RIHLAH MALAYA : Studi Banding Ramadhan antar Negeri

Central Mosque of Songkhla, Thailand


Gimana rasanya ber-Ramadhan di Semenanjung Malaya?


Di Penang, suasana Ramadhan yang terliput terasa lebih 'kalem'. Tidak terlalu semarak, namun juga tidak sepi-sepi amat. 


Salah satu penyebabnya boleh jadi karena jumlah masjid yang ada di Penang tak sampai seramai di Indonesia. Coba bandingkan, di negeri kita ini, tiap gang permukiman penduduk, bisa jadi punya tempat sholatnya masing-masing, lho ya. Dengan jamaahnya masing-masing. Mulai dari sekelas langgar, surau, musholla, hingga masjid jami'.


Di Penang, dari apa yang kami temui, tidak seperti itu, kawan. Jumlah masjidnya lebih sedikit. Dan itupun rata-rata setingkat masjid besar semua. Ketika tiba waktu berbuka, tidak ada semarak lantunan adzan yang saling menyahuti dari kejauhan. Tidak terdengar hiruk-pikuk salakan klakson dari aneka kendaraan yang terjebak kemacetan jalanan. Tidak ada. Jadi terasa lebih, eh, syahdu mungkin, ya? 


Postifnya, ifthor jama'i (buka puasa bareng-bareng) yang jamak diadakan di masjid jadinya lebih ramai dengan antusias masyarakat, karena terkumpul di satu lokasi yang sama. Siapapun itu, meski tak saling mengenal, semua boleh ikut bergabung. Walaupun non-muslim sekalipun.


Ketika adzan maghrib berkumandang, barulah kami bersama-sama menyantap menu berbuka yang satu macam, saling berbagi kebahagiaan Ramadhan, sebelum lanjut melaksanakan sholat berjamaah. 


Wuih, pokoknya ramai banget, deh. Itu yang sukses membuat kami terkesan berat. Karena sebagai pelancong yang serba jauh dari rumah, suasana kebersamaan semacam itulah yang dapat memberi ganti kehangatan dan ketenangan di sanubari kami. Hehe...


Adapun Thailand, kami kira menjalani puasa di sana jauh dan jauh lebih berat dibandingkan di Malaysia ataupun Indonesia, yang notabene merupakan negara muslim. Cobaannya bukan sekedar rasa haus dan lapar. Tapi juga termasuk godaan mata dan iman.


Disana, siang hari bulan Ramadhan berlalu sebagaimana hari-hari biasa. Jelang matahari meninggi, beragam manusia mulai tumpah ruah di jalanan kota. Bercampur satu antara turis pendatang seperti kami, dengan kesibukan normal para penduduk asli. Repotnya, hampir kebanyakan dari kedua kubu tersebut berlalu lalang dengan pakaian yang (mohon maaf) agak minim. Selain itu, banyak juga masyarakat sekitar yang memasang aneka macam 'food tenant' di jalur pedestrian, berlomba mencari nafkah dari menjajakan beragam kuliner khas negeri mereka. Hiruk pikuk yang 'menggoda'. Makanan yang dipajang tentu terlihat lezat, sampai-sampai laris manis diborong para pelintas sekitar. Lalu mereka tanpa segan langsung santai melahapnya seketika di depan kami bertiga. Hadeeeeh, ini Ramadhan, lho pakdeee.... Hehehehe...


Pengalaman yang amat menarik. Perjalanan yang bukan sekedar perjalanan mata dan raga, namun juga tentunya perjalanan hati dan iman. Kita bisa belajar memaknai rasa syukur sekaligus sabar. Mentadabburi kebesaran sang Pencipta sekaligus bertafakkur perihal kebijaksanaan hidup. Utamanya dalam urusan seputar ber-Ramadhan di negeri lain.


Namun, jika saya ditanyai tentang Ramadhan dimanakah yang lebih menimbulkan secuat rindu, oh, sudah barang tentu saya akan menjawab : Ramadhan di negeri sendiri! 


Karena inilah tempat tumpah darah kita semua. Ada rumah, tempat saya kembali, sebakda melanglang buana menyimak pengalaman sejauh apapun. Ada kenangan manis, tempat saya mendaras beragam pembelajaran perihal kehidupan. Dan yang paling penting, ada jutaan hal baik, yang kiranya terlanjur membuat daku jatuh hati. 


Ah, Endonesah. Sekalipun itu hanya debu-debu knalpot di tengah semarak kemacetan metropolitan, di negeri inilah kami benar-benar merasa 'pulang'. 


Ya. Dulu maupun sekarang. Kini maupun yang akan datang. 


o-●-o-●-o-●-o-●


Oh ya, buat temen-temen yang mau turut berbagi pengalaman ber-Ramadhan di negeri orang, bila berkenan, boleh kok ikutan komentar di bawah... Mana tau ada yang tetarik untuk berjodoh, kan?


o-●-o-●-o-●-o-●

Ibukota, 
4 Juni 2019

Tulisan yang sudah sangat lama sekali. Namun penting bagi saya untuk tetap mengarsipkannya dengan rapi dalam lembaran virtual di sini, agar sekalipun waktu terus berjalan maju, namun kenangan manis tentang hal tersebut dapat tetap terngiang bersama dalam ingatan kami, para pelaku sejarah itu sendiri.


Komentar