MAKANAN dan Globalisasi



Masih tentang makanan, saya jadi kian takjub dengan yang namanya globalisasi.


Globalisasi bukan saja mendekatkan informasi yang jauh, atau menjauhkan keberadaan yang dekat, namun ternyata juga mampu menghidangkan sepiring lengkap beragam masakan dunia langsung di hadapan kita.


Tengoklah Jakarta. Di Ibukota Indonesia ini, Anda dapat menemukan begitu banyak usaha kuliner yang menyajikan masakan khas dari daerah-daerah Nusantara. Ada warung makan nasi Padang dengan Rendang sebagai andalannya. Kemudian ada pecel lele Lamongan. Lalu mie Aceh. Berikutnya Coto Makassar. Bakso Malang dan Solo. Gudeg Yogyakarta. Soto Banjar. Pempek Palembang. Roti Bakar Bandung. Dan masih buanyaaaak lainnya.


Itu masih belum seberapa. Di beberapa sudut Ibukota, juga terdapat restoran-restoran yang memajang masakan mancanegara dalam urutan menunya, seperti masakan Oriental, masakan Timur Tengah (yang ini saya sering mampir, hehehe), masakan India, ataupun masakan Eropa.


Hari ini mau makan apa? Di Ibukota, jawaban untuk satu pertanyaan tersebut bisa berujung pada seribu kemungkinan, -tentunya dengan mengesampingkan variabel harga dan kemampuan kantong setiap individu. Maka dari itu, mengatakan "terserah" sebagai jawaban dari pertanyaan di atas, boleh jadi hakikatnya malah justru menambah kebingungan sebagian dari kita, seperti yang kerap digambarkan meme di jagad virtual sana. Hehehe....


Meski demikian, poin yang sedang saya angkat disini adalah globalisasi pun ternyata punya dampak positif dalam memperkaya khazanah rasa kita terhadap makanan. Dengan adanya daya tarik kemajuan peradaban, masyarakat yang semula tinggal di daerah kini kemudian berbondong merantau ke Ibukota yang dianggap sebagai pusat modernitas. Mereka datang membawa cita rasa dari daerah masing-masing, membantu menyebarkan lalu ikut menyesuaikan resep masakan dengan bumbu-bumbu yang tersedia di sekitar.


Globalisasi juga mempemudah kita dalam pengadaan bahan-bahan otentik dari tiap daerah. Ibunda saya di Solo, ketika ingin mengolah masakan ikan teri Medan, hanya perlu menelpon saudara kami yang berada di sana dan meminta tolong untuk dikirimkan ke alamat rumah. Itu telah lumrah, yang juga kemudian dapat kita terapkan menjadi peluang usaha dimanapun kita berada, dengan mengadalkan arus globalisasi sebagai pijakan utama dalam urusan logistiknya. 


Itu sumbangsih globalisasi terhadap kelezatan makanan yang sampai hari ini dapat kita rasakan. Masih ada banyak cerita lain seputar makanan dan globalisasi, positif maupun negatif. Namun untuk apa-apa yang belum tertulis di sini, saya percayakan kepada kalian untuk mencarinya sendiri dalam proses berpikir masing-masing. Agar kita terbiasa untuk bertafakkur terhadap hal-hal sederhana di sekitar kita, memprosesnya menjadi sebentuk pemahaman akal, lalu voila, semoga kita mendapat satu-dua kebijaksanaan dalam memandang makna hidup darinya. Hehehe...


Tentang makanan dan globalisasi, saya memang bukan seorang pemuja fanatik dunia kuliner. Tapi sekurangnya, berkat itu, saya kini tak perlu jauh-jauh pergi ke Sumatera Barat untuk sekedar mencicipi sepiring lezat Sate Padang yang menjadi makanan favorit saya. Cukup pergi ke ujung gang rumah, lalu riang menyapa, "Ambo ciek dibungkuik, da!"


------------------


Photo by : @sate.lubuk.idai


Usaha kuliner oleh saudara angkat saya di tanah rantau Minangkabau @teguhsamta. Boleh mampir bagi pembaca yang sedang singgah di Sumatera Barat, dan kebetulan sedang melewati jalur Padang-Bukittinggi via Enam Lingkung, Padang Pariaman. Info lebih lanjut, mangga dicek langsung ke akun Instagram-nya, boi! ^_^


----------------


Ibukota Lama,
11 Dzulqoidah 1441 H - 20.33
Laper dan Ngiler

Komentar