancangkan paku-paku pondasi penopang tanda kegagahan di atasnya. . Bis masih terus berjalan. . Ibukota, jelang petang, jutaan manusia

KEPING KESEMBILAN : Topeng Rahwana

Gambar
[Source : Here ] Syahdan, dalam epos Ramayana gubahan Resi Walmiki, kita kenal bersama sepak terjang Prabu Dasamuka, sang antagonis utama yang pun akrab kita panggil dengan sebutan Rahwana. Ia dikenal memiliki 10 rupa nan berbeda, menjadikannya begitu sakti dan seakan tak punya celah. ( Dasa = Sepuluh ; Muka = Wajah ) Namun ia dihujat sebagai pihak yang kalah, tersungkur mati di hadapan Sri Rama dalam pertarungan gagah berani yang mengatasnamakan cinta pada Dewi Sinta. Tapi sungguhkah kita, manusia biasa yang kerap latah menjelekkan seorang Rahwana, pantas untuk disebut lebih baik daripada dia? Ini yang menarik. Rahwana boleh mempunyai ajian 10 rupa nan berbeda. Tapi, bukankah dalam kehidupan nyata, kita terkadang punya lebih banyak  'topeng' daripada dia? Bukankah dalam keseharian kita hari ini, banyak make-up kepalsuan yang sengaja kita kenakan untuk menutupi diri kita yang sesungguhnya? (Ingin) terlihat perlente. (Ingin) terlihat baik. (Ingin) terlihat sholi

IBU-KALA-RINDU

Gambar
[Source: Here ] Ibu,  mengapa kian hari,  kian berat kaki ini tuk  sekadar melangkah? Baktiku kah,  yang mungkin terlanjur berkurang  bersebab jarak terlampau menjura.... Maksiatku kah,  yang mungkin terbacut mentabiri  semua restu-mu di nun jauh sana... Rinduku kah,  yang mungkin terlampau berat  mendera di tanah kembara.... Atau mungkin, gelap serta pekat kebimbangan yang tak kunjung sedia mengeluarkan anakmu ini? ----------------- Kapan terakhir kali engkau bertukar kabar dengan Ibu? Kemarin? Sepekan lalu? Sebulan silam? Atau bahkan, saking lamanya, waktu yang silih bertukar tak lagi sempat terhitung? Jangan begitu, Kawan. Boleh jadi, seluruh cerita suksesmu hari ini, bersebabkan doa-doa yang dipanjatkan dengan sepenuh tulus oleh Ibumu di sepertiga akhir malam. Menjulang tegak ke atas, menggetarkan Arsy langit, sehingga Rabb Pemiliknya kemudian berkenan membentangkan seluruh janji manis kehidupan untukmu pada hari ini. Boleh jadi, seluruh cerita ba