CERBUNG : Mimpi di Ujung Meja Hijau (Bagian 3)

[Source : Here]
---------------------

“Kenapa kamu begitu terobsesi dengan impian konyolmu itu?” tanyamu setelah aku menjawab pertanyaan yang selalu menjadi awal pembicaraan kami tiap kali bertemu.

“Kenapa pula kamu mengatakan impianku itu konyol? Bukankah itu sesuatu yang didamba-dambakan oleh masyarakat negeri ini?”, jawabku sok ilmiah. 

Aku benar-benar heran, ini pertama kalinya kamu mengatakan impianku itu konyol. Dan ini pertama kalinya pula kamu mencoba berbincang-bincang jauh lebih mendalm tentang mimpiku itu. Dalam perjumpaan sebelum-belummya, kita pasti sudah berganti topik sebelum sempat membicarakan hal itu. Film dan novel rasanya jauh lebih asyik untuk dibahas olehmu daripada repot-repot membicarakan impianku itu.  

“Memang mulia bagi mayoritas rakyat kecil di negeri ini. Tapi itu terlihat amat konyol untuk orang-orang berpengaruh di negeri ini. Mereka pasti tertawa terbahak-bahak saat mendengar impianmu itu.”, katamu diiringi dengan senyum kecil di bibirmu.

“Aku paham maksudmu itu. Kamu pasti berpikir jika aku akan kalah ketika melawan orang-orang seperti mereka yang mempunyai uang banyak di rekening gendut mereka. Ya kan?” tebakku santai.

“Hahaha, kamu paham juga ternyata. Tapi tebakanmu tadi masih kurang benar. Aku khawatir pada akhirnya nanti kamu akan kecipratan uang korupsi dan suap juga. Ujung-ujungnya kamu bakalan ketagihan dengan hal-hal tersebut  Apalagi posisi yang kamu incar adalah hakim kan? Rawan benget tuh..”

“Maksudmu gimana sih?” tanyaku agak bingung.

“Aku hanya khawatir, suatu saat nanti kamu akan berbalik melawan idealismu itu sendiri. Dan itu terjadi karena kamu gak tahan dengan godaan yang muncul. Boleh aja kamu mengatakan kalau kelak akan menjadi hakim agung yang bersih. Tapi siapa yang tahu, ketika kamu menjadi hakim kelak, bisa saja kamu ikut terpincut dengan tawaran yang datang padamu. Iya kan?”

“Oooh, masalah itu ya? Santai aja, Mat. Insya Allah aku akan tetap memegang teguh cita-citaku itu. Kamu pikir aku belum memikirkan matang-matang impianku untuk menjadi hakim itu?  Aku ingin menjadi hakim setelah melalui berbagai pertimbangan yang matang. Kukira menjadi hakim adalah hal yang paling tepat dalam memberantas korupsi di Indonesia ini. Karena mereka memiliki kesempatan untuk membuat efek jera bagi para koruptor. Setidaknya mereka lebih berperan dalam pemberantasan korupsi dibanding dengan anggota dewan atau malah ketua KPK sendiri. Anggota dewan hanya akan ribut sendiri ketika merumuskan hukuman yang membuat jera koruptor;. Sebab sebagian pelaku koruptor adalah mereka sendiri kan? Kalau ketua KPK,mereka hanya mampu merumuskan hukuman yang pas bagi para koruptor. Sehingga seberat apapun hukuman yang divoniskan KPK kepada mereka, tidak akan mampu terwujud jika hakim yang menyidang kasunya adalah hakim yang buruk. Makanya, aku ingin menjadi hakim yang bersih dan mencoba mewarnai ranah hukum dengan semangat anti korupsi. Kalaupun ternyata ada yang menggodaku seperti yang kau takutkan tadi, maka pada saat itu pula aku akan mengingat kejadian yang menimpa mendiang ayahku. Agar…”

“Maksud kamu kejadian 12 tahun yang lalu ya?” potongmu sebelum aku sempat menyelesaikan penjelasanku.

“Iya lah. Itu menjadi salah satu contoh betapa krusialnya peran hakim dalam bidang korupsi ini. Aku berharap semoga aku bisa menghentikan penderitaan anak-anak yang seperti aku. Udahlah, yang penting kamu berdoa aja buat kesuksesan mimpiku ini. Oke?”

“Kayaknya gak bisa tuh, Nif.” jawabmu lirih.

“Lho kenapa gak bisa?”

“Hahahaha…karena kita suatu saat nanti bisa saling berhadapan di sidang dong!”

“Maksudmu,Mat?” sekali lagi ku sukses dibuat bingung olehmu.

