CHIEF's NOTE : Sekali Berarti, Terus Berganti


Photo by KOBU Agency on Unsplash


Richard Nixon, presiden Amerika Serikat ke-37, dalam bukunya yang berjudul "Leaders", pernah menuliskan kepada kita kurang lebih sebagai berikut :


'Setiap pemimpin tampil dalam suatu kombinasi khusus dari tiga unsur : waktu, tempat, dan situasi. Seorang tokoh yang mampu berperan di suatu negara, tidak dengan sendirinya akan dapat berperan sama besar, apabila ia harus tampil memimpin negara lain. Betapa hebat pun Winston Churcill sebagai pemimpin, sulit kiranya membayangkan ia harus memainkan peran Konrad Adenauer di Jerman pasca Perang Dunia II. Sebaliknya, Adenaur juga belum tentu dapat memobilisasi Inggris di saat-saat bahaya terbesarnya sama seperti yang dilakukan Churcill.'


Buku ini, -Leaders, ditulis oleh Richard Nixon berdasarkan pengalaman dan pengamatan nyatanya terhadap para pemimpin dunia selama 35 tahun. Sehingga dapatlah kita katakan disini, bahwa apa yang ia tuliskan, bukan semata sekedar omong kosong, melainkan merupakan sebuah hasil analisis tentang penyebab-penyebab mengapa seorang pemimpin bisa mencapai puncak kekuasaan dan mengapa kemudian ia ikut jatuh terjerembab setelah beberapa saat.


Menariknya, apa yang dia tuliskan di atas, senada dengan salah satu nasehat lama yang sering kita perdengarkan, :


Setiap pemimpin punya masanya masing-masing. 
Dan setiap masa, punya pemimpinnya masing-masing.


Itu benar. Untuk menyiapkan diri sebagai calon-calon pemimpin, kita memerlukan ekosistem yang sama mendukungnya. Lingkungan kondusif yang membantu kita dalam mengeluarkan bakat potensi, dan mengasah beragam skill yang diperlukan sebagai pemimpin di masa mendatang.


Dengan kata lain, kita perlu panggung sebagai ruang bertumbuh dan berlatih. Kita perlu komunitas. Kita perlu organisasi. Kita perlu jam terbang. 


Tapi, sebagai calon-calon pemimpin, seyogianya kita juga menyadari, bahwa waktu untuk kita berdiri di tampuk kekuasaan belumlah datang. Menjadi seorang pemimpin yang tahan banting, tentu memerlukan akumulasi pengalaman yang bertahap dan serba komplet. 


Pemimpin yang terlalu hijau untuk duduk di atas singgasana kekuasaan,  rentan tertelan problematika orang-orang di bawahnya. Jika dia gagal beradaptasi dengan cepat, tak mampu menelurkan keputusan-keputusan yang menjawab berbagai keresahan dari mereka yang mengikutinya, maka tinggal menunggu waktu sebelum ia dilengserkan dengan sendirinya.


Terlebih bila dalam kancah politik yang serba tak jelas mana kawan dan lawan. Siapa yang tahu, hari ini kita bersepakat bersama, ternyata esok harinya justru ditusuk dari belakang. 


Kita perlu menyadari, bahwa waktu kita -generasi muda- untuk memimpin belumlah tiba. Tapi tak ada salahnya untuk terus mematangkan diri sembari menanti kesempatan itu tiba. Belajar memimpin, merintis karir dari jenjang terbawah.


Itulah yang disebut berproses. Karena amanah kepemimpinan adalah suatu hal yang dipergilirkan di antara manusia, maka bersiap sedia menyambut masa dan situasi yang lebih pas merupakan kesadaran mutlak yang harus dimiliki oleh kita, para calon pemimpin.


Dan begitu pula ketika nanti usia serta kepemimpinan kita telah mencapai penghujung senja. Kita harus sadar sesadarnya bahwa peran kita telah berganti. Bukan lagi sebagai sosok terdepan di barisan pengambil keputusan, melainkan telah bertukar menjadi tokoh sepuh yang mendidik dari belakang.


Ketika masanya telah tiba, kita harus legowo mundur. Mempersilahkan bibit-bibit terbaik generasi berikutnya untuk mengambil alih estafet kepemimpinan, agar peradaban yang dibangun tak terjebak dalam kondisi stagnan. 


Itu perlu, karena untuk memimpin umat di era yang baru, juga diperlukan pemimpin-pemimpin yang lahir di era tersebut. Mereka yang lebih akrab, lebih dekat, dan lebih tahu persis apa yang harus dilakukan menghadapi tantangan pergolakan zaman di hari-hari yang akan datang.


Pemimpin-pemimpin tua yang menolak untuk turun, hanya akan menyisakan cara-cara memimpin yang sama usangnya. Terjebak dalam pola pikir yang boleh jadi telah ketinggalan zaman, sehingga tak mampu membawa bangsanya mengejar beragam perubahan yang dituntut oleh perkembangan dunia. 


Kaderisasi itu penting. Kita semua sepakat. Namun ada baiknya, bila semangat tersebut tak sekedar menjadi gelora ketika kita muda saja -ketika belum menjadi sesiapa-, melainkan juga harusnya tetap terus berkibar sekalipun kita telah mencapai posisi puncak suatu hari nanti.


Karena kekuasaan itu candu, dan catatan sejarah telah membuktikan kepada kita, tentang berapa banyak kisah-kisah para pemuda yang begitu bersemangat menyuarakan estafet kepemimpinan namun menolak untuk melakukan hal serupa ketika kekuasaan telah mereka pegang. 


Setiap pemimpin, punya tempat dan eranya masing-masing. Memafhumi itu semua, akan membantu setiap kita menjadi pemimpin dengan tinta emas dalam sejarah bangsanya masing-masing.


Goede Nacht, Meneer!

--------------------

Ibukota, 
18 Dzulqoidah 1441 H - 14.58
Hidup Hanya Sekali


Komentar