E-Embun Kebaikan

[Dok.Pribadi]
Di satu sudut Terminal Rajabasa, Lampung saya mendengar satu hikayat yang teramat menarik.

Datangnya dari seorang petugas loket yang mengurusi keberangkatan kami malam itu. Dengan santai dia lepas bertutur cerita, bila beberapa tahun lalu terminal yang kami datangi ini adalah terminal paling berbahaya 'se-dunia'. Jika Anda datang sendiri atau dalam rombongan kecil, jangan harap bisa kembali dengan saku yang masih terisi penuh. Pemalakan dan premanisme adalah hal yang wajar, sewajar rutinitas terminal itu sendiri. Bahkan di masa-masa itu, aparat keamanan sama sekali tak bisa berbuat apapun.

Namun sekarang, masih menurut shohibul hikayat, terminal Rajabasa telah berubah 180 derajat. Yang dulunya beliau tasbihkan sebagai terminal paling berbahaya 'se-dunia', kini justru menjelma sebagai terminal paling aman 'se-Indonesia'. Pemalakan dan premanisme benar-benar telah sirna. Bukan karena adanya penindakan dari aparat, namun kata beliau, sebagian besar dari preman-preman tersebut di akhir hayatnya mendapat balasan langsung dari Allah. Harta yang mereka kumpulkan dengan jalan tidak benar, pada akhirnya benar-benar ludes dan mengantarkan mereka kembali ke titik nol. Mereka seakan disadarkan,  meski sudah sangat terlambat, bahwa harta sebanyak apapun bila diperoleh dengan cara yang tidak baik, ujung-ujungnya hanya akan menghilangkan keberkahan di dalamnya serta mengantarkan kita pada derita dan nestapa.

Pak Saragi, petugas loket tempat kami mendengar hikayat ini, kiranya sudah 32 tahun bekerja di terminal tersebut. Dengan gelaran masa selama itu, bolehlah kita menganggap cerita beliau barusan adalah benar dan valid adanya. Meski memang  sebutan 'se-dunia' dan 'se-Indonesia' yang beliau katakan tadi bukanlah berdasar riset atau penelitian ilmiah sesungguhnya, namun tentu kita sudah maklum berikut mafhum dengan gambaran maksud yang ingin beliau utarakan.

Maka jadilah di malam itu kami mendapat secercah embun kebaikan. Meski di sudut-sudut terminal sekalipun, embun tersebut tetap tumbuh dan menguar menjadi inspirasi kebaikan bagi mereka para pendengar. Hikmah yang ada, terus diwariskan dari satu ke satu yang lain, hingga akhirnya menjadi rantai kebajikan.

Cerita di atas tadi, juga membawa saya ke ingatan momen dalam foto di atas. Pagi penuh berkah, ketika saya dapat bersua dan mendaras adab dari mereka para shalihin.

Paling kiri ada beliau kang @zuhairnajm, sahabat seperjuangan dan ustadz muda yang sebentar lagi menimba ilmu di Kota Nabi. Beliau ini inspirator yang selalu menginspirasi saya tatkala lemah dan lunglai dalam menuntut ilmu.

Dua dari kiri, ada rekan kami kece nan humoris @hanif_muh, moderator tetap yang seringkali jadi pengantar tausyiah asatidzah nasional. Dari sobat satu ini saya mendaras adab bersosial dan dengan para 'agniya, berikut peka merasa keluh kesah mereka.

Paling kanan, tepat di sebelah saya, ada dia tetangga yang kini telah terbang demikian tinggi, @zakiyaskar. Rumah kami berdekatan, namun pesona dakwah beliau telah mencapai ujung perbatasan tanah Papua. Penuh tawadhu', banyak mendengar, dan giat mencari pengalaman.

Maka kini dalam satu frame, jadilah saya, sang itik buruk rupa, sedang diapit para angsa rupawan. Menghabiskan pagi penuh berkah, menikmati udara sepoi bertiup ringan, sekaligus menyaksikan embun pagi menetes dalam berbagai rupa kebaikan.

Selamat pagi, dunia.

Komentar