KALA-CINTA-KEMBARA

[Dok. Pribadi]

Cinta?
Duhai cendekiawan dunia,
sudikah kiranya kalian,
mengabari pemilik hati ini,
arti dari sang cinta?


Ribuan jalan telah kususuri,
tak alpa tuk sapa kanan dan kiri,
bertanya pada mereka para bijak bestari,
tentang apakah arti kata cinta itu?


Ratusan lakon telah kumainkan,
lihai berganti topeng beralih peran,
berburu makna dan jawaban,
dari para alim kehidupan.
Ah, rupa-rupanya hanya tersisa gelengan heran,
saat tiba pertanyaan: Apa itu Cinta?


“Nak, betapa pandir dirimu!
bertanya perihal rasa suka dalam hehati insan,
seakan dunia esok purna akan,
dan kau masih menjadi bujang perawan!”
ejek kalian,
dengan muka bertabur gurauan,
di satu sudut terlupakan suatu peradaban.


“Berapa kali kan kau tanyakan pertanyaan
bodohmu itu, heh?
Cinta itu perkara ringan..
suka asal suka,
lalu terbang ke fantasi surga!
tak ada beban, tak ada duka,
yang ada hanya sepeser harga!
Hahahahahaha”,
teriak kalian penuh tawa,
di hadapan diri yang tegak menghening
bersama sekumpulan dinding dan batu pasar kumuh ini.


Kulanjutkan kembali patahan langkah kaki,
mencari siapalah yang mampu mengabarkan kabar
cerita suci di balik makna cinta hakiki,
dan cerita mengapa ada jutaan lelaki
yang sedia jatuh bangun memperjuangkan satu kata ini.


Hingga tibalah aku di suatu masa,
ribuan hari sesudah permulaan jejak asa,
menghadang di hadapanku seorang renta tua
bertanya, mau kemanakah kisanak muda?


Penuh layu lisan ini berbicara,
aku hanyalah seorang pengembara,
mencari arti cinta penuh bara,
dan kiranya dapat hidup dengan gembira.


Ah, kisanak!
Tak perlu berpanjang lebar mengutarakan,
angin barat lebih cepat mengabarkan,
bahkan bintang gemintang pun turut menceritakan,
perihal dustamu barusan.


Dusta?
Ribuan kali kuucapkan perihal yang sekata
pada mereka yang bertanya bak utusan duta,
Dan, oh, bahkan semesta pun tahu aku tak sedang bermain mata


Hahahahaha, anak muda!
bukan itu yang menjadi tanya,
dan bukan itu pula yang menjadi jawabnya.


Aku sekedar heran, akan kemanakah engkau
pergi sesudah mengerti arti cinta?
Meneruskan jejak?
Melanjutkan garis anak?
Atau pergi mencari sanak?
Atau bahkan berhenti bak induk beranak?
Akan lantas kau kemanakan
jawaban atas pertanyaan
-mu itu?


Ah, aku paham.
Rupa-rupanya ia sedang menyelidiki penuh dalam
maksud dari perjalanan siang malam
milikku ini.


Kisanak!
Apa yang kisanak cari begitu luas,
bak setetes embun di tengah hujan deras,
atau setitik noktah dalam ribuan lembar kertas.


Mari,
ceritakan apa yang menjadi ceritamu,
agar jelas semua keluh kesahmu,
dan terang benderang segala tujuanmu.


Kuberikan telingaku,
maka berikan aku ceritamu,
cerita terbaik agar perjalananmu tak lantas lekang
tertiup bak seonggok debu lalu hilang.


.......
.  .  .  .  .  .  .  .  .
.    .    .    .    .    .    .    .    .


Selimut hening masih mengungkung kami,
pilihan serupa yang lagi-lagi tak kusesali.
Aih, tapi ini lain sama sekali,
diamku bukan karena menyimpan senyum simpul tali
ini diam bersebab bingung hendak dari mana mengawali.


Pak tua,
dia adalah seorang wanita mulia,
matanya semarak dengan kilau bercahaya,
kian indah dengan wajah manis berhias sendu,
Dan ah, lengkap sudah alasan mengapa hati ini begitu merindu.


Pak tua,
semenjak kanak kami telah bersua,
rumah tabib kerajaan menjadi saksi mula
tumbuh kembang onak bernama cinta,
di hati lelaki yang kini engkau tanya.


Sekian lama kami berkawan,
hingga tiba misteri takdir penuh jalinan
dan perpisahan jadi suatu keniscayaan.
Aku berkelana dan berteman dengan kicau jalanan,
sedang dia pergi jauh mencari pengetahuan.


