CAKRAWALA RINDU : Sketsa Enam

[Source : Here]
---------------

Dari akoe,
oentoek permatakoe djang hilang.

---------------

"Kurasa aku akan segera menikah, kawan" katamu di penghujung petang.

"Oh, begitukah? Dengan siapa?" mataku segera berbinar. Sahabatku semenjak kecil, rupanya kini genap hendak melangkahkan kaki ke jenjang pelaminan.

"Dengan dia ..." sembari ringan menyodorkan secarik kartu undangan.

Aku sekilas melirik. Masih tersenyum, lalu kukatakan, "Ceritakan padaku. Supaya aku yang tak kunjung menikah ini bisa ikut punya keberanian sepertimu ..."

Kemudian mengalirlah untaian kisah tersebut. Tentang sahabatku yang satu purnama silam memberanikan diri datang melamar ke kediaman sang Putri. Lalu tanpa basa-basi mengatakan dengan lantang maksud kedatangannya di hadapan keluarga besar. Duhai, rupanya itu benar-benar meninggalkan kesan yang amat kuat. Sempurna membuat keluarga mereka lekas menerima seluruh urusan.

"Aku beruntung mampu memenangkan segalanya di malam itu. Seorang aku, yang bahkan untuk menyebut namanya pun hanya bisa sekedar menitipkannya di atas singgasana langit. Seorang aku, yang bahkan bila dibandingkan dengan seluruh kebesaran keluarganya hanya tampak bagaikan kerikil di puncak Mahameru. Seorang aku, yang........ ah, entahlah, kawan. Jika bukan karena kuasa Sang Pencipta Semesta, aku bahkan masih tak percaya hari ini aku akan mengantarkan undangan tersebut ke hadapanmu."

Duhai. Aku tersenyum tulus.

"Maka, bukankah itu pertanda cinta sejati, kawan? Cinta yang tulus. Sempurna apa adanya. Semata berlandas kepasrahan pada Sang Ilahi. Tanpa diimbuhi noktah noda hitam yang akan mengaburkan segala kebenaran, dan mengeruhkan hati bersama seluruh arus kebimbangan. Ya kan?"

Ada jeda yang turut berhimpun di sudut-sudut ruangan. Hening. Seakan semesta ikut tenggelam bersama jejak obrolan kami barusan.

"Aku akan datang, Insya Allah." kataku pada akhirnya. Demi seluruh ikatan persahabatan kami. Demi janji seorang pria.

Dia kembali sumringrah.

"Sip! Kamu harus datang, ya. Resepsinya di Kota Malang. Kalau mepet dengan jadwal kuliah, cari aja penerbangan pagi dari Ibukota. Tiket aku subsidi, deh...Hehe..."

"Hahaha ..." kali ini aku benar-benar tak mampu menahan tawa.

Lihatlah, sahabat yang dulu di asrama selalu berhutang padaku tiap akhir bulan, kini sudah berani-beraninya 'belagu' berjanji mentraktir tiket pesawat untukku.

"Jangan banyak gaya, boi. Sesudah ijab-kabul, kita tahu sama tahu, perjuangan keuanganmu akan jauh lebih berat dari yang sekarang, bukan?" aku menyeringai mengejek.

"Haha....Kata-katamu memang betul. Tapi ingat, bung, cinta adalah perjuangan bagi mereka yang menang, dan pengorbanan untuk mereka para pecundang.

Mana mungkin aku berhenti menyerah sesudah memenangkan seluruh gelanggang perasaan ini, ya kan?

Demi cinta ini, demi seluruh kepercayaan yang diberikan keluarga mereka pada malam itu, aku hanya harus berusaha lebih keras untuk mencari nafkah, bukan? Hehe ..."

Dia balas tertawa, sebelum kemudian beranjak pamit. Melambai pergi, meninggalkanku yang masih berdiam menghabiskan sajian makanan.

Ah, dia memang benar.

Lalu, sambil tersenyum tipis, kuambil kembali lembar undangan tadi. Kubaca sekali lagi huruf-huruf yang tercetak di tiap halaman. Hingga akhirnya, tatapan senduku berhenti pada sepotong kata bertinta emas yang terukir indah di atasnya.

Itu namamu, Kasih.

Ah, sekali lagi dia memang benar. Cinta hanyalah sekedar tentang para pemenang dan pecundang. Sayangnya, dalam   kecamuk peperangan ini, akulah sang lakon pecundang,

Kasih.

---------------

Ibukota Lama,
kepada dia yang baru saja pergi.

Komentar