Menyesap Kopi dan Menatap Hujan

Photo by Ian Keefe on Unsplash


Ketika hujan turun, kita bergegas lari mencari tempat teduh. Namun anak-anak kecil justru tergesa menyongsong air yang tumpah ruah dari langit. Mereka menari bahkan berlari, seakan hujan adalah berkah yang datang satu dasawarsa sekali.


Melihat itu, seringkali sebagian dari diri kita ikut memberontak. Hasrat alami akan masa kanak yang telah terlewat, serta keinginan untuk sekali lagi menyesap kesenangan yang tiada duanya tersebut. Di momen itu, kita berhadap-hadapan dengan panggilan yang  pernah menghiasi diri kita. Godaan berjudul :  “Aku ingin hujan-hujanan.”


Bagi dunia kita hari ini, bersikap kanak-kanak sesudah masa pubertas adalah sebuah aib. Dewasa adalah dewasa. Masa kanak serta remaja merupakan sesuatu yang telah lama berlalu. Kita dituntut membuang sikap ‘anak-anak’ dalam diri kita. Maka indikasi paling jitu adalah saat kita melihat anak-anak bermain dengan bebasnya, namun kita merasa gengsi untuk ikutan, menganggap kita ‘bukan level-nya’ (lagi) bermain yang demikian. Padahal kita tahu, jika ‘tombol’ nostalgia dalam mozaik memori kita telah hingar bingar menyala, mengajak kita untuk merasakan kembali pengalaman luar biasa tersebut : “Apa salahnya, bukan?”


Maka sama seperti hujan kali ini. Hujan kesekian di tanah rantau ini. Bagi anak-anak penduduk desa sekitar, hujan ketika perayaan Lomba Agustus-an Panjat Pinang adalah anugrah tiada tara. Bukan tentang kesempatan menang, tapi tentang seluruh rasa seru, tawa penuh bebas, dan aneka canda lumpur yang menjadi cerita untuk tahun-tahun di depan. 


Beberapa orang dewasa yang ikut serta dalam turnamen ini, mungkin juga mengamini hal yang sama. Namun bagi sebagian yang lain, justru akan balas membantah dengan sengit, sembari berpendapat bila hujan malah mengecilkan peluang mereka untuk mendapat hadiah terbaik.


Apapun itu, saya tetap bangga bisa menjadi saksi seluruh kemegahan ini. Karena saya, di tengah seluruh rinai hujan Maninjau ini, hanya bisa menyesap kopi dan menatap hujan. Sebagaimana halnya kebiasaan yang dilakukan orang-orang dewasa di berbagai tempat dan adegan film, meski saya sangat tahu bila ‘tombol’ panggilan anak kecil tadi begitu menggoda untuk dituruti. 


Sepenuh hati saya katakan, dalam rupa dewasa ini, saya teramat rindu dengan wujud kanak-kanak dulu. Ketika hidup kita masih terasa begitu sederhana tanpa direcoki kepentingan serakah penuh sia, merdeka tanpa dibebani dunia, serta bebas tanpa ambil pusing dengan komentar sesama manusia. 


Menyaksikan hujan dan seluruh riuh-ramai yang terjadi di luar sana, membuat saya kembali merasakan gairah tersebut.  Saya ingin ikut  hujan-hujanan (lagi). Menari bersama seluruh sorak sorai gegap gempita semesta alam, berjingkrak girang di atas ibu pertiwi, menegadahkan mulut menyambut tetesan hujan, sembari bercanda tawa dengan teman-teman sepantaran.


Ah, namun yang berlalu biarlah tetap berlalu, menjadi cerita hangat yang membersamai hujan dingin ini. Kita simpan baik-baik saja seluruh rasa asyik itu, agar suatu saat nanti kita bisa menghadirkannya kembali untuk anak cucu kita sebelum mereka mulai melangkahkan kaki ke dunia yang sebenarnya. Ya, kan?


Titip salam dari saya di Maninjau, untuk seluruh gaduh rindu masa kanak serta remaja yang mengaduk hati kita hari ini.


-------

Maninjau, 
26 Dzulqoidah 1438 H

Tulisan yang sudah sangat lama sekali. Namun penting bagi saya untuk tetap mengarsipkannya dengan rapi dalam lembaran virtual di sini, agar sekalipun waktu terus berjalan maju, namun kenangan manis tentang hal tersebut dapat tetap terngiang bersama dalam ingatan kami, para pelaku sejarah itu sendiri.

Komentar