KEPING KEENAM BELAS: Untuk Apa Kita Hidup?
[Source : Here] |
o-●-o-●-o-●-o-●
.
Di Ibukota, aku melihat banyak hal menakjubkan.
.
Gedung-gedung pencakar langit menjulang begitu perkasa. Beberapa menjadi kantor tempat perusahaan-perusahaan ternama bermarkas, sedang lainnya merupakan apartemen hunian bagi para borjuis Ibukota. Mewah, berkelas, dan tentu tingginya bukan main, boi. Saking tingginya, aku sampai harus mendongakkan kepalaku 180 derajat bila ingin menengok puncak teratasnya. Aih, hebat nian, bukan?
.
Di Ibukota, aku juga acap menyaksikan sliweran panjang kendaraan nan mahal, yang saking mahalnya, aku bahkan merasa sangsi untuk bisa menemukannya di kota asalku. Semua saling berlalu-lalang di jalanan metropolitan, menyisakan aku yang menghirup polusi tambahan di pinggir trotoar saban hari.
.
Di Ibukota, setiap kali berkunjung ke pusat keramaian, aku begitu mudah menemukan aneka gerai makanan yang memasang harga selangit untuk hidangan termurah mereka. Pramusaji berlomba memasang senyum paling manis, meski aku hanya bisa melongok lagi terperangah, karena toh, dengan nominal yang sama, aku kiranya dapat makan hingga kenyang selama sepekan penuh.
.
Di Ibukota, aku juga melihat orang-orang yang berutinitas serba cepat. Apalagi ketika pagi jelang jam kerja kantor, ataupun petang ketika jutaan manusia berlomba kembali ke kediaman mereka. Begitu tergesa, hingga seringkali aku hanya bisa memilih di antara 3 pilihan: ikut hanyut terhimpit arus macet yang mereka buat, memaksa kakiku bergerak lebih cepat dari siapapun di belakangku, atau berdiam menahan diri hingga semua riuh ramai ini reda.
.
Amboi, tanpa kusadari, rupanya Djakarta pun perlahan mulai mengubah persepsiku akan hakikat dunia.
.
Apakah aku pernah merasa iri dengan semua fatamorgana di atas? Tentu, kawan! Tentu. Bahkan bukan sekali atau dua kali.
.
Aku ingin kaya! Aku ingin punya apartemen di ketinggian yang cukup untuk melihat keindahan Ibukota pada malam hari! Aku ingin kerja dengan gaji puluhan juta rupiah, meski untuk itu aku harus berhimpit macet saban pagi dan sore! Aku ingin semua status sosial tersebut! Kendaraan mewah! Makanan termahal! Pertemuan-pertemuan ekslusif yang diadakan terbatas di hotel ternama! Aku ingin semua itu!
.
Karena itulah hasrat godaan dari para pembisik lagi terkutuk! Bisikan bernama nikmat dunia!
.
Lalu tiba-tiba sayup terdengar syahdu suara adzan dari masjid sekitar kontrakan. Aku melihat diriku yang bergegas menuju masjid, mengambil air wudhu, dan melangkah masuk ke bagian dalam. Kuamati sekitarku, di barisan shof sholat yang ada di kanan kiriku. Dan tanpa kusadari, air mataku ternyata telah meleleh turun.
.
Ah, ini dia rupanya, kawan. Pemandangan yang jauh lebih menakjubkan daripada semua gemerlap Ibukota di atas. Begitu damai. Begitu teduh.
.
Aku tersungkur penuh tafakkur. Bersimpuh penuh syukur serta tadabbur untuk setiap sesap nikmat juga karunia yang telah ada pada diriku, untuk hal-hal sederhana yang membuat hidupku terasa lebih indah dan mudah.
.
Ah, ini dia, kawan. Aku mengusap air mataku. Terasa sendu, namun penuh rindu.
.
