KEPING KETIGA BELAS : Kado

[Dok. Pribadi]

o-●-o-●-o-●-o-●

Seharusnya, ini tamasya yang luar biasa asyik.

3 tahun lalu, paruh awal tahun 2015, ada saya, @naufal.ahmadd, @ibrahim_fayadl yang baru rampung mengikuti seleksi beasiswa di Jakarta, ditambah 'supervisor' kami yang kebetulan sedang libur ngampus dan bosan sendirian : mas @faris.amin . Berempat, kami merencanakan pelesir sejenak ke Kebun Raya Bogor (KRB) yang termahsyur itu.

Kebetulan pula, masing-masing dari kami punya agenda tersendiri di sisa hari tersebut. Naufal, tuan rumah kami, bersama Fayadl kembali ke Depok. Mas Faris Amin pulang ke kosan. Sedang saya, rencananya akan pergi bersilaturrahmi ke tempat PKL di daerah Bogor dulu. Gegara itulah, akhirnya sepanjang perjalanan nanti saya terpaksa 'ngoyoh-ngoyohan' menggotong ransel ukuran penuh kemana-mana.

Nasib. Tapi itu masih belum seberapa, kawan.

Berhubung karena kami semua sama-sama buta pengalaman, juga gengsi bertanya kepada masyarakat sekitar, jadilah akhirnya kami berempat kemudian mengandalkan Google Maps @faris.amin untuk memandu kami berjalan kaki dari Stasiun Bogor menuju Pintu Masuk TERDEKAT KRB.

Rute yang disarankan benar-benar luar bi(n)asa, euy! Dari pertigaan di ujung stasiun, kami (yang penuh naif ini) diajak belok ke arah KIRI, muter 1 jam mengelilingi setengah lingkar Istana Bogor sebelum akhirnya tiba ngos-ngosan di depan Gerbang Masuk III.

Yang bikin lebih nelangsa, tak sampai 5 menit kemudian, hujan turun dengan begitu derasnya! Alamakjang! Saya tepok jidat berkali-kali! Memaksakan masuk hanya akan membuat kami kian basah kuyup, karena KRB bersifat alam terbuka. Karena kehabisan pilihan, terpaksa kami berempat berteduh dahulu di Restoran Siomay yang ada di seberang. Disanalah sembari menghabiskan waktu, kami asyik ngobrol ngalor-ngidul menanti gerimis reda.

Jelang waktu ashar, hujan genap berhenti. Maka kami, dengan semangat loyo yang masih tersisa, mulai menyeret kaki melangkah masuk ke KRB. Alhamdulillah. Segar sekali, boi. Apalagi ketika kompak berempat bersepeda bersama menjelajahi area terbuka disana. Biuh! Mantap sekali, euy!

Dengan sepeda-sepeda itulah, kami kemudian sibuk 'bergerilya' mencari maskot yang menjadi andalan KRB selama ini : Bunga Bangkai! Plang demi plang kami ikuti. Lho, hasilnya kok nihil, ya? Kami coba telusuri ulang beberapa kali, ternyata hasilnya tetap sama. Terakhir, mendekati batas waktu ditutupnya KRB, barulah salah satu dari kami bertanya kepada petugas yang lewat. Ternyata jawaban beliau lagi-lagi bikin kami mengelus dada : "Waduh, mas. Bunga Bangkai yang sampeyan cari sudah lama mati, mas. Gak tiap waktu ada. Cuma mekar beberapa tahun sekali..."

Padam sudah semangat di muka kami berempat. Kami kecele. Juga kecewa berat. Bayangkan, waktu super singkat (hanya 1-1,5 jam) yang kami perjuangkan dengan susah payah hari itu, ternyata harus dipuncaki dengan hasil usaha yang sedari awal memang sudah mustahil untuk diadakan.

Tapi yang paling membuat hati kami jengkel setengah mati, ketika pulang sore harinya, barulah kami tahu bahwa ternyata ada rute yang jauuuuuuh lebih singkat dari yang kami gunakan siang tadi. Dari pertigaan stasiun Bogor belok KANAN. 10 menit dari situ, berjarak beberapa ratus meter saja, Pintu Gerbang Utama KRB ternyata sudah menanti penuh gagah di ujung sana.

Aaaaaarrrrrrrgggggghhhhh! Serius, deh.  (Rasanya ku ingin berkata sesuatu 😑 )

Seandainya tahu lebih awal perihal jalur tersebut, bisa ditebak berapa banyak waktu, tenaga, juga emosi yang dapat kami hemat bersama.

Tapi itulah dia. Nilai terbaik dari suatu perjalanan justru terdapat pada kejutan-kejutan tak terduga yang menghampiri di tengah jalan. Meski kecut lagi pahit, tapi boleh jadi itulah momen tak terlupakan yang tak akan terulang kali kedua.

Satu hal yang hingga detik ini masih saya ingat dengan baik, tentang komentar beliau 'supervisor' kami,  Mas @faris.amin sesudah kejadian Bunga Bangkai di atas. Dengan enteng dan senyum khasnya beliau cuma berkata, "Oalah, berarti dari tadi kita muter-muter Jakarta cuma  nyariin tanaman yang udah mati aja ya..." Mendengar itu, mau tak mau saya hanya tertawa masam sambil lanjut menggerutu.

Maka tadi malam, lagi-lagi dengan senyum khas  yang konon 11-12 mirip Aburizal Bakrie itu,  beliau mengadakan Resepsi Pernikahan di Gedung IPHI Sukoharjo. Acara yang meriah. Semarak dengan gegap gempita, sorak-sorai, canda tawa penuh bahagia dari kedua pengantin maupun para undangan. Lebih-lebih ketika pembacaan nominasi pemenang hadiah doorprize. Lebih riuh!

Ah, saya yang seorang pelancong jalanan ini benar-benar merasa beruntung dapat hadir diundang di momen sakral semalam.

Banyak orang yang mendambakan cinta suci lagi hakiki. Tapi tak semua dari mereka yang berani bergegas naik ke jenjang pelaminan. Hanya orang-orang tak kenal takut sajalah yang berani menikah di usia muda. Dengan semua ketidakpastian yang serba menghadang di kumpulan masa depan, mereka tetap berani melangkah mengambil resiko mengarungi bahtera rumah tangga. Dengan gelaran usia cukup panjang yang rentan terjangkiti kebosanan, mereka justru penuh gagah menandatangani akad komitmen sehidup semati.

Angkat topi, kang @faris.amin! Saya mungkin tak dapat memberi banyak hal untuk pernikahan Anda tadi malam, ya sayyidi. Tapi semoga sepenggal cerita di atas menjadi saksi yang baik lagi barokah atas perkenalan kita, persahabatan kita, dan (semoga) persaudaraan kita di dunia kini maupun akhirat nanti.

Barakallahu Lakuma wa 'Alaikuma. Wa jama'a bainakuma fii khoir. Insya Allah muga-mugi samawa, kang! 😁😁😁

o-●-o-●-o-●-o-●

Kota Solo,
Jangan tanya kapan nyusul.

Komentar

Posting Komentar