Pak tua,
sekian lama kami bercabang jalur,
dan waktu terus bergulir menuakan umur.
Saat itulah takdir kembali lepas dari sang busur,
memunculkan ingatan demi ingatan yang terasa kabur,
dan tiba-tiba semua berubah kelu tiada teratur.


Sungguh, dia tiba di saat tak tepat,
kala tekad merelakan telah mengambil tempat


Pak tua,
kitab-kitab usang banyak menulis
bila cinta tak lebih dari sekedar kegilaan manis,
bikin ketagihan berujung pada kenyataan miris,
Benarkah demikian?


Indonesia, 
9 September 2019

Komentar

  1. Cinta tak perlu sejauh itu Yung. Cukup mengatakan qabiltu nikahaha 😏

    BalasHapus
    Balasan
    1. Siap, kang! Mentang-mentang pengantin baru ya....-_-

      Hapus
  2. Balasan
    1. Yap! Betul sekali. Saya barusan cek ke KBBI. Ejaan yang benar ternyata adalah 'sekadar'. Thanks buat koreksinya! Hehe...

      Hapus
  3. Balasan
    1. Thanks, gan. Boleh jadi karena efek filter dari aplikasi yang dipake...hehe

      Hapus
  4. ya ampun aku juga suka buat puisi tp pas baca yg ini beuh deep bgt dah kata katanya to be honest keren banget kk😊

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih kak... Masih sama-sama berproses, hehe...

      Hapus
  5. Pengen belajar nulis puisi yg nyambung antarparagraf nyampe panjang gini kak

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tipsnya, dikumpulin dulu kata-kata yang seirama akhirannya... Baru kemudian mulai dikarang-karang cerita yang ingin dikemukakan... Salam Literasi!

      Hapus
  6. Puisinya keren Kisanak...dan fotonya apalagi eh... ngobrol cinta memang hal paling absurd di dunia..dan jiwa memang perlu mengembara memaknainya...eaaa

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tiap orang bebas menafsirkan definisi cintanya masing-masing. Tapi sepertinya ada solusi yang lebih mudah : Terjun Langsung alias Cus Menikah! Heheh...

      Hapus
  7. Saya juga ngga begitu mengerti tentang cinta. WkwkwkπŸ‘

    BalasHapus
    Balasan
    1. Cocok. Karena cinta adalah pesona yang menyimpan jutaan maksud di balik tabir-tabirnya.

      Hapus
  8. Balasan
    1. Yaaak! Selamat karena telah mengangkat tangan duluan. Hehe...

      Hapus
  9. Keren, seperti cerita sampai ikut menerka makna dan jalan ceritanya mau dibawa kemana πŸ˜…

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sebenernya pengen membuat bagian kedua. Cuma mungkin saya terkendala dengan pilihan kata yang makin menyusut. Silahkeun apabila ada yang bisa meneruskan... Hehehe

      Hapus
  10. Balasan
    1. Thanks buat support-nya, kak. Semoga betah singgah di rumah cerita kami ini.

      Hapus
  11. Balasan
    1. Pak Tua hanya seorang perlambang orang bijak, yang menuntun setiap penanya untuk sedia mencari jawaban dalam diri mereka masing-masing. Bukan hanya sekadar menyuapkan nasehat-nasehat biasa, dan menjauhkan mereka dari proses berpikir. Pak Tua sejatinya adalah diri kita sendiri.

      Hapus
  12. Keren, Kak... Puisinya panjaaaang tanpa kehabisan diksi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Thanks buat support-nya, kak. Tapi dibilang tanpa kehabisan diksi sih, sebenarnya masih kurang tepat. Karena sudah ada satu-dua pilihan kata yang diulang dan diulang di beberapa tempat. Saya masih harus banyak belajar menekuni khazanah kosakata bahasa Indonesia! Mohon doanya, kak!

      Hapus
  13. Hmm ... panjang ya puisinya. Ajari aku berpuisi, aku lemah. Tapi aku bingung, Kak. Kaidah puisi dan sastra lain sama tidak. Yant menemukan kata 'kau tanyakan', kalau di cerita 'kan harus digabung kalau puisi bolehkah tudak digabung?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Puisi itu unik. Tidak selamanya terikat dengan kaidah baku bahasa Indonesia. Itu juga yang kemudian menjadi kekuatan para penyair: mereka menciptakan sesuatu yang belum ada dari keterbtasan-keterbatasan bahasa Indonesia. Untuk rujukan, bisa melihat beberapa karya penyair-penyair Indonesia, dari zaman jadul sampai yang terkini. Selamat membaca! ^_^

      Hapus
  14. πŸ’–πŸ˜‰πŸ‘πŸ‘slalu mengena

    BalasHapus

Posting Komentar