CHIEF's NOTE : Kita Berkarya dengan Membawa Nama Orang-Orang yang Percaya pada Kita

Satu kesempatan, saya terlibat dalam project organisasi yang terbilang cukup prestise. Proker terakhir, paling akbar, warisan pekerjaan dari pengurus sebelumnya, yang selama ini kami hindari karena skalanya terlalu besar bagi sumber daya kami ketika itu.


Namun salah seorang sahabat dekat berhasil membujuk saya. Katanya, "Gampang kok, tingal set set set, jadi deh." Karena dia mengatakannya dengan begitu meyakinkan, plus dia juga berjanji untuk ikut serta membantu bagian terberat, maka saya pun akhirnya luluh dan merasa tertantang.


Kami berdua kemudian bersalaman pertanda optimis. Ketika itu saya sebagai ketua tim hanya tersenyum nyengir. Sedangkan anggota kami, hanya bisa terperangah setengah tak percaya menyaksikan saya yang setuju untuk memulai project tersebut.


Waktu berlalu. Dan tentunya, bicara memang selalu lebih mudah ketimbang kenyataan di lapangan.


H-5, progress kemajuan masih sangat sedikit. 20% bahkan kurang. Anggota tim banyak yang terbentur beragam kesibukan dan kendala lain.


Saya bingung setengah mati. Kepada wakil tim yang mendampingi saya ketika itu, saya bahkan berujar sudah hampir menyerah dengan keadaan. Putus asa. Padahal pelaksanaan proker sudah kami umumkan ke mana-mana. Sore itu saya bahkan katakan kepadanya, "Ini kepala saya berasa dipenggal kalau gagal". Haha. Se-frustasi itu memang. Dan se-malu itulah kami jika ternyata ini semua batal terlaksana.


Namun justru di titik nadir seperti saat itulah, satu sudut pandang baru menyeruak dari dalam pemikiran saya.


Bahwa kita berkarya bukan sekedar membawa nama baik bagi diri kita sendiri. Namun juga turut mempertaruhkan nama baik dari sahabat-sahabat kita, dari orang-orang yang sedia percaya kepada kita, dari tim tempat kita menitip ruang bertumbuh serta berjuang.


Tentang kepercayaan, kita mengemban sepenuhnya amanah dari orang-orang yang mendukung dan mengikuti kita. Kebanggaan mereka. Pilihan mereka. Mimpi-mimpi mereka.


Jika semua itu gagal dikarenakan satu yang terdepan jatuh terjerembab, kepada siapakah salah terbesar patut dialamatkan?


Wahai, sekalipun badai mengguncang begitu kencang, batas waktu seakan menggerus mengejar tiada henti, satu-satunya pilihan hanyalah maju mengembangkan layar menerjang rintangan : kita belum boleh menyerah.


Proyek tadipun akhirnya tetap terus berlanjut. Apa yang tertera dalam kitab suci tersebut? Akan selalu ada kemudahan sebakda kesukaran? Ah, dengan segala hormat, itu benar sekali kiranya, tuan dan puan.


Entah bagaimana cara yang kami tempuh ketika itu, di hari H, proyek tersebut genap berhasil terlaksana dengan gemilang. Menutup buku, mengakhiri catatan perjalanan kepengurusan kami selama 1 tahun memegang amanah.


Hari yang membanggakan! Dimana kami dapat tersenyum tegak karena tak satupun program kerja kami tertinggal di belakang. Begitu puas! Penuh gairah dan euforia!


Di saat itulah, saya kemudian menjadikan gagasan tersebut sebagai bagian dari idealisme yang saya usung. Sebuah prinsip. Tentang kehormatan, tentang harga diri, dari kita sebagai seorang petarung.


Untuk tidak luruh menyerah terhadap segala komitmen yang telah kita iyakan, untuk tidak mendulang malu bagi orang-orang yang kita beri respek kepada mereka, untuk tetap setia pada arti kepercayaan itu sendiri.


Kita berkarya bukan sekedar membawa identitas diri kita pribadi. Melainkan juga turut mengemban nama mereka-mereka yang sedia berjasa bagi kita hingga detik ini.


Itulah arti perjuangan, setidaknya bagi seorang saya.


---------------

Ibukota, 
11 Muharram 1442 H - 06.16
Terima Kasih

Komentar

Postingan populer dari blog ini

M-Menelusuri Asal Muasal Nama Ibukota

Mengenal Bang Zen, Sohib Aliyah di ODOP Batch 7

Memaknai Perjalanan

KEPING KEDUA PULUH DELAPAN : Jejak Kebermanfaatan