CATATAN GURU RANTAU : Tentang Arti Bangga untuk Orang Tua Kita

[Source: Here]

o-●-o-●-o-●-o-●

Suatu malam, di salah satu warung tenda di pinggir stasiun Solo Balapan, saya asyik menemani salah seorang wali santri kami yang sedang bersiap kembali ke kota asalnya. 

Bersama secangkir hangat minuman teh yang saya seruput dan sepiring nasi pecel yang beliau nikmati, mengalirlah obrolan ringan di antara kami berdua. Hingga perlahan, percakapan kami tersebut tiba di bagian yang amat menarik, –terutama bagi saya pribadi.

“Saya itu bangga sekali dengan anak saya, pak Ustadz...” tutur beliau mengawali. Ah ya, sudah 2 tahun terakhir anak beliau dipondokkan di sekolah kami.

Pripun niku, nggih Pak? Ceritanya gimana itu, Pak?” sambut saya antusias. Maklum, jika sudah begini, biasanya akan ada satu cerita spesial tentang kesan para orang tua sebakda anaknya masuk dunia pesantren.

 “Gini lho, tadz. Ramadhan kemarin, pernah suatu ketika anak saya diminta mengimami sholat malam di masjid dekat rumah. Ba’da sholat Isya, ta’mir masjidnya sudah koar-koar di depan jamaah, kalau yang nanti malam bertugas sebagai imam adalah anak-anak muda yang hafal Al Qur’an, supaya jama’ah tertarik dan banyak yang ikut…”
 
“Oh begitu, Pak….Lha terus selanjutnya bagaimana, Pak?” 

“Lha ndilalah, pas jam 2 malam, kami sekeluarga telat bangun. 10 menit jelang sholat, orang masjid baru datang mengetuk pintu rumah. Akhirnya, anak saya cuma saya suruh cuci muka sama ganti baju, terus langsung berangkat ke masjid. Saya sendiri malah ndak jadi ikutan, karena masih harus ngurusi anggota rumah yang lain dulu..

Pas subuhnya, saya ketemu teman saya yang jadi ta’mir di masjid itu. Nah, dia bilang ke saya seperti ini, ‘Masya Allah…. Hebat sekali anak njenengan tadi malam, Pak… Bacaan dan hafalannya bagus sekali.. Alhamdulillah, kalau begitu, masjid kita ini ndak usah bingung lagi nyari generasi penerus … Insya Allah anak sampeyan sudah siap itu….’ 

Olalaaah, Pak Ustadz…. Dengar cerita tadi, kok ya rasa-rasanya hati saya, –saking senengnya–, mau ikut terbang melambung ke langit ya? Hehehe... Tapi ya coba saya tahan sebisanya, tadz. Soalnya kan masih di depan orang lain. Hehehehe……

Tapi beneran, Pak Ustadz… Alhamdulillah sekali, saya bangganya bukan main ketika mendengar anak saya bisa seperti itu…Alhamdulillah… Alhamdulillaaaaah sekali, Pak Ustadz…” jelas beliau panjang lebar dengan mata yang berbinar-binar.
 
Saya tersenyum. 

[Source : Here]

“Ah iya, masih ada satu lagi, tadz. Anak saya kan kalau libur panjang sering main menginap di rumah teman-temannya. Ramadhan kemarin juga kayak gitu. Tapi walau demikian, sholat malam berjamaahnya ndak pernah tinggl, tadz. Pernah suatu hari saya tiba-tiba dikirimi foto sama teman saya. Isinya gambar anak saya yang sedang ikut jadi makmum sholat tahajjud di salah satu masjid besar di kota kami. Anak saya ndak tahu kalau dirinya dijepret dan dikimkan ke saya. Terus teman saya komentar, ‘Ini lho anak sampeyan. Hebat ya… Kecil-kecil sudah rutin ikut sholat malam berjamaah..’ 

