J-Janji

[Dok. Pribadi]

 Tentang Naufal, saya dan dia punya kisah awal yang konyol.

Naufal itu pendiam. Super pendiam. Coba tanyakan pada kawan kami seangkatan, mana yang lebih dingin antara kulkas atau Naufal, maka saya yakin mereka akan serempak menjawab : Naufal.

Saya masih ingat betul, keakraban kami diawali dari hari-hari ketika dia tetiba izin pulang ke Jakarta. Bersamaan dengan itu, entah siapa yang memulai, santer terdengar isu yang mengatakan dia pulang karena ingin mengundurkan diri dari Kampung 2 Menara. Dan dengan bodohnya, saya termakan isu tersebut. Saya percaya begitu saja bahwa si Naufal telah menyerah dan ingin pindah sekolah.

Di masa-masa itu, sohib saya satu itu sedang hangat-hangatnya menjabat sebagai Ketua Divisi Seni & Jurnalistik. Jabatan krusial dengan deadline yang bikin kepala spaneng. Golden Project mereka, majalah Al Huffazh, adalah puncak dari tekanan dan gengsi prestise yang menjadi beban bersama. Biaya cetak yang mencapai 15 juta, desain per halaman yang harus berkesan ‘wow’, pencarian donatur hingga lintas provinsi yang sudah pasti menguras kantong pribadi, persaingan internal, artikel-artikel ‘setengah jadi’ yang harus disortir tim editor, tulisan super panjang yang kudu diringkas jadi 2 halaman mungil, koneksi internet yang harus ada meski lewat secercah celah, hingga segudang masalah lain yang sudah tentu bakal bikin satu angkatan pusing tujuh keliling. Termasuk para anggota Divis Jurnalistik itu sendiri.

Maka Naufal, sebagai ketua yang baik dan bertanggung jawab (*ehem), dalam setiap rapat internal divisi yang dipimpinnya, dia selalu berusaha menyemangati  dan memotivasi anggota yang sedang melemah semangat juangnya. Mengajak mereka agar kembali fokus, tanpa alpa terhadap tujuan utama kami berada di pesantren, yaitu belajar dan menghafal kalamullah.

Dengan track record semacam itu, maka ketika mendengar Naufal pulang dengan niatan mau mengundurkan diri, tentu saya merasa sangat kecewa. Meski kami belum begitu dekat, tapi sebagai sesama rekan yang menaruh seluruh harapan dalam proyek emas Al Huffazh, tentu Anda paham bagaimana rasanya.

Akhirnya, saya kepikiran satu ide konyol. Saya pakai solusi jadul : berkirim surat. Tapi tidak saya poskan lewat kurir, melainkan saya upload ke blog pribadi. Lalu saya SMS si Naufal, bila ‘surat elektronik’ tersebut hanya akan ada di dunia maya selama 3 hari, dan dia harus membacanya sebelum itu dihapus. Lewat tulisan serba canggung tersebut, saya akui kalau saya berusaha mencungkil ego dalam dirinya, mengungkit seluruh motivasi yang dia berikan pada anggotanya, lalu ‘menembak’-nya dengan satu kesimpulan penutup yang menohok. Memang, apa yang sebenarnya saya tulis? Hehehehe….RAHASIA perusahaan. :p

Beberapa hari berselang, dia balik ke asrama. Untuk kembali bersekolah. Bukan mengundurkan diri, tentunya. Dan ketika kami berdua bertemu, kami hanya saling cengar-cengir. Saya lega sekaligus malu, tapi setidaknya semenjak itu saya merasa hubungan pertemanan di antara kami berdua semakin dekat dan erat.

Lama sesudah itu, saya baru tahu bila ‘surat’ yang saya tulis itu ternyata di-save oleh Naufal dan diarsipkan dengan baik di hardisknya (padahal file aslinya sendiri saya sudah lupa naruh dimana :p),  bahkan sempat diposting di blog pribadinya. Dan hingga detik ini, saat teringat cerita itu, saya selalu senyam-senyum sendiri, membayangkan betapa polosnya kami 5 tahun yang lalu. Hahaha ….

Semenjak kejadian surat itu, kami mulai sering nongkrong bareng di angkringan terdekat, berdiskusi tentang mimpi-mimpi kami, bertukar ide tentang progress proyek besar majalah kami, hingga usil-usil berbicara perihal jodoh di masa mendatang. Lewat obrolan itulah, saya semakin mengerti seluk beluk luar dan dalam bocah satu itu.

