Pantang Nanggung, Sebelum Turun Panggung



Tentang ikhtiar, saya punya cerita yang menarik.


Syahdan, di salah satu kegiatan internal FIM Jakarta, saya didapuk menjadi penyiar acara pada malam tersebut. Tajuk pembahasan yang diangkat ketika itu ialah "Bounce Back", seputar tentang bagaimana kita berusaha untuk bangkit sebakda terjatuh dalam jurang keterpurukan..


Kegiatan ini, sedianya memang di-setting sedari awal seperti sebuah siaran radio, dimana pendengar bebas berbicara dan bercerita perihal tema yang disepakati bersama. Tugas saya ialah memandu jalannya acara agar tetap menarik, dan mengorek setiap cerita yang mengemuka agar jangan sampai kehilangan kedalamannya masing-masing.


Salah satu cerita yang paling berkesan, adalah cerita dari Presiden FIM Jakarta sendiri, @izzudinfaras, ketika mengulik kembali salah satu momentum beliau di masa SMA terdahulu.


Ceritanya begini. Dulu beliau sempat mengincar ingin masuk salah satu SMA favorit / terbaik di Jakarta ketika itu. Sayangnya, keinginan tersebut tidak berhasil dikarenakan hasil tes beliau ternyata tidak mencukupi standar nilai yang diminta pihak sekolah.


Sampai disini, itu baru sekedar menjadi cerita yang 'wajar'. Sudah sering terdengar. Sudah biasa ditemukan.


Tapi tahu enggak, berapa selisih nilainya ketika itu?


Hanya nol koma sekian, boi. Tidak sampai 1 poin dari nilai minimum yang menjadi syarat penerimaan ketika itu.


Semisal, katakanlah untuk diterima di sekolah tersebut tiap peserta harus mendapatkan nilai minimal 80, nah, beliau dalam ujian tes masuk hanya mendapatkan nilai 79,-- (tujuh puluh sembilan koma sekian sekian). Senyaris itu. Setipis itu.


Tapi dari situ beliau belajar, -dan ini yang menjadi higlight saya malam itu- bahwa dalam berikhtiar -apapun bentuknya- pantang bagi kita untuk bersikap serba nanggung, pantang bagi kita untuk bersikap setengah-setengah.


Yang namanya usaha, ya sak puoleee, lur! Jangan kepalang tanggung! Hehe.


Karena nantinya, perbedaan skor yang sebegitu tipis, dapat mengakibatkan hasil yang luar biasa berbeda. Persis seperti cerita beliau di atas.


Malam itu, saya yakin sudah menyimak baik-baik maksud pesan yang disampaikan beliau melalui cerita barusan.


Namun, eh ndilalah, cerita yang semisal ternyata juga saya alami beberapa pekan sebelum ini. Ketika mewakili 'rumah' kami di KSEI AkSES LIPIA untuk berlaga dalam kompetisi Olimpiade Ekonomi Islam Tingkat Nasional (Temilnas) secara virtual, saya mengalami kejadian yang hampir sama gregetnya seperti kisah sebelumnya.


Di babak penyisihan, kami lolos tanpa halangan berarti. Kami memperoleh peringkat 10 dari 120 tim peserta. Lumayan memuaskan, karena untuk tahapan babak berikutnya di semifinal, panitia mengambil 25 tim dengan peringkat tertinggi. Dan dengan hasil barusan, kami optimis, kami punya awal yang cukup bagus untuk menggondol piala kemenangan kali ini.


Di babak semifinal, kami bertanding dengan sistem rangking 1 lalu menjawab kuis via aplikasi online. Kali ini panitia hanya mengambil 5 tim terbaik untuk maju ke babak final.


Namun, disinilah cerita itu terjadi. Kami justru terpeselet di beberapa soal mudah yang seharusnya dapat kami jawab. Soal-soal seperti, kapan berdirinya bank Muamalat, atau siapa ketua harian KNEKS, atau kepanjangan AAOIFI, atau pemikiran mazhab ekonomi Baqir As-Sadr. Jawaban yang seyogyanya sangat familiar sekali bagi para aktivis ekonomi syariah.


Hahaha. Ketika tiba waktunya pengumuman, kami ternyata hanya meraih peringkat 8 dari 25 tim. Selisih 7 poin dari titik aman, dan selisih 2 tingkat dari 6 tim yang lolos ke babak puncak (ternyata peringkat 5 dan 6, total nilainya seimbang).


Begitu tipis. Karena tiap soal yang kami terpeleset di situ, bisa senilai 3 sampai 5 poin apabila dijawab dengan benar. Namun itulah akhir cerita. Di ajang sekelas Temilnas, ketidakhati-hatian semacam itu, hanya akan membuat diri kita dihukum dengan berat oleh lawan-lawan yang ada. Hanya dengan perbedaan yang begitu sedikit, kami genap terjerambab pada jurang pemisah yang begitu lebar, antara pemenang (winner) dan pecundang (loser).


Tentang ikhtiar, hari itu lagi-lagi saya kembali belajar, bahwa sekalinya kita berusaha, ya mari berjuang dengan segenap upaya. Jangan setengah-setengah. Jangan kepalang nanggung. Dalam segala ihwal urusan. Hingga penghujung darah penghabisan.


Termasuk dalam hal gelora perjuangan asmara. Eh, iya kan?


----------


Ibukota,
22 Muharram 1442
Cerita Lama Kita

Komentar

Postingan populer dari blog ini

M-Menelusuri Asal Muasal Nama Ibukota

Mengenal Bang Zen, Sohib Aliyah di ODOP Batch 7

Memaknai Perjalanan

KEPING KEDUA PULUH DELAPAN : Jejak Kebermanfaatan