CAKRAWALA RINDU : Sketsa Sepuluh



Harusnya hari ini, bukan?


Ketika suatu malam aku memberanikan diri mengatakan, "Aku mencintaimu, Kasih. Aku siap menemui kedua orang tuamu."


Tidak ada jawaban untukku malam itu. Namun beberapa hari kemudian, kutemukan secarik surat di pintu depan rumahku. Tertulis dikirimkan dari kediamanmu di kota sebelah.


Isinya tentang permohonan maaf, bahwa sudah ada lelaki lain yang meminangmu terlebih dahulu. Hanya berselang beberapa hari sebelum aku mengutarakannya pada malam itu. Dan untuk menghormati keadaan tersebut, orang tuamu memintaku untuk mengerti, seraya mendoakan jodoh terbaik bagiku suatu hari nanti.


Baiklah. Hidup harus tetap berlanjut, bukan? Sekurangnya aku telah mengambil lompatan penting dalam kehidupan masa mudaku.


Doaku paling tulus ketika itu, aku bahkan berharap agar setiap dari kita diberikan kebahagiaan dalam menjalani segenap proses yang ada. Aku. Engkau. Termasuk laki-laki calon suamimu yang aku bahkan tidak tahu namanya tersebut.


Tapi beberapa bulan berikutnya, kudengar dari salah seorang sahabat dekat, bahwa engkau membatalkan semua pinangan yang datang kepadamu. Meski tak mengerti alasan pasti di balik cerita tersebut, namun ketika mendengar kabar itu, ah, hatiku serasa menjerit begitu bahagia : ini kesempatanku!


Aku kini lebih siap. Dalam waktu singkat aku lekas mengubungi kedua orang tuaku. Meminta persetujuan, mehohon restu, dan sebagainya. Aku juga turut menghubungi sahabat-sahabat lain yang telah mendahului menikah. Memohon doa, meminta kiat beserta saran, -karena hei, kali ini tak boleh sampai gagal, kan?


Sayangnya, ketika aku hendak menyapa memulai kembali percakapan yang terputus sekian lama, tiba-tiba aku mendapati hal semisal seperti yang aku dapati dalam kesempatan pertama dulu.


Tidak ada jawaban. Sekian hari. Gelisah menunggu, hingga akhirnya aku lelah dengan diriku sendiri. Bagaimanakah gerangan, eh?


Sekalinya muncul jawaban darimu, itu justru jawaban yang membuat hatiku mencelos. Katamu ketika itu, "Maafkan aku. Sepertinya, antara kita, perlu ada jarak dan jeda terlebih dahulu. Aku takut abang terlampau banyak berharap. Aku takut kita.....belum siap."


Aku mengusap air muka. Sungguhkah? Sesudah sejauh ini?


Tapi, baiklah. Untukmu, sungguh tak mengapa. Karena setelah dua kali menghadapi pergulatan batin yang sama, aku sepenuhnya memaklumi bahwa kita berdua mungkin memang tak ditakdirkan berjodoh. Siapalah aku, selain seorang pemuda penuh getir, yang sekedar nekat mengutarakan cinta dengan bermodal janji-janji kehidupan yang serba tidak pasti. Maka aku putuskan untuk mengepak ulang seluruh perasaan yang sempat berkecamuk penuh gejolak. Pergi dengan sekantong luka di hati. Karena tentang hidup, hari-hari masih harus terus berganti esok, bukan?


Namun Kasih, mengapa setelah beberapa saat, aku justru merasakan hal yang sebaliknya?


Kudapati engkau sering diam-diam mencuri pandang ke arahku saat bepapasan di kantor. Atau sengaja berpura-pura lewat di depan kafe tempat aku duduk setiap petang menanti macet Ibukota. Atau rutin mengikuti kabar terbaruku di media sosial. Atau bertanya perihal keadaanku kepada orang-orang di sekitarku. Wahai, ada apakah gerangan?


Lalu puncaknya, beberapa hari yang lalu, kudengar engkau sedang menantiku untuk sekali lagi maju mengutarakan perasaan. Aih, sungguhkah?


Antara senang bercampur gelisah, aku justru merasa bingung harus berbuat apa. Bukan karena aku berhenti mencintaimu. Bukan. Karena setiap detiknya, sesudah hari tersebut, aku bahkan selalu limbung diamuk badai kerinduan kepadamu. Namun justru karena itulah, -karena rindu tersebutlah- setiap kali perasaan itu mencuat timbul ke permukaan, aku selalu berusaha mengingkarinya kuat-kuat, membakar habis seluruh benih yang mencoba tumbuh keluar, bersembunyi di balik wajah keras yang menjadi topeng keseharianku; hanya karena..... aku telah berhenti berharap.


Aku sejenak menghela nafas. Jika dipikir-pikir, itu seharusnya hari ini, bukan? Setahun yang lalu, ketika aku memutuskan untuk mengatakan kali pertama, aku sedianya merencanakan akan menikah pada tanggal ini. Di pekan pertama sebakda bulan suci Ramadhan, jikalau jadi, seharusnya hari ini kita sudah merayakan setahun pernikahan kita, ya kan?


Aha. Tapi itu kepingan kenangan masa lalu. Yang telah berlalu, biarlah berlalu. Kini aku sekali lagi mengulangi persimpangan pilihan hidup yang telah dua kali kulalui sebelumnya. Apa yang harus kulakukan, Kasih? Apakah engkau benar-benar menjamin akan menerimaku kali ini? Atau justru aku yang bakal sekali lagi remuk redam diluluhlantakkan perasaan kecewa, pecah penuh bilur bersama sembilu yang merenggut hati di dada?


Entahlah. Aku tak tahu.


-------------------


Tanjung Barat,
7 Syawal 1441 H - 07.40
Menutup Buku

Komentar