Dilarang Tertawa di Negeri Ini!



Di suatu negeri antah berantah, pada suatu masa, diperundangkan suatu aturan baru : tertawa kini dilarang, barangsiapa yang ketahuan melakukannya akan ditindak dengan pidana tegas.


Maka di tahun-tahun tersebut, berdirilah para pelawak meneruskan garis perjuangan, menghidupkan tawa publik meski sekedar di ruang-ruang sempit seukuran 3x3 meter. Mereka terus sigap memicingkan mata, melirik waspada jika sewaktu-waktu digerebek aparat keamanan.


Juga di tahun-tahun tersebut, para komedian muncul sebagai sosok pahlawan baru di pusat-pusat peradaban. Maklum, ketika tingkat stress bablas memuncak hingga penghujung ubun-ubun, terhimpit kebutuhan kehidupan dan kejaran aneka kerjaan, humor-humor mereka seakan menjadi oase di tengah kepenatan pikiran dan kegersangan negeri tersebut. Meski rakyat sekedar dapat mengunci rapat-rapat tawa mereka di pangkal tenggorokan, tapi setidaknya, di alam angan mereka bebas terbahak selebar-lebarnya.


Lalu di tahun-tahun tersebut, apa yang dilakukan para wakil rakyat di kursi dewan mereka? 


Oh, mereka justru asyik membuat lelakon dari panggung kekuasaan mereka masing-masing. Dagelan hasil sutradara mereka kemudian dipertontokan setiap hari di media-media negeri tersebut. 


Ada banyak faksi yang sibuk menyodorkan rancangan undang-undang baru yang lebih lucu dari larangan tertawa. Ada banyak politikus yang sibuk menganggarkan anggaran untuk menyimak aspirasi para pengangguran di daerah pilihan, tanpa pernah menyuarakan satupun suara mereka di gedung dewan. Juga ada banyak pejabat yang asyik mengorok terbuai mimpi di kursi empuk, sambil ditiupi hawa sejuk pendingin ruangan, tak perduli meski orang-orang kecil yang memvoting mereka berjerih payah mencari sesuap nasi di tengah terik panasnya mentari.


Itu semua dipertontonkan. Tapi karena tertawa telah dilarang di negeri tersebut, jadilah tak ada satupun yang berani menertawakan semua kelakuan (dan kebusukan) mereka. Alih-alih tertawa, orang-orang hanya mengelus dada dan menyeka air mata. Karena kelucuan yang dipertontonkan mereka, jauh dan jauh lebih memiriskan hati ketimbang lucunya para pelawak dan komedian.


Lalu aku, apa peranku di tengah semua peristiwa ini?


Aha. Aku tetap seriang dahulu. Meski tertawa kini dilarang di negeri ini, tapi sedikitpun itu tak menghalangiku untuk berbahagia. Hatiku masih sering tertawa terbahak-bahak, dalam diam yang terwakili bersama sebentuk senyum mungil di wajah harianku. 


Dan karena itu, di rumah kita berdua, sesedih apapun dirimu membawa luka dan lara dari luar keramaian, akan selalu ada aku yang membasuh bersih seluruh keraguan tersebut. Bersama tawa yang kita simpan di sudut-sudut lemari, mari kita melipur duka yang singgah menghampiri. Aku akan menghiburmu, menyeka sedihmu, dan membuat wajahmu berseri kembali penuh tawa dan bahagia.


Negeri ini boleh sakit, boleh melarang warganya untuk tertawa, boleh mempertontokan aneka dagelan pejabat mereka, tapi jangan pernah sekali-kali mereka berani menghapus raut manis penuh tawa yang membuatku jatuh cinta kepadamu suatu hari dahulu. 


Aku siap! Meski aku dipenjara 1000 tahun sekalipun, selama itu tak membuatmu melupakan cara tertawa dan berbahagia, sungguh aku siap, Kasih! Karena memang itulah yang menjadi janjiku ketika meminangmu di hadapan ayah dan bundamu bertahun-tahun silam.


Maka dari itu, doaku untukmu, semoga diriku lebih lucu dan lebih bijak dari pelawak terhebat di negeri ini, semata untuk membahagiakanmu, sehidup dan semati, kini maupun nanti.


------------------

📸 Photo Taken by @ai.ind
📌 Syahidah Inn, Kampus UIN Syarif Hidayatullah
🏅Temilreg Jabodetabek 2020

------------------

Tanjung Barat,
1 Dzulhijjah 1441 H - 21.48
Bermula dari Ide Gila

Komentar