KEPING KESEMBILAN BELAS : Tentang Niat, Tentang Ikhlas.

[Source : Here]
Niat itu ibarat pondasi bangunan. 

Ketika terpancang begitu kokoh, gedung pencakar langit yang menjulang setinggi apapun dapat ditopang dengan penuh gagah perkasa. Namun ketika dia rapuh lagi keropos, perlahan pasti akan turut menggerogoti bangunan yang tegak di atasnya; serupa retak yang sekejab menjalar menjadi debu-debu kehancuran; menyisakan onggokan puing bekas di lahan tempat dulu bersemayam. 

Tragis, bukan? 

o-●-o-●-o-●-o-●

Di hari kiamat kelak, ketika Allah ‘Azza wa Jalla menyeru segolongan manusia yang pertama-tama kali dilemparkan ke dalam neraka, penyebabnya pun masih serupa : tentang niat, tentang ikhlas.

Siapakah mereka? Aih, mohon maaf. Sayangnya mereka bukan bagian dari sekelompok manusia yang acap kali sering disebut sebagai ‘calon penghuni neraka’ oleh masyarakat kita hari ini. Mereka bukan pelacur, bukan pencuri, bahkan bukan pembunuh.

Dalam hadist yang diriwayatkan Imam Muslim, orang-orang yang pertama kali diseru untuk memasuki neraka tersebut justru berasal dari golongan yang secara kasat duniawi merupakan seorang sholih lagi terpandang. Mereka adalah orang-orang yang mati syahid di jalan Allah, para ahli ilmu serta qori’ (pembaca) Al Qur’an, dan yang terakhir adalah mereka para kaya yang gemar menyedekahkan harta benda mereka kepada sesama.

Apa pasal, sehingga lantas 3 golongan nan utama ini malah terjerembab dalam keadaan yang amat pelik? Karena niat!

Orang-orang yang mati syahid di jalan Allah, setelah dihadirkan kesaksian Dzat Yang Maha Mengetahui, rupanya maju berperang hanya sekedar ingin disebut sebagai pendekar gagah berani, atau dikenang sebagai pahlawan tanpa tanda takut. Niat tak lagi ikhlas, semata berharap riya’ yang tertuju pada pujian manusia.

Juga demikian halnya dengan Ahlul ‘Ilmi beserta Qoriul Qur’an. Setelah didatangkan kesaksian Dzat Yang Maha Mendengar, barulah terungkap bila kiprah mereka selama di dunia ini ternyata salah kaprah. Semata mereka menuntut dan mengajarkan ilmu, memperbagus serta memperindah lagu bacaan Al Qur’an, hanya agar sekedar dikenang sebagai seorang yang ‘alim lagi pandai membaca Al Qur’an. Sehingga sempurnalah hilang keikhlasan tersebut, berganti riya’ yang menanti nama mentereng di tengah masyarakat.

Lalu orang-orang kaya, dengan kelapangan rezekinya ketika berada di atas dunia, menjadikan mereka mafhum dikenal ringan tangan membantu sesama. Namun setelah dihadapkan pada kesaksian Dzat Yang Maha Melihat, rupanya baru terkuak bila sedekah beserta pemberian mereka selama ini semata mengharap pamrih, ingin disebut-sebut sebagai sosok yang dermawan lagi peduli. Lantas bila demikian, tak lagi genap keikhlasan itu, tertukar angan duniawi berisi prestise di kalangan insan.

Tentang Niat, Tentang Ikhlas.

Justru ketiga golongan tersebutlah yang pertama-tama kali dilemparkan menuju lubang neraka. Padahal boleh jadi, ketiga golongan tersebut membawa ‘modal’ amat besar untuk menghadapi persidangan di hari kiamat. Kumpulan amal yang setinggi pencakar langit, seperkasa gunung nan menjulang! Namun dikarenakan pondasi niatannya sekedar sandaran kecil lagi goyah, hilanglah itu semua seakan debu-debu yang berhembus di tiup lautan angin. Rugi dan amat rugi! 

Karena niat apapun jua, selama bersifat duniawi nan fana, akan terlihat begitu tak berarti manakala disandingkan dengan kebesaran Rabb Semesta Alam, bukan? Sehingga sirnalah segenap amal ibadah mereka tersebut, ditelan kotoran ujub, riya’, maupun sum’ah. Rugi dan amat rugi!

Lalu, apalah daya dengan seorang kita hari ini? Amal ibadah yang kita persiapkan boleh jadi kiranya masih terdapat banyak compang-camping disana sini. Apalagi bila, siapa tahu, hati kita rupa-rupanya justru masih sering diliputi niatan yang tak sepenuhnya bersebab Ilahi, tercemar harap-harap duniawi berupa puja puji sesama hamba. Siapa yang tahu, bukan?

Maka kawanku, dengan segenap hati, kukatakan ini padamu : perbaiki niat kita. Niatku jua Niatmu. Untuk Ramadhan ini, selagi masih di hari-hari terawal, sebelum terlanjur beranjak menuju pertengahan apalagi akhir penghabisan. Untuk siapa sesungguhnya kita berpuasa? Pun demi apa sejatinya kita berusaha begitu keras, menulis paragraf demi paragraf ini, mengaji siang hingga malam, beramal sholih tiada henti, bilamana bukan untuk mengharap ridho dan ampunan-Nya?

Luruskan niat. Ikhlaskan tujuan. Di awal. Di pertengahan. Maupun di ujung pengakhiran. Dengan itulah kita menjadikan amalan yang kecil menjadi besar, dan menjadikan pahala yang besar tetap terjaga nilainya di sisi Allah ‘Azza wa Jalla.

Lalu dengan itu pulalah, di hari kemenangan 30 hari ke depan, kian purna makna Ramadhan bagi segenap jiwa kita, untuk menjadi lentera penuntun menuju kebaikan-kebaikan lainnya di 11 bulan berikutnya.

Semata niat karena-Nya. Semata niat untuk-Nya. Itulah esensi mendasar dari keikhlasan, meng-Esa-kan Dzat Yang Maha Tunggal, dan meniadakan kepentingan-kepentingan lain yang diserupakan pada-Nya.

Wallahu ‘Alam bis Showab. 

Komentar

  1. Pelajaran paling sulit...ini kak...masih sering gagalšŸ˜¢

    BalasHapus
  2. Astagfirullah.. niat seringkali tidak Lillaah.. terimakasih sudah mengingatkan, semoga menjadi amal kebaikan untuk penulis..

    BalasHapus
  3. Anyway, jadi inget Ramadhan, meski masih lama..

    semoga kita semua dipertemukan kembali pada Ramadhan tahun depan.. aamiin..

    BalasHapus
  4. semua amal tergantung niat ya. aku kaget dengan kisah kelompok pertama yang masuk neraka itu. terima kasih sudah berbagi.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

A-Ambisi

KEPING PERTAMA : Garis Nadir

KEPING KELIMA : Aroma Hujan

CERBUNG : Mimpi di Ujung Meja Hijau (Bagian 3)