KEPING KEDUA PULUH SEMBILAN : Dusta yang Tak Disengaja



Tentang menjaga kuantitas beserta kualitas ucapan, mari kita belajar menyeksamai hadis berikut. Dari Hafsh bin 'Ashim, bahwasanya suatu ketika Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda, 


كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ


"Cukuplah seseorang (dikatakan) berdusta, (jika) ia menyampaikan setiap apa yang ia dengar." [HR. Muslim no.6]


Tentu menjadi sebuah pertanyan bagi kita, bagaimanakah kiranya kita dianggap berdusta, sedang kita sama sekali tidak meniatkannya hal tersebut?


Kebetulan mungkin ada di antara kita yang ceriwis, suka bercoleteh, dan rasanya ada kelu di lidah jika sejenak berhenti berbicara. Jadilah dia kemana-mana selalu mengambil inisiatif sebagai tukang bercerita, menyampaikan segala apapun yang dia dengar dan ketahui di hari tersebut. Dia sama sekali tak ada niatan berbohong, hanya sekedar berbagi pengetahuan informasi kepada orang-orang di sekitarnya. Ah, masakan yang seperti itu akan dianggap sebagai pendusta?


Tentang ini, Imam Nawawi rahimahullah memberikan penjelasan yang cukup menarik. 


Beliau berkata, “Karena sejatinya seseorang biasa mendengar berita yang jujur maupun yang dusta, maka jika ia menyampaikan setiap apa yang ia dengar, berarti ia telah berdusta, disebabkan mengkabarkan sesuatu yang tidak sesuai dengan kenyataan/keadaan yang sebenarnya."


Lebih lanjut beliau menjelaskan makna dusta sebagai,  "..mengabarkan tentang sesuatu yang menyelisihi kenyataan/keadaan yang sesungguhnya, dan (untuk disebut dusta) tidak disyaratkan harus ada unsur kesengajaan berdusta“.


Itu benar. Dalam keseharian kita, tentu berita yang kita dengar tidak selamanya adalah berita yang akurat dan penuh kejujuran. Boleh jadi kita kadang juga terpapar informasi yang salah, opini yang menyesatkan, kabar burung yang belum jelas kebenarannya, atau hoax yang tidak jelas juntrungannya. 


Ketika kita ikut menyebarkan semua itu, tanpa menkroscek kebenaran kabar tersebut, bukankah sejatinya kita telah ikut berdusta secara tidak langsung?


Maka boleh jadi, -hanya Allah Yang Mahu Tahu dengan kebenarannya-, salah satu hikmah dari Ramadhan yang berlangsung di tengah-tengah pandemi Covid-19 tahun ini adalah agar kita kian dapat menahan lisan kita dari segala ucapan yang tidak bermanfaat dan belum pasti kebenarannya. Bukan sekedar menahan haus dan lapar, namun juga menahan erat-erat hasrat keinginan untuk berbicara mengungkapkan semua isi kepala kita.


Udah diam aja, jika kita memang bukan ahli di bidang tersebut, jika kita tak mampu mempertanggungjawabkan kebenaran dari kata-kata kita. Karena nanti justru akan mempergaduh suasana, memperkeruh keadaan. 


Sebagai penutup, mari kita cukupkan dengan salah satu pepatah bijak dari Arab. Disitu tertulis, "Jangan engkau KATAKAN setiap apa yang engkau ketahui, tapi KETAHUILAH setiap apa yang engkau katakan."


Pepatah itu tepat sekali. Setiap konten perlu konteks. Dan konteks tanpa konten hanya akan menjadi pepesan kosong tak berisi.


Wallahu 'Alam bis Showab.


----------------


Photo taken by : @zuhair_najm


----------------


Ibukota,
25 Ramadhan 1441 H - 20.20
Menjadi Baik Tak Perlu Alasan

Komentar