Di masjid, aku melihat aneka manusia yang berbaris beriringan di barisan yang sama. Tua maupun muda. Kaya ataupun miskin. Putih maupun hitam. Jelek ataupun cantik. Pejabat maupun rakyat jelata. Semua berjejer berbarengan dalam satu kesatuan jamaah. Berdiri setara untuk selanjutnya bersujud dengan segenap kerendahan hati di hadapan Rabb Yang Maha Mengampuni.
.
Tak perduli semewah apapun kendaraan yang aku bawa, toh, semua itu hanya akan kutinggalkan di tempat parkir di luar sana, bukan? Lantas, di masjid, apa bedanya aku dengan fakir yang datang dengan sepeda ontelnya?
.
Tak perduli seberapa mewahnya hunian yang aku tempati kini, toh, tetap tak satupun jua yang akan aku bawa ke dalam, bukan? Lantas, di masjid, apa bedanya aku dengan tuna wisma yang tidur di emperan jalan beralaskan kardus beratapkan langit penuh bintang gemintang?
.
Tak perduli seberapa cepat aku melangkahkan kaki mengejar rutinitas penduduk Ibukota, toh, tetap saja aku akan terhitung masbuq bila ketinggalan satu rakaat dari imam, bukan? Lantas, apa hebatnya aku dibanding tua renta yang berjalan perlahan dengan tongkatnya namun selalu dapat hadir mendahului suara sang muadzin?
[Source: Here] |
Ah, kawan . Tak perduli seberapa banyak gengsi kehormatan yang kita kumpulkan di luar sana, di masjid, semua status duniawi tersebut akan otomatis kita tanggalkan begitu melangkah melewati pintu masuknya. Semua topeng kita kan terkuak. Semua kepalsuan kita kan tersibak.
.
Karena di masjid, di hadapan Rabb Yang Maha Memiliki lagi Maha Mengetahui, kita hakikatnya hanyalah sekumpulan hamba yang lemah lagi serba berkekurangan. Tak lebih. Tak kurang.
.
Lalu untuk apa kita hidup selama ini?
.
Kini aku mengerti. Bahwa hidup, hanya gelaran ikhtiar pencarian kita terhadap bekal, untuk hidup nan kekal yang menanti kita sebakda maut nanti. Bahwa hidup, hanya sekedar rehat semata, dari seluruh kedamaian di tempat bernama masjid ini.
.
o-●-o-●-o-●-o-●
.
Kota Djakarta,
Pelita Tengah Malam
Subhanallah kang, aslina yuli mah terharu baca initeh.
BalasHapusTampar keras bgt, wajib di baca semua org nih, kerasa bgt kang.
Terimakasih tulisan indahnya
Semoga bermanfaat. Semoga berkenan, kak...
Hapustulisannya bagaikan angin sepoi-sepoi. setuju sih kalo tempat ternyaman itu ya di rumah ibadah milik-Nya.
BalasHapusSetuju bang...hehe
HapusKakak ini rajin baca yaa . setiap baca tulisannya itu terasa sesuatu. Hehe maaf melenceng dari topik kak
BalasHapusHehehe... enggak juga kok kak... Soalnya ini berangkat dari keresahan hati, jadi kadang lebih kebawa perasaan mungkin ya...hehe
HapusGemerlap dunia hanyalah fatamorgana semata.
BalasHapusAku dibuat berpikir pada kalimat 'Untuk apa kita hidup' karena aku suka sekali hedon 😢
BalasHapusIya, kita hidup hanya sekedar rehat untuk minum kopi kak.
BalasHapusSaya kebetulan ndak suka kopi, kak... Sukanya teh susu.. Hehe
HapusBtw aku engga tau arti borjuis ibukota itu apa hehe
BalasHapusMenurut KBBI, 'borjuis' itu artinya kelas masyarakat menengah ke atas kak... Biasanya dipertentangkan dengan golongan rakyat jelata kak... Hehe
HapusSeperti lagu opik, "tombo ati" salah satunya berkumpul dengan orang2 sholeh yang ketika melihatnya kita akan teringat pada-Nya, seketika ketenangan akan kita dapatkan
BalasHapusRuntut aku baca dari awal hingga akhir, dengan mata basah. Pesannya begitu indah🙏
BalasHapus