CATATAN GURU RANTAU : Cerita Tentang Bocoran Soal UN



Ah, tentang UN saya jadi teringat dengan cerita kami dahulu.


Waktu itu jadwal pelajaran Fisika. Kami keluar dari ruangan dengan wajah gontai bak prajurit pulang dari medan perang tanpa tidur 3 hari 3 malam. Maklum, soal-soal hari itu memang benar-benar luar bi(n)asa buat kapasitas otak kepala kami. Hehehehe....


Ketika kami bertemu dengan guru fisika kami untuk membahas beberapa soal yang membingungkan tadi, tiba-tiba beliau nyeletuk kalau sebenernya tadi malam beliau sudah mendapatkan bocoran soal yang sama PERSIS dengan soal yang diujikan hari ini. Sama persis, boi. Hanya urutan nomor soal yang mungkin ditukar sana-sini demi memenuhi kuota variasi paket soal.


Sebenernya malam itu beliau memang berniat untuk menginap di asrama guna membantu kami dalam persiapan ujian. Namun karena rumah beliau memang cukup jauh, apalagi cuaca juga tidak terlalu mendukung, plus beliau mengira bocoran soal itu tadi hanya hoax semata, dan hape beliau pun saat itu juga sedang lowbat, maka jadilah beliau batal berangkat ke asrama kami malam itu. Pun batal pula kabar bocoran tadi diteruskan kepada kami para santri.


Mendengarkan cerita ini, yang bisa saya lakukan ya hanya mencelos dalam hati. Alamakjang! Ibarat kesempatan yang lewat di depan mata, dan kemudian berlalu tanpa berbuat apa-apa. Sayang banget, euy! Andai malam itu kami belajar dengan soal yang sama, tentu presentase keberhasilan nilai kami akan lebih tinggi. Ya kan?


Namun, yang membuat saya takjub setengah mati adalah ketika cerita ini diceritakan kepada Kepala Madrasah kami. Bukannya menyesal seperti kami, eh beliau malah justru dengan bijak berkomentar,


"ALHAMDULILLAH, ustadz....Untung saja Antum anggap itu berita palsu, untung saja hape Antum lowbat, sehingga tidak jadi diteruskan kepada santri...Itu artinya Allah masih melindungi anak-anak kita dari kecurangan menyontek..."


Aih, mendengar penuturan ini, bukan hanya saya dan kawan-kawan yang terbelalak takjub. Guru Fisika kami pun juga sama kagetnya, oi! 


Betapa beliau, sebagai Kepala Madrasah, berani mempertaruhkan reputasi dan akreditasi sekolah kami, meski beliau sama tahu jika nilai-nilai kami sangat beresiko anjlok ke titik terendah di bawah garis merah.


Betapa beliau, sebagai Kepala Madrasah, tentu adalah sangat wajar apabila menginginkan nilai terbaik untuk kami semua. Namun bagi beliau, di atas itu semua, prinsip kejujuran lah yang paling utama. Agar jangan sampai kami menggadaikan kejujuran demi segepok nilai di atas selembar kertas bernama ijazah.


Betapa kami semua kemudian tersadar dan kembali teringat, bahwa pelajaran paling penting di Kampung 2 Menara bukan hanya sekedar apa yang diajarkan para guru di dalam ruang kelas, namun lebih daripada itu, juga mencakup nilai-nilai kejujuran yang mendorong kami untuk berani menghadapi apapun yang terjadi di atas dunia ini.


Aih, kalau dalam Ujian Nasional, yang notabene merupakan ujian buatan manusia saja kita sudah berani bertindak curang dan menghalalkan segala usaha, maka apa jadinya diri kita nanti apabila kita berhadapan dengan ujian hidup yang sesungguhnya? Apa yang akan kita lakukan ketika godaan gemerlap dunia terus menggempur dan membisiki iman hati kita? Bila sedari dini kita terbiasa menjadi generasi serba instan, maka apa jadinya kita jika kelak berpapasan dengan gonjang-ganjing kehidupan bermasyarakat yang rumit nan pelik? Apakah kita akan kembali mengulangi kesalahan yang sama, ataukah kita justru baru mau mulai belajar mandiri menjalani kehidupan yang keras ini?


Hari ini, ketika mendengar ujar-ujar isu kecurangan yang terjadi dalam pelaksanaan UN kemarin, saya jadi teringat kembali dengan cerita lama di atas. Maka jadilah saya berusaha menuliskannya kepada segenap pembaca agar semoga kita paham bahwa dalam hidup ini, nilai bukanlah satu-satunya faktor mutlak yang menentukan seperti apa kehidupan kita kelak di masa mendatang.


Zaman sekarang, mencari orang dengan prestasi mengkilap, dengan nilai setinggi langit, adalah sangat mudah sekali. Bejibun. Namun sebaliknya, untuk mencari orang jujur nan terpercaya, susahnya minta ampun, euy. Maka sekali lagi, ukuran nilai, belum tentu menjadi jaminan terhamparnya kehidupan yang mudah di hadapan kita.


Ah, sampai detik ini, saya masih angkat topi dengan jawaban beliau, bahkan bagi saya pribadi kata-kata beliau tadi masih terus terngiang di telinga saya.


Maka semoga kita belajar bahwa yang terpenting dalam hidup ini adalah keberkahan Allah di dalamnya. Dan termasuk salah satu cara paling mudah menemukan berkah ialah dengan jalan kejujuran, bukan?


---------------------


16 April 2017
Tanah Rantau Maninjau



Komentar