L-Leluhur
[Dok.Pribadi] |
Dalam hikayat sejarah masyarakat Minangkabau, tersebutlah 3 orang datuk bersaudara yang kiprah dakwahnya dikenal hingga Nusantara bagian timur.
Adalah sang kakak, Datuk Pattimang, yang bernama asli Datuk Sulaiman dan bergelar Khatib Sulung. Disusul kemudian adik pertama beliau, Datuk ri Bandang, yang bernama asli Abdul Makmur dan bergelar Khatib Tunggal. Dan terakhir, ada sang adik paling kecil, Datuk ri Tiro, yang bernama asli Nurdin Ariyani, dan bergelar Khatib Bungsu.
Ketiganya adalah para pakar agama, alim ulama, yang menguasai beragam ilmu agama dari Koto Tangah, Sumatra Barat. Terbukti dengan adanya gelar "Khatib" di depan nama mereka, dimana menurut kebiasaan masyarakat minang, gelar tersebut diberikan sebagai bentuk pengakuan bagi mereka yang paham betul dengan urusan agama, sehingga dapat dimintai saran serta pendapatnya manakala terdapat silang sengketa di tengah-tengah masyarakat.
Pada kisaran tahun 1593, atau di penghujung abad ke-16, ketiga datuk tersebut berangkat ke tanah Sulawesi, dengan tujuan menyebarkan ajaran agama Islam pada masyarakat Bugis di kerajaan-kerajaan sekitar pada zaman tersebut. Datuk Patimang yang ahli tentang tauhid melakukan syiar Islam di Kerajaan Luwu. Sedangkan adik beliau, Datuk ri Bandang yang ahli di bidang fikih, ditugaskan berdakwah di Kerajaan Gowa dan Tallo. Sementara Datuk ri Tiro yang merupakan seorang pakar di bidang tasawuf, memutuskan untuk mengajarkan Islam di daerah Tiro dan Bulukumba.
Singkat cerita, melalui metode yang sesuai, serta pendekatan yang tepat, dakwah dari ketiga leluhur kita tadi berhasil mendapat respon yang sangat positif dari masyarakat Bugis ketika itu. Melalui dialog yang panjang, Raja Luwu ketika itu, Datu' La Pattiware Daeng Parabung, akhirnya menyatakan keislamannya di hadapan Datuk Pattimang. Keislaman beliau diikuti pula dengan keislaman para pejabat dan pemuka masyarakat lainnya, sehingga menjadikan Kerajaan Luwu sebagai kerajaan Islam pertama di pulau Sulawesi. Dari sanalah, di tahun-tahun berikutnya, syiar Islam terus menyebar dengan begitu gencar ke seluruh bagian pulau Sulawesi, termasuk salah satunya ialah Kerajaan Gowa-Tallo, tempat pahlawan kita -Sang Ayam Jantan dari Timur- Sultan Hasanuddin, berasal dan tumbuh besar, sebagaimana telah mahsyur kita ketahui kiprah beliau dalam beragam cerita sejarah kemerdekaan Nusantara kita ini.
Itulah sekelumit cerita tentang leluhur-leluhur yang telah mendahului kita. Datuk Pattimang, Datuk ri Bandang, serta Datuk ri Tiro, yang meskipun kematian telah mendekap mereka ratusan tahun silam, namun nama berserta karya mereka tetap harum menguar wangi semerbak hingga hari kini, baik di kalangan masyarakat Bugis maupun masyarakat Minang tempat ketiga datuk tersebut berasal.
Menyisakan kita dengan setangkup pertanyaan tentang hakikat hidup yang sesungguhnya. Apakah kelak sebakda maut menjemput, kita akan hilang selayaknya angin yang meniup butiran debu, -dilupakan juga dianggap lalu- , atau tetap kukuh nan kokoh bagai karang di tengah laut meski telah lewat ratusan tahun.
Apakah kita, dengan seluruh jatah usia di atas dunia, mampu menapaktilasi jalan para pendahulu kita, mencapai kulminasi tertinggi untuk terus bermanfaat terhadap sesama lewat beragam kiprah dan juga amal jariyah. Apakah kita akan mampu seperti mereka, untuk terus berkarya dan berkarya, menebar kebaikan kepada sesama, ikhlas berjuang menuju kebangkitan umat serta masyarakat sekitar. Apakah kita akan mampu menekuni jalan terjal nan panjang dimana leluhur-leluhur kita berani untuk mengorbankan segala yang mereka miliki, -mengembara berbulan-bulan demi mencatat satu buah hadis, makan sekeping roti sehari sekedar mencapai tingkatan tawadhu, bersimpuh menangis sepanjang malam demi mendapatkan ampunan Allah atas dosa kecil yang tak sengaja dikerjakan siang harinya. Maka dimana kita di tengah seluruh kiprah mereka para pendahulu kita tersebut?
Ah, kian kesini, saya sungguh kian malu. Betapa jauh jarak antara diri pemilik jemari ini dengan mereka para leluhur nan sholihin di atas.
Namun, mendaras perjalanan juga pengalaman mereka, -Datuk Pattimang, Datuk ri Bandang, serta Datuk ri Tiro- setidaknya dapat menjadi penyejuk ditengah gersangnya kehidupan kita saat ini. Agar semoga, obor berisi api semangat mereka, dapat kita warisi dan kita teruskan di zaman penuh gonjang-ganjing ini. Untuk terus menebar manfaat terhadap sesama, menyemai kebaikan kepada mereka di sekitar, mencintai dan menyayangi mereka yang hidup tak seberuntung kita, serta mengajarkan apa yang bisa kita ajarkan kepada mereka yang tak mengerti.
Semoga saja. Agar ketika jasad kita telah terbujur kaku dalam sepetak liang lahat berisi tanah, masih ada jua orang yang mengingat serta mengalirkan sungai pahala pada kita bersebab amal jariyah yang tak pernah berkesudah.
-----------------
InFrame : Menikmati megahnya senja di Istana Pagaruyung, Batusangkar, Sumatera Barat beberapa tahun ke belakang. Sembari mentafakkuri betapa agungnya khazanah budaya masyarakat Minangkabau di zaman keemasannya dahulu. Semoga kita dengan seluruh tindak-tanduk kita, tak membuat malu leluhur maupun orang tua yang telah mendahului kita. Dan semoga kelak, kita bisa bersapa berikut bertukar cerita dengan mereka di surga tertinggi Sang Khalik, Firdaus Al 'Ala.
Aamiin Allohumma aamiin...
BalasHapusNasihat yang apik, Pak Guru🙏
Aamiin. #26Alphabets
BalasHapuskisah para leluhur yang patut dijadikan teladan
BalasHapusMemang benar, gajah mati meninggalkan Gading, sedangkan manusia mati meninggalkan amal perbuatan
BalasHapusAamiin Allahumma Aamiin, terima kasih ilmunya kak 🙏
BalasHapusMantaap, jadi pengen ke sana.
BalasHapusAamiin
BalasHapus