“Kamu lupa dengan cita-citaku yang ingin menjadi seorang pengusaha ternama di Indonesia ini? Kamu gak ingat kalau aku ingin melampaui nama besar orang tuaku di dunia bisnis Internasional? Bukankah sekitar 7 tahun yang lalu, kalau gak salah ingat, aku pernah memberi tahu tentang hal ini saat kamu bertanya tentang cita-citaku itu? Dan impianku itu belum berubah sampai sekarang. Gak kayak kamu yang dari tahun ke tahun selalu berubah profesi. Hahahaha…” balasmu yang sama sekali tidak menunjukkan jawaban atas pertanyaanku sebelumnya.

“Terus apa hubungannya dengan diriku yang bercita-cita menjadi hakim ini?”

“Bisa aja, suatu hari nanti aku melakukan kejahatan serius yang mengakibatkan diriku ditangkap. Mungkin saja setelah itu aku akan disidang olehmu kan? Hahahaha…”

“Berarti kamu bakalan menempuh cara-cara kotor dong?” tanyaku pura-pura bodoh.

“Hahahaha…Nggak lah,Nif. Aku kan cuma bercanda doang. Tapi tetap aja kemungkinan itu ada. Karena bisnis itu pun sama kotornya dengan dunia politik. Bisa jadi suatu hari nanti aku akan tergoda untuk melakukan hal-hal kotor demi memuluskan ambisiku.  Semoga aja hal itu gak bakalan terjadi. Bakalan malu berat kalau aku harus bertemu denganmu di ruang sidang, apalagi dalam sidang kasus korupsi yang menjadi mimpimu untuk memberantasnya. Ya kan?”

“Yah, moga aja gak bakalan terjadi hal-hal seperti itu,Mat. Tapi betul katamu tadi, jika cita-cita kita berdua menyimpan resiko yang hampir sama berbahayanya.”, ucapku.

“Oke, kalau gitu kita saling mendoakan untuk kesuksesan impian kita masing-masing ya?Setuju kan?”

“Sip deh!!” balasku sambil melakukan toss denganmu.

-----------------------------

Kembali ke ruangan sidang yang tiba-tiba saja menjadi begitu pengap buatku. Dirimu masih tersenyum samar di kursi pesakitan sana. Merasa begitu yakin jika aku akan membantu meringankan hukumanmu. Meski aku lumayan yakin jika kau masih ingat sepenuhnya akan kenangan 15 tahun yang lalu. Kenangan dari pertemuan terakhir kita. Karena seingatku di pertengahan tahun itu, kamu memilih melanjutkan kuliah di Amerika. Apalagi, orang tuamu juga memutuskan untuk pindah ke ke USA demi mengembangkan sayap usaha mereka di luar negeri. Tidak pernah ada kata pamitan ketika itu kecuali melalui e-mail yang kamu kirim kepadaku beberapa minggu setelah berada di sana. Sedangkan aku tetap melanjutkan kehidupanku yang normal bersama ibuku. Meskipun sampai sekarang aku belum berhasil menemukan pengganti dirimu saat berkunjung ke rumah nenek, bahkan sampai nenek tutup usia 1 windu yang lalu.

Pada akhirnya aku harus membuat sebuah keputusan, yang tentunya akan berpengaruh besar bagi kehidupanku di masa mendatang. Namun, seperti yang pernah kukatakan padamu, jika suatu saat nanti aku merasa ragu dengan komitmenku untuk memberantas korupsi, maka yang akan kulakukan adalah memutar kembali kenangan atas nasib yang menimpa mendiang ayahku.Dan itu yang akan kulakukan saat ini. Meskipun aku sadar, keraguan ini baru terjadi pertama kalinya dalam karirku.

------------------------------
(bersambung ke bagian 4 Insya Allah)

Komentar

  1. Sebenarnya tidak ada impian yg konyol:(

    BalasHapus
  2. Temanmu itu mungkin tidak bersalah, tapi khilaf. Wkwkwk

    BalasHapus
  3. Ucapan bercanda di masa lalu, seperti dikabulkan ya ☹️

    BalasHapus
  4. Penasaran .. penasaran... keputusan apa yang akan diambilnya

    BalasHapus
  5. Beri keputusan ya tepat please, cerita ini hrus bermanfaat utk dijadikan pelajaran

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

M-Menelusuri Asal Muasal Nama Ibukota

Mengenal Bang Zen, Sohib Aliyah di ODOP Batch 7

Memaknai Perjalanan

KEPING KEDUA PULUH DELAPAN : Jejak Kebermanfaatan