KEPING KEDELAPAN BELAS : Tentang Senja

[Source : Here]

Dari setiap senja yang dihelat dengan penuh gegap gempita oleh sang semesta, cerita apa yang membuat engkau kian jatuh cinta?

Aduh, jangan terlanjur berharap muluk dari dongengku kali ini, kawan. Karena kuberitahu engkau, ini bukan sejenis romantika picisan yang biasa kukarang ketika kasmaran seperti baru-baru ini. Ini tentang……senja.

Dari senja, doaku sedari dahulu selalu amat sederhana. Bagaimana kiranya, lewat segenggam senja yang berlalu setiap petang di tanah tumpah darah kita ini, aku dapat selalu bersyukur darinya. Sebab aku percaya, sesiapa yang mampu bersyukur terhadap yang sedikit, niscaya lebih mudah baginya untuk kembali bersyukur manakala mendapat anugerah lebih banyak. Ya, kan?

Agar semoga, dari tiap-tiap syukur yang menjadi ikhtiarku tersebut, ada secercap tafakkur yang menjadi bekal kebijaksanaan bagiku, guna menyelami lebih jauh ke dalam lautan nan kelam di relung hatiku. Meniadakan kepongahan, menghapus bala dendam, menanam benih permaafaan, dan semoga mengantarkanku pada segenap ampunan. Apalagi yang lebih baik dari itu semua, bukan?

Juga dari senja yang bergulir di ufuk cakrawala, aku mendaras cerita seputar harapan yang tak pernah berkesudah. Malam boleh berlalu, membawa pergi sepetak senja yang terlanjur kembali ke peraduan. Tapi kita tahu sama tahu, bahwa mentari pagi selalu terbit esok hari. Mengembalikan senja di waktu yang serupa, untuk hadiah bagi kita yang menanti penuh seksama. Sama halnya dengan harapan itu sendiri, ya kan?

Bahwa sekalipun badai kebimbangan menelan kita dalam pekat gelap tiada akhir, bibit-bibit harapan akan senantiasa ada untuk mereka yang sedia percaya. Karena itulah janji Dia, sang Pemilik Senja. Selalu ada kemudahan dalam setumpuk kesukaran. Selalu ada jalan keluar bagi setiap permasalahan. Dunia boleh membuat kita bingung dengan seluruh palagan sandiwaranya, tapi dari senja kita seharusnya mengerti, bahwa semua itu tak kan pernah berhasil membuat kita mundur dari segenap harap penuh cita kita, bukan?

Amboi, kawan. Untuk yang demikian saja, senja telah berhasil membuatku teraduk-aduk dimabuk cinta.

Tapi ada satu hal terakhir yang membuatku kian terkesima dengan gelaran senja.

Tentang hakikat menerima. Bahwa senja, kadang merah merekah bahagia, kadang hitam gelap berduka. Namun, tahukah kamu, kawan, langit selalu menerima senja apa adanya.

Sesuatu yang bahkan hingga detik ini masih terus kuupayakan.

Ada aku yang berusaha menerima segala perbedaan, memeluk erat-erat setiap luka yang sempat terjadi, memaafkan seutuhnya kejadian pahit yang pernah terpatri, merelakan sepenuh kasih kehilangan yang beranjak pergi, sembari melanjutkan hari-hari yang telah membawa lalu sepotong hatiku. Sanggupkah kini?

Aih. Memang susah, kawan. Amat susah. Tapi senja dan langit mengajarkanku untuk tetap gagah penuh perkasa. Sekalipun malam kemudian memisahkan mereka dalam setangkup rindu, namun terhadap takdir yang diguratkan tersebut, menerimanya dengan tulus merupakan metamorfosis kasih yang amat indah meski kemudian seutuhnya terulang di putaran hari berikutnya.

Tak lelahkah? Sesekali sempat kutanyakan pada senja yang berpaling pergi.

Tak ada jawaban. Namun kutahu tak satupun yang lantas pernah mengeluh. Karena esok ataupun lusa, senja selalu datang tepat pada waktunya. Dan langit senantiasa menerima apa adanya, sekalipun senja hanya sejenak beranjak sebelum digantikan malam yang kian menjejak.

Aduhai, kawan. Inilah puncak dongengku hari ini. Tentang sekelumit cinta yang sekalipun terasa sungguh sederhana, namun hakikatnya menyiratkan berjuta makna. Cinta yang jujur. Cinta yang apa adanya. Tanpa ditutup-tutupi kedok palsu perhiasan dunia. Juga bukan sekedar untaian pemanis kata. Namun tentang cinta yang berasal dari : HATI.

Maka karena ia berangkat dari hati, tak perduli apapun yang nanti sekiranya terjadi, seterusnya ia akan senantiasa terikat pada ikhlas nan menerima. Jika berjodoh, maka itulah yang terbaik! Segala puji untuk Dzat Yang Maha Menyatukan Hati! Namun jika tidak, pun tak mengapa. Tak perlu sedih bergundah gulana. Akan ada ganti yang lebih tepat, di momentum yang lebih bersahabat. Terimalah dengan segenap penerimaan, lalu bangkitlah menyongsong janji-janji kehidupan lainnya! Karena ia berangkat dari landasan cinta, maka tentu tak selayaknya diwarnai dengan sebutir benci, bukan?

Aku beringsut menatap jendela cakrawala.

Ah, rupanya senjaku genap mengangkat sauh di pinggir horizon. Seakan kompak menutup tirai akhir dongengku hari ini. Kini giliranmu untuk bercerita, kawan. Tentang senja. Tentang langit. Tentang cinta. Adakah?

Atau engkau akan ganti bercerita padaku perihal malam yang baru saja tiba? Boleh! Boleh-boleh saja, kok. Kemarilah, lalu silahkan bertutur sepuasmu. Aku sudah siap dengan seteko hangat teh susu kesukaanku. Semalam suntuk pun tak mengapa, sembari menanti datangnya mentari yang membawa kembali senja menawanku. Mau ya?

----------------- 

Ibukota Lama
Kumpulan Senja yang Terkondensasi
di Pinggiran Jendela TransJakarta

Komentar

  1. Kala cerita senjaku kak, jingganya sudah habis di renggut kenangan.. Hahaha

    BalasHapus
  2. Duh, mau aku Kak. Wkwk. Apalagi kalo disediain banyak makanan /eh/

    BalasHapus
  3. Senja...sekali lagi selalu ada cerita bersamanya. Maulah diajak bertutur, bercerita...

    BalasHapus
  4. Aduh gila kak, aku beneran terpesona bukan sama senja tp sama kata yg kamu rangkai menjadi satu kesatuan aksara

    BalasHapus
  5. Tak kira ini blog cwe lho awalnya dari kata Rain, ternyata, maafkan ya Bung

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

A-Ambisi

M-Menelusuri Asal Muasal Nama Ibukota

KEPING PERTAMA : Garis Nadir

KEPING KELIMA : Aroma Hujan