CERBUNG : Mimpi di Ujung Meja Hijau (Bagian Akhir)

[Source : Here]

------------------------------

“Baiklah, setelah sedikit berdiskusi, akhirnya kami para hakim sepakat untuk memvonis terdakwa Basuki Rahmat, selaku Direktur PT.Asta Bangun, sebagi pelaku dalam tindak pidana korupsi pengadaan bantuan sekolah yang merugikan negara sebesar Rp 9,6 miliar rupiah. Setelah melalui berbagai pertimbangan, kami memutuskan untuk menjatuhkan hukuman kepada terdakwa sesuai dengan tuntutan yang diajukan Jaksa Penuntut yang berupa hukuman 5 tahun 6 bulan penjara ditambah dengan denda 500 juta beserta kewajiban untuk mengganti kerugian negara.”, kataku lantang yang diikuti dengan ketokan palu yang khas.

Tok..tok..tok..

Setelah membacakan vonis itu, pikiranku jadi sedikit buram. Aku agak lupa dengan detail jalannya sisa sidang tersebut. Yang pasti, ketika itu kamu mengajukan banding ke Mahkamah Agung. Berharap mendapat vonis yang lebih ringan dari yang kubacakan. Dan yang pasti juga, sebelum sidang ditutup aku tidak akan pernah melupakan sorot matamu yang tajam itu. Sorot yang menunjukkan dengan jelas jika kau hendak menerkam tubuhku ini. Meskipun aku yakin, kau tak akan mampu melakukan hal tersebut. Setidaknya, bukan pada saat ini. Bagaimana mungkin kau dapat menyerangku sedangkan sepuluh orang lebih petugas keamanan berada di sekitarmu? Bagaimana mungkin kamu dapat meloloskan diri dari pengamanan tingkat tinggi yang diberlakukan di ruang sidang ini? Aku tertawa geli memikirkan hal itu dalam hatiku.

Setidaknya itu menjadi sedikit hiburan bagiku setelah sukses melewati sidang terberat sepanjang karirku. Bukan karena cerdiknya pengacara yang engkau pilih, bukan sama sekali. Pengacaramu memang panjang akal, tapi aku telah bertemu puluhan pengacara lain yang jauh lebih licin dibandingkan dengannya. Dan aku selalu menang menghadapi mereka. Yang membuat berat keputusanku dalam membuat vonis adalah keterlibatanmu dalam kasus ini. Aku tidak pernah menduga jika prinsipku untuk memberantas korupsi di negeri ini bakalan teruji melalui cara seperti ini.

Untunglah, di saat-saat terakhir aku bisa mengingat wasiat ayahku ketika ia berada di akhir usianya. Itulah yang membuat aku berani mengambil keputusan ini. Sebuah keputusan untuk terus memberantas korupsi di negeri ini, dengan cara menghukum tegas orang-orang yang terbukti melakukannya. 

Sekarang aku bisa tenang. Meskipun kau mengajukan banding ke Mahkamah Agung, aku benar-benar yakin jika keputusan hakim disana tidak jauh berbeda dengan keputusan yang telah aku buat. Karena mereka semua adalah orang-orang yang sepemikiran denganku. Mereka adalah kolega terbaikku dalam gerakan pemberantasan korupsi di negeri ini. Bahkan kami selalu berkumpul bersama setidaknya dua minggu sekali. Meluangkan sedikit waktu yang kami miliki untuk berdiskusi bersama memikirkan cara-cara terbaik guna memberantas korupsi di negeri ini. Kami sepakat untuk terus menyebarkan semangat anti korupsi ini ke orang-orang di sekitar kami. Salah satunya melalui tulisan, entah itu artikel, esai, atau bahkan novel. Dan eh, tahukah Anda para pembaca, jika cerpen ini termasuk bagian dari kesepakatan kami itu?

(selesai..)

Komentar