KEPING KEDUA PULUH SATU : Bangkai Dunia

[Source : Here]

o-●-o-●-o-●-o-●

Pernah diceritakan, bahwa suatu hari, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam sedang berjalan melewati sebuah pasar bersama para sahabat.

Di tengah perjalanan, beliau melintasi bangkai seekor anak kambing jantan yang kedua telinganya lebih kecil daripada ukuran biasanya. Lantas sambil memegang telinga bangkai tersebut, beliau Shallallahu 'Alaihi Wasallam tiba-tiba bertanya, "Siapa diantara kalian yang berkenan membeli ini seharga satu dirham?
.
Orang-orang yang menyimak terheran. Seekor bangkai, dengan cacat di bagian telinga, siapa yang sedia, bukan?

Maka mereka menjawab, "Kami sama sekali tidak tertarik kepadanya. Apa yang bisa kami perbuat dengannya?
.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam masih terus mengejar, "Lalu apakah kalian bersedia jika ini menjadi milik kalian?"

Orang-orang balik menjawab, "Demi Allah, sekalipun anak kambing jantan ini hidup, pasti tetap akan cacat, karena kedua telinganya kecil. Lalu bagaimanakah kini ketika ia telah mati?"

Maksudnya jelas. Bilapun hewan tadi masih hidup, karena kondisinya yang cacat, belum tentu semua orang akan sedia menerimanya begitu saja. Karena dijual pun harganya pasti sangat murah, padahal pemeliharaannya jelas membutuhkan biaya yang tak sedikit, maka siapa yang mau menerima?

Itu seandainya bangkai tadi masih hidup. Lalu kini, ketika jelas-jelas telah mati, siapa yang masih bersedia untuk memilikinya? Sekalipun cuma-cuma, adakah? Ah, tentu makin tidak ada lagi, bukan?

Lalu apa maksud baginda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam barusan?

Disinilah kemudian hikmah tersebut datang memberi pelajaran kepada kita. Bahwa sebakda itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam lanjut menyabdakan, “Demi Allâh, sungguh, dunia itu LEBIH HINA bagi Allâh daripada bangkai anak kambing ini bagi kalian…

Duhai, kawan. Kita seharusnya tercengang! Karena itulah perumpaan dunia ini di sisi Allah. Tak lebih daripada sekedar bangkai anak kambing jantan yang memiliki cacat di kedua telinganya. Tak berharga. Sungguh, amat tak berharga. Karena jangankan membelinya dengan harga paling murah, diberikan secara cuma-cuma pun tetap tak ada yang sedia menerima. Sekedar itulah nilai dunia di hadapan Dzat Yang Maha Kaya. Ingatkah kita?

Sayangnya kawan, kenyataan yang berlalu di sekitar kita pada hari ini begitu banyak berbeda.

Bangkai tadi diolah, dicuci bersih, lalu dibungkus dengan segala pernak-pernik penuh kilau. Tak sampai disitu, bangkai tersebut juga kemudian diiklankan dengan begitu gencar, diperkenalkan dengan begitu intens setiap saat, sehingga manusia hari ini kian terlupa dengan hakikat menjijikkan di baliknya. Orang-orang bahkan salah mengira bangkai tersebut sebagai sebuah makanan nan lezat yang harus direngkuh tiada bersisa, berlomba menyatakan siapa yang paling banyak memilikinya. Bukankah itu yang terjadi, eh?

Gemerlap dunia! Seakan semua lampu sorot ditujukan padanya semata! Kekayaan. Kecantikan. Kekuasaan. Ketenaran. Koleksi Kendaraan. Aksesoris Penampilan. Status Jabatan. Semua orang gencar saling berlomba memperebutkan bagian dari keduniawian-keduniawian tersebut. Tak perlu lagi sungkan, tak perlu lagi menahan diri. Saling sikut dan saling hajar pun tak mengapa, bung!

Mereka lupa, bahwa sejatinya, itu semua tak lebih dari sekedar ‘bangkai’ yang tergeletak di tengah jalan. Bahwa sesungguhnya, tak satupun dari itu semua yang akan turut menemani mereka ketika berpulang ke liang lahat nantinya. 

Orang-orang yang hatinya terlanjur dipenuhi hasrat ilusi dunia, selamanya akan terus disibukkan dengan kepentingan-kepentingan gemerlap dunia yang tiada habis, dari satu pencapaian menuju pencapaian berikutnya. Kesibukan itu yang lalu menghalangi mereka dari merasakan manisnya kelezatan iman, juga kemudian mentabiri mereka dari hakikat yang seharusnya menjadi tujuan asasi dari penciptaan mereka : ibadah akhirat. 

Lalu bagiamanakah? Apakah selamanya seorang muslim harus menarik diri dari hal-hal duniawi?

Aih, bukan begitu, kawan. Jangan serta merta kita melupakan bahwa dunia inilah yang kemudian menjadi tempat kita berladang amal, saling berlomba dalam kebaikan dan kebermanfaatan. Allah telah mengisyarakan hal tersebut dalam Surat Al Qashash ayat 77. Yang terpenting, jangan sampai kecintaan kita pada hal-hal baik yang ada di atas dunia ini, mengalahkan rasa cinta kita kepada Allah dan Rasul-Nya, melenakan diri kita dari ibadah pada-Nya, dan menjadikan diri kita bersikap sombong di hadapan sesama.

Tidak. Terhadap dunia, kita mesti selalu ingat, bahwa hakikatnya tak lebih dari sekedar bangkai di hadapan kebesaran Allah, Dzat Pemilik kampung akhirat. Terhadap dunia, sepatutnya dia hanya kita biarkan berada dalam genggaman tangan sahaja. Jangan di hati, karena yang berhak bermukim di dalamnya hanyalah akhirat semata. Agar kita senantiasa memaklumi, bahwa dunia yang di genggaman tangan, dapat sewaktu-waktu dibuang begitu saja, tatkala ternyata mengganggu kepentingan akhirat yang nyata jauh lebih penting untuk kita perjuangkan di sisa usia kita.

Semoga jelang penghujung tahun ini, kita belajar mengingat kembali, sesesap intisari yang termaktub dalam hadis di atas tadi.

Wallahu ‘alam bis Showab.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

A-Ambisi

KEPING PERTAMA : Garis Nadir

KEPING KELIMA : Aroma Hujan

CERBUNG : Mimpi di Ujung Meja Hijau (Bagian 3)