BAHAGIA : Pertemuan Pertama

[Source : Here]

Malam itu, kami sepakat untuk bertemu sejenak.

Di salah satu restoran kota tempat kami tinggal, ada beragam perbincangan yang turut mengemuka ke atas meja, menemani aneka hidangan makanan yang disajikan oleh para pramusaji.

Itu diskusi yang hangat. Sungguh.

Ada ruang dimana kami benar-benar bertukar gagasan dan wawasan. Dia dengan tema dunia wirausaha yang sedang dirintis, dan aku dengan seluruh pengalaman perjalananku di berbagai tempat.

Hingga pada satu titik, pertanyaan itu akhirnya terucap dari lisanku, "Dengan apa yang telah engkau miliki sekarang, sudahkah engkau merasa bahagia?"

Dia sesaat terdiam. Ada secercap jeda keraguan sebelum tiba-tiba mencuat satu jawab, "Ya! Aku rasa untuk saat ini, aku sudah cukup bahagia..."

Aku tersenyum. Sosok sahabat dihadapanku ini adalah seorang fresh graduated dari salah satu universitas ternama di Indonesia. Sembari menanti kesempatan pekerjaan yang lebih menantang, sedikit banyak dia sudah mulai menekuni wirausaha butik aneka busana.

"Begitukah?" aku perlu penegasan.

"Memang belum seutuhnya seluruh cita beserta harapku genap terwujud. Tapi kurasa, jika di titik ini pun aku belum mampu mengatakan berbahagia, bukankah aku justru terlihat begitu tak bersyukur kepada-Nya?"

Ah, benar juga. Aku mengangguk pertanda mafhum. Suatu sudut pandang baru yang boleh jadi tak akan kutemukan di bangku kelas manapun.

Malam itu, obrolan kami masih terus berlanjut. Tapi satu hal yang kucatat dengan baik dalam ingatan perjalananku, bahwa bahagia pun pada salah satu maknanya ialah tentang rasa syukur itu sendiri.

Untuk menerima apa-apa yang telah hadir di hadapan kita. Untuk meyakini bahwa memang inilah sebaik-baik peranan bagi kita sebelum lanjut beranjak ke masa-masa yang akan datang.

Merasa cukup, sekalipun belum berpunya apapun.
Merasa cukup, sekalipun belum menjadi siapapun.

Kini aku cukup mengerti, bahwa bagi sebahagian orang, bahagia boleh jadi memang sekedar tentang sesederhana itu rupanya. Ya kan?

---------------

Seluruh cerita ini nyata adanya. Meski terdapat sedikit perubahan dalam susunan bahasanya, namun tak sedikitpun sampai mengubah alur maksud peristiwanya.

Ini warna baru dari seorang saya. Untuk sekedar mengimbuhi perbendaharaan wawasan yang boleh jadi terluput dari pandangan kita selama ini, agar lalu mari kita berbahagia bersama-sama.

-----------------

Ibukota Lama,
11 Sya'ban 1441 H - 2.42
Pertemuan Pertama, Semoga Betah.

Komentar