Batavia’s Diary : Another Beginning



Dear Diary,


Apa kabar, Djakarta? Ah, kota ini akan selalu tampak baik. Bahkan dari hari ke hari, kota ini kian maju dan modern.


Lalu, apa kabar diriku yang kini? Aha, ini dia kawan, yang baru agak sedikit mengkhawatirkan. Kabarku kurang baik. Bahkan sepekan pertama di Ibukota ini, aku justru terkapar sakit di kamar kontrakan. Mual, muntah, pusing, hingga puncaknya tekanan darahku sempat turun ke titik nadir.


Djakarta rupa-rupanya memang berbeda jauh dari Solo, Jogja, apalagi Manindjaoe. Sepanas-panasnya daerah di atas, tetap tak akan senahas kondisi di kota megapolitan ini. ‘Panas’ saja tak cukup untuk sekedar menggambarkan keadaan Djakarta di siang hari. Harus ada tambahan variabel beberapa kosakata lain, seperti : Macet, Polusi, Gerah, Ruwet, Bising, Perang Klakson, Harga Selangit ; dan semua itu harus disertai dengan keterangan : ‘Gila parah’ !! 


And well, yah, itulah Djakarta yang saat ini kutinggali bersama jutaan rakyat Indonesia lainnya. 


Jadi, kukira wajar, bahwa untuk beradaptasi sepenuhnya di sini, aku kranya memang perlu jatuh sakit terlebih dahulu. Apalagi dengan adanya perbedaan yang begitu kontras antara lingkungan yang kutinggali sekarang dengan yang sebelumnya. 


Beberapa rekan yang sepat mengetahui perihal kondisi sakitku tempo hari kemarin bahkan hanya tertawa ringan sembari mengatakan, ‘Ah, biasa itu. Sindrom Jakarta itu, mah…’. Motivasi yang menghibur, setidaknya untuk mengurangi tensi ke-parno-an diriku ketika itu.


Dan entah dari mana asalnya, aku juga sempat iseng bermain cocoklogi dengan sakitku tersebut. Bahwa boleh jadi, ini semacam isyarat bila aku akan tinggal di Djakarta untuk waktu yang cukup lama. Sebab, saat mengawali hari-hari pertama petualangan di tanah rantau Manindjaoe dulu, aku pun sempat jatuh sakit sekitar 3 hari. Dan akhirnya, aku bisa lanjut bertahan hingga 2,5 tahun berkutnya. Kini di Djakarta, peristiwa yang sama juga terjadi kembali. Aku jatuh sakit selama 6 hari. Apakah ini pertanda bahwa aku akan bermukin 2x lebih lama dibandingkan di Sumatera Barat dulu? 5 tahun? Entahlah. Hanya takdir beserta waktu yang kan perlahan menjawabnya, bukan?


Meski demikian, aku sungguh benar-benar percaya, bahwa sakitku tempo hari kemarin merupakan bagian dari skenario langit yang memang harus terjadi demi kebaikanku sendiri. Apa hikmahnya? Hanya Tuhan yang Maha Mengetahui dengan kebenaran nan sesungguhnya. Tapi boleh jadi, ini sebentuk persiapan agar diriku tak terlalu kaget dengan rutinitas baru di Djakarta nanti. Seakan berkata kepadaku, ‘Ini lho Djakarta… Tempat pijakanmu yang berikutnya… Tempat tumbuh kembangmu yang selanjutnya….Ada tantangan yang harus kamu selesaikan, dan ada wisdom of life yang harus kamu pelajari di sini…’


Sehingga ketika genap sembuh dan sepenuhnya bangkit dari kasur istirahat, aku kian yakin dengan alasanku untuk berada di kota ini. Aku kian mantap percaya bahwa memang benar ada sekeping misteri langit yang harus kujalani di atas tanah bernama Djakarta ini. Maka ya, aku harus maju dan terus maju. Entah kemana angin takdir kan membawaku ke depannya, bagaimanapun juga kota ini tetap harus menjadi bagian dari diriku untuk saat ini.


Jadi overall, apapun itu, sebulan petama di Djakarta ini aku bertemu banyak hal baru, bertegur sapa dengan orang-orang yang sama sekali belum kukenal, tinggal di lingkungan yang sepenuhnya bmerbeda, dan kembali memulai semuanya dari hitungan nol. Takutkah aku? Sedikit, mungkin. Karena itu memang fitrahku selaku manusia biasa. Namun selebihnya? Ah ini dia, aku justru kian merasa tertantang.


Fighting. Dan sampai jumpa di jurnal catatan berikutnya.

-----------------

InFrame : 

Bersama my brother fillah @naufal.ahmadd ketika menyusuri kawasan Kota Tua Djakarta. Sahabat lama sekaligus ‘inang’ tempat aku menjadi benalu di hari-hari pertama beradaptasi di Ibukota Djakarta ini. Really, that was an amazing experience, bro…. :)

-----------------

Djakarta Penghujung Malam
12 Muharram 1439 H - 1.44

Komentar

Posting Komentar