KEPING KEDUA PULUH TUJUH : Kekayaan Hati



Syahdan di Maninjau dahulu, saya sempat membaca salah satu keping hadis singkat nan berharga. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda, 



لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ ، وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ


"Bukanlah kekakayaan itu tentang kekayaan harta benda, melainkan kekayaan sejati adalah kekayaan jiiwa (hati yang merasa cukup)."


Sebuah hadist yang menggugah. Mudah dipahami susunan maksudnya, namun untuk menarik lebih jauh perihal hikmah di dalamnya, adakah sesederhana itu? 


Bertahun-bertahun kemudian, saya menemukan penjelasan yang menarik dalam buku "Falsafah Hidup", gubahan sang ulama maestro Maninjau, Buya Hamka. 


Tulis beliau, kekayaan sejati adalah kekayaan hati! Karena apa-apa yang menjadi perbendaharaan hati, tak akan pernah dapat diambil oleh orang selain kita. Selamanya menjadi milik kita, tak akan bisa dipaksa beralih kepemilikan sekalipun oleh sekalian seisi bumi.


Kita boleh saja jatuh miskin. Harta benda dirampas diambil secara lalim. Diusir dari kampung halaman. Dipisahkan dari segenap sanak famili. Dikucilkan di pelosok terpencil. Sendiri berjalan di atas muka bumi. Tapi ingat, sekalipun begitu, seutuhnya iman di hati akan tetap menjadi iman milik kita seorang diri. Kekayaan ilmu, kecerdasan hati, kebijaksanaan diri, akan seterusnya selalu menjadi milik kita. Tidak berkurang, justru malah bertambah seiring kerasanya cobaan yang menempa.


Maka benarlah makna hadis tersebut! Kekayaan duniawi dapat berkurang atau bahkan hilang begitu saja. Tapi kekayaan hati akan selamanya ada untuk kita. Tak pernah pergi, kecuali atas kehendak diri kita sendiri. Inilah investasi dunia-akhirat, yang terakumulasi dalam sebentuk pengalaman hidup seiring bertambahnya usia hayat kita masing-masing.


Kekayaan hati juga bisa terwakili melalui sikap teguh kita dalam berprinsip memegang idealisme. Hati yang teguh akan mengantarkan jiwa menuju pribadi yang tangguh. Ada seorang Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah, yang sekalipun tubuh rentanya dicambuk berulang kali, tak sekalipun dia sedia kompromi kepada penguasa untuk sepakat menyetujui "Al Qur'an adalah makhluk". Itulah sebentuk kekayaan hati beliau, yang tak sedikitpun berkurang sekalipun penjara dan siksaan menerpa fisik ragawi beliau. Dan itu pulalah yang kemudian membuat nama beliau abadi sepanjang kitaran zaman, tak lekang, terus berpendar dengan segenap inspirasi untuk kita di belakang.


Kekayaan hati juga dapat menjelma sebagai perwujudan kelapangan dada, keikhlasan nurani, ataupun sikap welas asih terhadap sesama. Untuk memaafkan yang bersilang sengketa. Untuk berinfaq di kala lapang maupun nestapa. Untuk terus beramal sholih semata mengharap ridho Ilahi Rabb Pencipta semesta.


Ketika itu perlahan menggumpal di dalam hati, sejatinya kita telah menjadi seorang yang kaya raya, tanpa perlu berpeluh payah memikirkan godaan harta dunia. Sekalipun memang mungkin terluput dari pandangan mata manusia, namun adakah itu kemudian terlewat dari Dzat Yang Maha Melihat?


Maka benarlah hadist tersebut. Bahwa kekayaan sejati adalah kekayaan hati, bukan semata kekayaan duniawi. Karena kekayaan yang bersumber dari hati, hakikatnya akan memudahkan langkah demi langkah kita di hari persidangan akhirat kelak. Sedangkan kekayaan yang berasalkan dari tumpukan harta duniawi, boleh jadi justru akan memperlama kita ketika diminta mempertanggungjawabkan setiap tetes darinya.  Sesudah itu, adakah yang masih tak bersedia?


Maka bersegeralah. Sebelum usai usia kita, terbacut dalam kata terlambat, dan kita keburu masuk ke liang lahat. Bersegeralah!


Wallahu 'Alam bis Showab.


-----------------------


Pinggir Kota Solo,
27 Rabi'ul Akhir 1441 H
Untuk Libur yang Proaktif

Komentar