Naufal memang terlihat pendiam. Namun dalam diamnya, dia terus mendengar dan mengamati keadaan sekitar. Naufal memang kalem, namun di balik kalemnya, dia menyimpan ledakan demi ledakan rencana nan ambisius. Naufal memang terlihat agak ‘gelap’ lagi misterius, namun di balik tabir tersebut saya dapat merasakan sepi yang acap kali dia rasakan meski hadir dalam keramaian. Duduk di dekat Naufal memang terkadang terasa dingin bikin kita keki. Tapi itu wajar, ding. Sebab, kami yang meski jauh sekalipun, sering ikut-ikutan menggigil kedinginan gara-gara dia….wkwkwkwkw

Bersebab interaksi di atas lah, saya (ini dulu, entah sekarang) sempat menjadi salah satu kawan yang paling sering menginap di kediamannya di Depok. Ada sekitar 3 atau 4 kali saya mampir menjadi ‘benalu’ di rumahnya. Sekali berkunjung minimal 2 atau 3 hari. Bahkan Ibunda Naufal sampai hafal wajah dan nama saya. Hehehehe……

Ah, itu masa-masa paling menantang lagi menyenangkan dari seluruh perjalanan di Kampung 2 Menara. Sahabat-sahabat terbaik, pengalaman-pengalaman terhebat, dan cerita-cerita konyol bin ajaib yang selalu menghiasi hari demi hari kalender kami di sana. Luar biasa.

Maka kini, satu sore di pertengahan Agustus lalu, tetiba saya dikejutkan dengan selembar kartu pos yang ditujukan kepada saya. Bukan kartu pos biasa, karena rupa-rupanya dikirim dari THAILAND. Waduh. Siapa pengirimnya? Ah, siapa lagi kalau bukan sohib yang sudah saya bahas dalam 716 kata di atas : Naufal Ade. Ini ulah dia, damn! Kebetulan semester lalu, dia dapat tugas ‘jalan-jalan’ eksplorasi gua selama sebulan di Thailand oleh organisasi pecinta alam di kampusnya. Bisa bayangin kan, nyari lubang gua aja harus sampai negeri tetangga…wkwkwkwk. Kata dia di selembar pos tersebut :

“Aku pengen bilang ‘Yo, Bro’, tapi takut poscard ini ga’ langsung nyampe ke kamu. Anyway, aku kirim ini dari Airport Bangkok dan aku yakin kau akan pergi ke lebih banyak negara. Why don’t do something ‘classic’ sending postcards dari tiap negara yang kita singggahi?”




Kiriman ini sebenarnya sudah sampai di sekolah kami sekitar pertengahan Juli lalu, namun karena saat itu saya masih (bolos) berlibur di Jawa, jadilah kiriman ini disimpan oleh salah seorang guru di sini. Baru diteruskan ketika saya telah tiba. Saya sengaja tahan untuk mengumumkannya, karena bagi saya, selembar kartu pos yang telah membuat saya terharu dan (sedikit) meneteskan air mata ini harus dibalas lewat cara yang spesial. Sesuatu yang ‘wow’. Maka jadilah saya mulai menyisihkan masa (selama 2 bulan, Imagine!), mengumpulkan keping demi keping mozaik kelindan perjalanan takdir yang pernah saya dan Naufal lalui bersama, lalu menuliskannya dalam satu bentuk cerita hangat nan ringan yang kini ada di hadapan Anda semua.

Sebagai penutup, agar secarik tulisan ini sah dikatakan sebagai balasan dari selembar pos yang ada di tangan saya kini, sekaligus resmi sebagai ikatan janji di masa-masa berikutnya, maka teruntuk sohib saya Mr. Naufal Ahmad Dwijadiputra, saya jawab : "Oke! Kenapa tidak, kawan? Kita koleksi kartu posnya, kita bukukan, lalu kita jadikan cerita untuk anak cucu kita nanti. Insya Allah wa Biidznillah...Mowahahaha……

Dan eh btw, saudara-saudara sekalian, Naufal itu masih jomblo. Tulen. Payah dia kalau sudah bicara urusan suka sama suka dengan lawan jenis. Dari pembaca, ada yang berminat dengan sahabat saya satu ini? Kalau ada, silahkan PM ke saya ya…..Wkwkwkwk.

---------------

Maninjau dalam Benderang Mimpi
23.44

Komentar

Postingan populer dari blog ini

A-Ambisi

KEPING PERTAMA : Garis Nadir

KEPING KELIMA : Aroma Hujan

CERBUNG : Mimpi di Ujung Meja Hijau (Bagian 3)