KEPING KETUJUH BELAS : Hikayat Mimpi & Syukur

[Dok. Pribadi]

Mimpi-mimpi itu sempat goyah. Tercerabut dari akarnya, terpelanting dari tujuannya.

Lantas, laki-laki di tengah hamparan rumput itu berkata, "Tahukah kamu, bagian apa yang paling mengerikan dari semua itu?"

Tentang takut yang timbul perlahan. Bilamana kita sekedar menjadi seorang pecundang di atas sorak sorai penduduk dunia, atau menjadi yang terpinggirkan dari seluruh pusat keramaian.

Kekhawatiran yang lantas menandakan bahwa kita manusia seutuhnya.

"Itu belum semuanya ... " , sahutnya lirih.

Bermula dari bingung tak berujung. Lalu seakan semua kian pekat menggelap. Mereka yang di sekitarmu tiba-tiba telah berlari begitu kencang, meninggalkan engkau bersama riak debu nan berhembus.

Pelan, engkau mulai mengundurkan diri. Minder. Mengunci diri dalam kelamnya bayang, sembari menyalahkan diri yang tak kunjung beranjak. Sesulit itukah untuk bangkit, kawan?

Cerita itu usai.

"Atau mungkin, engkau gerangan yang alpa tuk bersyukur?"

Aku mendongak menatap lautan langit. Melukis diantara awan, mencari awal yang tepat untuk menggambarkan maksud perasaan.

"Takutmu itu, mentabiri segenap syukur yang seharusnya tertera. Hingga luput darimu kesadaran bahwa kau belum kehilangan segala-galanya, bahwa engkau punya jatah peranan tersendiri dalam gelaran sandiwara dunia ini. Engkau ayal, bahwa dibalik tiap-tiap kesedihan, selalu ada beberapa hal yang dapat menjadi alasan bagi kita untuk tersenyum bangkit."

Iyakah?

Laki-laki itu sekilas melirik ke arahku yang tenang berbaring santai di padang luas sabana ini, sebelum kembali menunduk dalam hening nan memilukan.

"Mimpi-mimpi itu mahal, kawan ... "

Engkau harus berani mempertaruhkan segalanya, berjuang seakan itulah akhir dari dunia. Sekali ragu, hilanglah dirimu! Terlindas zaman, terlupakan dari gelaran sejarah!

"Mimpi-mimpi itulah yang selayaknya menjadi penanda arah, tonggak tempat kita berpancang tegak manakala ditelan badai kegamangan ... "

Ketakutan, kekhawatiran, akan selalu ada. Namun adanya tersebut, bukan untuk mengungkung kita dalam belenggu diam. Justru itulah titik acu untuk menelaah lebih dalam perihal tekad yang bersemayam di hati kita. Siapkah?

"Ketika engkau mampu bersyukur, maka genaplah sudah. Tak perlu menaruh curiga pada jatah keberhasilan tiap sesama, tak perlu berkecil hati manakala tersandung jatuh berapa kali pun ..."

Dengan syukur, engkau akan belajar memahami, bahwa di balik tiap perputaran hidup, kita manusia, diberi kebebasan untuk memilih arti hidup nan berbahagia.

Dengan syukur, engkau akan belajar menyeksamai, bahwa sekalipun mimpi-mimpimu membawamu terbang melanglang hingga tepian angan, masih ada realita dunia tempat dirimu berpijak pada kenyataan.

Dengan syukur, seluruh citamu bukan lagi sekedar cerita penuh harap yang digantungkan di antara tiang-tiang kosong di tengah lautan awan. Tidak. Tapi sejatinya, semua itu lantas disandarkan pada kuasa-Nya, dititipkan dalam tiap-tiap doa untuk memohon kebesaran-Nya.

Dengan syukur, setiap susah tak mesti berujung nestapa. Setiap gundah, tak lantas berakhir musibah. Adapun nestapa, tak selamanya berarti tiada. Dengan syukur, engkau belajar bangkit, memeluk erat segala keterpurukan, dan kembali berlari demi menyongsong secercah asa di cakrawala harapan.

"Sadarilah, kawan. Bukan bingung penuh bayang, juga bukan prestasi sesama kawan, yang lantas menghalangimu dari mimpi-mimpimu selama ini. Melainkan hilangnya syukur yang kemudian membuatmu terjerambab dalam lorong gelap, hingga tak lagi mampu mengenali jalan menuju tujuan, tempat engkau berpeluh keringat untuk kembali pada-Nya."

Di ufuk barat, mentari genap menghilang kembali ke peraduan.

Lelaki tadi tergugu pelan. Satu dua bulir air menetes membasahi ilalang di sekitar. Pun aku, yang sekalipun terdiam, rupanya mulai ikut tersedu sedan. Larut dalam sebuncah sesal yang dulu sempat terselip dalam linimasa usia.

Ah, bukan waktunya untuk itu. Senja terlanjur bubar. Sedang gelap kian jauh merayap.

Aku gegas berkemas. Menghampirinya seraya lantang berkata, "Bung! Ayo, bung! Ada Mahameru yang menunggu kita!  Bangkitlah, karena itu mimpi terdekat kita untuk hari-hari ini!"

Kami berlalu. Meninggalkan sepetak sabana tempat aku melepasmu pergi sewindu yang lalu. Kasih, selamat jalan! Untuk kenangan yang membuatku kian bertambah kuat petang ini!


--------------------

Ibukota Lama,
Dari Aku untuk Imajinasi Kita.

Komentar

  1. Omaygat itu cerita atau pemikat jiwa cantik bangett rngkaian katanya

    BalasHapus
  2. Karena sesal tiada guna, biarkan jadi pelajaran kehidupan dimasa mendatang

    BalasHapus
  3. Ketika engkau mampu bersyukur, maka genaplah sudah.

    Kalimat ini bagiku seperti puncak rasa yang memeluk semua aksara indah dikisah perjalanan rasa ini..
    Tulisannya selalu "berasa", kak. Tabik!

    BalasHapus
  4. kangen percakapan tentang mimpi dengan sahabat dulu yang sudah sayangnua bukan lagi sahabat sekarang

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

CERBUNG : Mimpi di Ujung Meja Hijau (Bagian Akhir)

BATAVIA’s DIARY : Ramadhan Ibukota

CERBUNG : Mimpi di Ujung Meja Hijau (Bagian 2)

KEPING KEDUA PULUH : Tentang Niat, Tentang Karsa