Walah walah, Pak ustadz…. Saya jadinya malah tambah bangga dengan anak saya itu.. Padahal saya ndak ada nyuruh dia secara khusus. Masya Allah sekali. Mungkin karena memang sudah dibiasakan semenjak di pesantren, nggih tadz? Jadinya, Alhamdulillah, anak saya malah terbiasa dengan kegiatan-kegiatan positif seperti itu..’

Sembari menyeruput sisa teh di gelas, saya hanya menyengir tipis lalu ringan menjawab, “Juga bisa jadi, ini semua bersebab doa tiada henti dari pannjenengan selaku orang tuanya, nggih lho Pak….”

Ah, kawan, satu lagi cerita indah untuk menemani malam nan dingin yang mengungkuti kami di kota Solo ketika itu. Cerita yang ringkas, namun berbekas begitu dalam di hati saya.

Betapa sebenarnya, orang tua - orang tua kitalah manusia yang paling berhak untuk kita buat bangga di atas dunia ini. Mereka selalu ada di sisi kita, membersamai kita, mendukung kita dengan sepenuh kasih, bahkan semenjak sebelum lahirnya kita ke alam ragawi ini. Lantas, bersebab perjuangan yang sedemikian rupa tersebut, tak layakkah mereka untuk sekedar kita buat bangga? Tak inginkah diri kita tuk sekedar membuat mereka berdua berbahagia dengan sederet prestasi dan pembuktian dari diri kita ini?

Dan kawan, sesesap cerita di atas juga menyadarkan saya, bahwa sejatinya ada banyak hal nan sederhana di sekeliling kita yang dapat membuat orang tua kita berbesar hati. Wali Santri kami barusan, bukan main senangnya ketika melihat anak-anaknya tumbuh dengan sederet akhlaqul karimah. Pandai mengaji, lancar mengimami, bagus hafalannya, juga rajin qiyamul lail. Dan kiranya, adakah orang tua yang tak berbangga hati ketika melihat keturunan yang sedemikian rupa? Adakah?

Bahkan sementereng apapun status suatu masyarakat maupun keluarga, mereka yang dewasa dengan pengetahuan agama terbaik tetap akan mendapatkan tanda salut nan terhormat dari sesama insan yang lain, bukan?

Hal-hal nan sederhana semacam itulah yang kerap kita abai dan kesampingkan. Karena dunia kita hari ini terlanjur mengukur ukuran kebanggaan para orang tua dengan aneka syarat nan sulit. Dari jabatan yang mentereng, gaji yang harus sekian puluh juta, harta yang tertumpuk manis di rumah maupun bank, gelaran gelar penuh prestise, hingga kendaraan mewah lagi mahal. Padahal, apakah kelak semua hal tersebut akan dibawa ke kampung halaman tanah akhirat kita? Tidak, kawan. Bahkan tak satupun yang akan muat  dibawa masuk ke dalam peti kubur.

Namun tatkala menyaksikan anak-anak kita, -atau setidaknya diri kita terlebih dahulu-, rajin sholat 5 waktu, gemar bersedekah, tutur kata santun lagi halus, pandai mengaji , hafal beberapa bagian dari mushaf Al Qur’an, mampu melantunkan hafalan dengan penuh tadabbur dan makna; hati orang tua manakah yang tak akan bergetar melihatnya? Dan tentu, -tentu saja-, semua itu merupakan sungai kebaikan yang kan tetap mengalir penuh jariyah hingga hari perhitungan kelak. Lantas apa lagi yang kita tunggu -selaku anak maupun (calon) orang tua-? 

[Source : Here]
Kawan, hari-hari di atas dunia ini akan selamanya terus berputar, silih berganti antara siang lagi malam. Maka sudah sepatutnya bagi kita untuk setidaknya merasa khawatir, bahwa seiring detik waktu yang berjalan, kita tentu kan terus menua, bukan? Lalu, tidakkah pernah terbesit di relung terdalam sepetak hati kita, sebuah tanya nan menohok satu ini : sudahkah aku membahagiakan kedua orang tuaku hingga mereka tak merasa menyesal telah menghadirkanku di atas dunia nan indah ini? Sudahkah?

