Memaknai Perjalanan

[Source : Here]

Pernah tidur di atas dek kapal?


Saya pernah. Di atas kapal yang sedang melaju membelah ombak menuju Pulau Madura, saya tertidur begitu nyenyak selama beberapa saat. Terbuai bersama angin laut yang begitu sejuk, dan keindahan malam berbintang di angkasa awan, meski terkadang tercium bau mesin kapal, tapi amboi tetap saja, itu salah satu malam terbaik yang pernah saya miliki. 

Pernah tidur di dalam gua di atas puncak gunung tanpa selimut?

Rasanya dingin begitu menggigil. Di ketinggian Lawu, saya dipaksa tidur dengan sekedar sarung dan pakaian di badan. Angin bertiup kencang menusuk hingga sembilu, membuat tidur kami tak terasa nyenyak sama sekali hingga mentari terbit di ketinggian pagi.

Pernah tidur di depan air terjun?

Asyik bangeeet. Di Curug Sodong, Sukabumi ada 3 tingkat air terjun. Setelah perjalanan yang lumayan ekstrem, kami berhasil mencapai tingkat paling atas. Disitulah kemudian saya asyik merebahkan badan, sambil menghadap air terjun yang menumpahkan air dari ketinggian. Begitu damai, begitu syahdu. Sampai-sampai saya sedikit ogah-ogahan ketika diajak berfoto bersama oleh rombongan.

Pernah tidur di tepi pantai selatan?

Tidak nyenyak, ternyata! Banyak nyamuk yang menggigiti sekujur tubuh. Padahal angin laut berhembus cukup nyaman menemani kami yang merehatkan badan di atas pasir pantai. Hingga kemudian di tengah malam hujan gerimis perlahan turun dan memaksa saya untuk berpindah tidur ke dalam bak truk yang mengangkut kami menuju kesana.

Pernah tidur di tengah hutan di ketinggian 1700 mdpl?

Saya pernah ketika kemah alam semasa Aliyah dahulu. Di Tlogo Dlingo, Tawangmangu, ketika puncak malam tiba, suhu udara bisa turun begitu drastis. Alhasil, setiap beberapa jam, kami akan dibangunkan supaya bisa menggerakkan badan guna menghindari kondisi hipotermia.

Pernah tertidur di atas bis atau kereta?

Walah. Kalau itu sering malah. Tanyakan kepada orang-orang yang pernah seperjalanan dengan saya. Tidak butuh waktu lama, saya akan segera tertidur begitu bis atau kereta berangkat. Sambil menyandarkan kepala di pinggir jendela, terantuk sekali - dua kali ketika ada guncangan di jalan, -ah, rasanya bikin kangen.

Tentang perjalanan, salah satu cara saya untuk menikmatinya adalah dengan mengingat momentum tidur dalam petualangan tersebut. Ketika ketidaknyamanan dan ketidak-nyenyak-an dalam hal tersebut, ternyata justru membuat perjalanan kita menjadi kenangan yang membuat rindu sekaligus penuh kangen. 

Kayaknya asyik gitu ya kan, kalau setiap perjalanan kita ditandai dengan ingatan perjuangan untuk sekedar mencari kesempatan beristirahat sebelum melanjutkan kembali melanjutkan perjalanan keesokan harinya. Karena tentu, untuk setiap pelancong, setelah sejauh itu melanglang meninggalkan kampung halaman, tentu terasa naif bukan jika justru mengutamakan ke-nyenyak-an tidur di negeri tujuan?

Hehe... Tertidur dalam buaian nyiur angin perjalanan, akankah mimpi kita akan terasa lebih indah? Saya tidak tahu. Tapi yang saya tahu pasti, momen-momen seperti itulah yang membuat perjalanan menjadi candu, penuh rindu, sekaligus mengundang jiwa-jiwa pengembara untuk terus melanjutkan jejak perjalanan. 

-----------

Ibukota,
16 Syawal 1441 H - 20.45
Kangen Debu Alam Liar

Komentar