CERBUNG : Mimpi di Ujung Meja Hijau (Bagian 2)


[Source : Here]
----------------------

“Apa mimpimu di masa mendatang?”, tanyamu di suatu senja.

“Aku ingin menjadi orang yang memberantas korupsi di negeri ini”, jawabku santai.

Jawaban itu meluncur dari bibirku yang masih berusia sepuluh tahun. Selisih 3 tahun denganmu yang saat itu duduk di kelas 6 SD. Kamu ingat, ekspresi wajahmu saat aku menjawab pertanyaanmu itu? Kamu mengernyit keheranan ketika itu. Seakan-akan berkata jika aku membicarakan suatu hal yang mustahil.

Tapi bahkan setelah 10 tahun berlalu, kamu tetap saja menunjukkan ekspresi yang sama. Padahal kamu sudah mendengar jawaban itu 10 kali selama ini. Ya, kamu selalu bertanya hal yang sama tiap kita bertemu setahun sekali. Selalu saja pertanyaan itu yang menjadi awal dari pembicaraan kita ketika bersantai di halaman belakang rumah nenek. Dan selalu jawaban itu pula yang keluar dari mulutku. Selalu saja sama.

Kalaupun berubah, paling-paling hanya bertambah rinci saja. Karena sejak aku memasuki jenjang SMP, aku mulai paham berbagai pekerjaan yang dapat mewujudkan mimpiku  ini. Sayangnya, pemahaman itu diikuti pula dengan kesadaranku akan betapa bobroknya negeri indah bernama Indonesia ini, hanya karena ulah para pejabatnya yang koruptor.

Pernah suatu ketika aku bermimpi menjadi Presiden negeri ini. Supaya aku bisa merubah undang-undang negeri ini agar membolehkan hukuman gantung bagi para koruptor. Itu terjadi jauh sebelum aku paham bahwa yang berhak mengganti undang-undang hanyalah anggota MPR atau DPR. Sedangkan mayoritas anggota dewan itu adalah pelaku utama korupsi di negeri ini. Aku sungguh muak dengan fakta ini.

Lalu pernah pula aku bermimpi untuk menjadi ketua KPK agak aku bisa aktif memerangi korupsi di negeri ini. Hingga aku menyadari bahwa ketua KPK tidak terlalu berperan dalam membuat para korutor menjadi jera. Ketua KPK hanya bisa menuntut,tapi tidak bisa memutuskan hukuman yang diberikan untuk pelaku korupsi. Yang dapat menyetujui masa hukuman untuk  koruptor adalah hakim persidangan. Untunglah, itu adalah pekerjaan yang kurasa paling tepat bagi ambisiku. Sehingga aku tidak perlu menyusahkan diriku sendiri untuk bergonta-ganti tujuan hidup demi mewujukan mimpi yang dinilai kebanyakan orang sebagai mimpi yang ‘amat konyol’.

Meskipun jujur, aku begitu membenci pekerjaan ini. Karena merekalah, salah satu penyebab dari penderitaan orang tuaku selama ini. Tapi, demi menghentikan penderitaan orang-orang yang bernasib sama seperti kedua orang tuaku, aku rela membuang sedikit dari ego manusiawiku. Yah, setidaknya aku bertekad untuk menjadi hakim yang baik suatu saat nanti. Hakim yang bersih dari segala hal kotor bernama ‘suap’ dan ‘korupsi’.

Sejak saat itu,aku selalu memegang teguh mimpiku ini seraya yakin jika Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Dan aku yakin, aku pernah memberitahumu akan hal ini di pertemuan terakhir kita sekitar 15 tahun yang lalu. Iya kan?

------------------

Sidang baru berjalan sekitar sepuluh menit, ketika kita beradu pandang untuk pertama kalinya. Di sorot matamu itu, aku jelas sekali melihat keterkejutan yang amat sangat dimatamu. Tapi, itu hanya sekejab saja. Lalu aku melihatmu tersenyum samar. Bukan, bukan karena tuntutan yang dibacakan Jaksa Penuntut yang membuatmu tersenyum samar. Aku tahu pasti akan hal itu. Atau bukan pula karena merasa lega telah bertemu dengan diriku setelah bertahun-tahun tak bersua. Sekian tahun berkecimpung di dunia ‘meja hijau’, membuat aku mengenal betul karakter orang-orang yang duduk di kursi pesakitan sepertimu itu. Merasa berada di atas angin ketika memiliki link dengan orang-orang yang mengurus langsung kasusnya. Dan aku tahu itu pun terjadi padamu.

Aku sepenuhnya sadar ketika kau tersenyum tadi. Maka yang bisa kulakukan hanyalah memalingkan muka ke arah Jaksa Penuntut yang sedang membacakan tuntutannya sambil berharap kau dan orang lain tidak melihat perubahan mimik wajahku. Kau tahu betapa susahnya aku di hari yang seharusnya kujalani dengan semangat ini? Aku bingung dan aku terjebak diantara dua pilihan. Membantumu dengan meringankan hukuman yang akan dijatuhkan kepadamu, atau tetap berpegang teguh dengan mimpiku yang dinilai sebagian besar orang, termasuk dirimu ketika itu, sebagai ‘suatu hal yang konyol’? Aku bingung dan pusing menghadapi dilema ini. Sayangnya kawan,waktu tidak pernah mengenal kata bingung maupun pusing. Yang ia tahu hanyalah terus berjalan seperti yang dititahkan Sang Pencipta kepadanya. Dan sekarang, di ruang sidang ini, ia tak lagi berjalan santai menyusulku. Tapi kini ia telah mengejarku agar segera menentukan pilihan atas dirimu. Sial!!!

Bagaimana bisa aku harus menjatuhkan vonis hukuman terhadap sepupu yang 15 tahun lalu merupakan teman terbaikku? Dan yang terparah, bagaimana mungkin aku harus menghakimi seseorang yang paling memahami mimpiku seperti dirimu itu? Atau, astaga, jangan-jangan kau sudah lupa dengan pertemuan terakhir kita saat 15 tahun yang lalu?

(bersambung ke bagian ke 3 Insya Allah...)

Komentar

  1. Duh🙈🙈🙈

    Ini ujian terbesar untuk seorang hakim yang jujur.

    Jadi inget cerita cermed karangan siapa yah, lupa lagi.

    Tentang seorang ayah yang harus menghukum anaknya dengan hukuman memotong tangannya karena menyukai anak gadis desa sebelah. Lalu si ayah pun merasa dilematis antara melaksanakan hukuman atau mengampuninya..

    BalasHapus
  2. Woo jadi sepupunya to, waah jadi si aku ini profesinya hakim. Lanjutkan kak, semakin penasaran nii

    BalasHapus
  3. Astagfirullah jangan sampai seperti kata kacang lupa kulitnya

    BalasHapus
  4. Wah, terjawab sudah. Btw, mimpinya keren-keren. Makin penasaran sama kelanjutannya 😍

    BalasHapus
  5. Ironi sekali...terjebak di antara rasa yang sama-sama bernilai😭

    BalasHapus
  6. Bagus2 banget ceritanya… Ini juga bagus. Aku malah belum buat. Hikz

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

A-Ambisi

KEPING PERTAMA : Garis Nadir

KEPING KELIMA : Aroma Hujan

CERBUNG : Mimpi di Ujung Meja Hijau (Bagian 3)