Alhamdulillah, jika ternyata tuntas telah terjawab. Setidaknya sisa waktu yang ada bisa kita pergunakan untuk membangun pencapaian-pencapaian lain yang lebih baik. 

Namun jika belum, maka yuk, selagi usia masih dikandung badan, kita gegas mengejar satu-dua hal nan baik di atas dunia ini. Tak perlu repot-repot merengkuh seluruh isi dunia, karena sehebat apapun kita, dunia tak akan pernah ditakdirkan cukup untuk kita. Sederhana saja, hal-hal kecil yang dengan itu setidaknya dapat membuat kedua orang tua kita berbangga hati dan beramal jariyah. Seperti berbagi terhadap sesama, menyantuni mereka yang fakir lagi lemah, belajar maupun mengajar satu-dua huruf Qur'an, atau bahkan mengajak orang-orang terdekat untuk kembali ke haribaan Sang Khalik. 

Cobalah. Dan niscaya akan datang beberapa perbedaan mendasar dalam hidup kita selama ini.  Cobalah. Dan niscaya tatkala maut datang menjemput, tiada sesal yang tersisa di atas dunia, untuk kita maupun kedua orang tua kita.


o-●-o-●-o-●-o-●

Sepenuh Kasih dari
Djakarta Jelang Dini Hari,
11 Muharram 1440 H 

Komentar

  1. Astagfirullah,,, jadi inget alm. Ayah saya... Daaaaaan, saya merasa belum membahagiakan beliau 😭😭😭

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semoga doa dan amal kebaikan dari anak-anaknya yang Sholih/at menjadi pahala yang mengalir di sisi alm. Allahumma Amiin...

      Hapus
  2. MaasyaAllah ternyata kakak guru.. Keren2 semangat melalang buana kak tebarkan kebaikan...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lebih tepatnya 'mantan guru'...hehe
      Tapi terima kasih atas doa dan dukungannya kak.. Semoga kita semua bisa terus berbuat baik kepada sesama.

      Hapus
  3. Masha Allah kak tulisannya bagus sekali, menginspirasi, memotivasi. Alhamdulillah, terima kasih tulisannyaπŸ‘

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah. Semoga menjadi kebaikan dan kebermanfaatan hingga yaumil akhir kelak. Allahumma Amin

      Hapus
  4. Mengisnpirasi sekali tulisannya sekaligus menjadi pengingat bagi manusia untuk membahagiakan orangtua dan mengumpulkan bekal akhirat.

    Kunjungi blog saya: aoikinawa.blogspot.com

    BalasHapus
  5. Kalau dalam bahasa jawanya, "Guru" digugu lan ditiru

    BalasHapus
    Balasan
    1. Guru pertama para anak adalah orang tua - orang tua mereka. :)

      Hapus
  6. Masyaallah. Luar biasa muatan dalam tulisan ini.

    BalasHapus
  7. Fully blessed πŸ˜˜πŸ˜˜πŸ€—πŸ€—

    BalasHapus
  8. Karena dunia hanya sementara, semua hanya titipan saja. Setelah Allah dan rosul-Nya tentu selanjutnya adalah orang tua yang perlu diutamakan πŸ‘

    BalasHapus
  9. Akhirnya..., maen kesini. fufufu... :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semoga betah, kang! Mesti ini karena tugas dari admin ya? heheh

      Hapus
  10. Inspiratif sekali tulisannya... Barakallahu fiikum

    BalasHapus
  11. kok aku bacanya jadi ikutan medok ya. ceritanyangalir enak dibaca kak.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah kalau bisa ikut terbawa suasananya kak. Semoga menjadi amal kebaikan bagi kita bersama.

      Hapus
  12. Masya Allah, terharu sekali saya membacanya, saya ikut merasakan kebanggaan seperti orangtua dalam kisah di atas..

    Semoga kita dan anak anak kita kelak, bisa memberi kebanggan dan kebahagiaan untuk kedua orang tua kita.

    Semoga Allah menghadiahkan syurga untuk keduanya... Allahumma aamiin. 🀲

    BalasHapus

Posting Komentar