CAKRAWALA RINDU : Sketsa Sembilan

[Source : Here]

"Oi Bujang, jika suatu hari nanti engkau jatuh cinta, jadilah selayaknya seorang Rahwana dari Alengka." 


Aku terkesiap menoleh. Kata-kata Pak Tua barusan, dari nadanya, aku tahu dia sedang tidak bercanda. Tapi seriuskah? Seorang raja yang dicatat di buku-buku hikayat sebagai sosok durjana penuh angkara murka?


"Oh ayolah, Pak Tua, berhenti menyebalkan seperti biasanya. Jelaskan saja padaku, tanpa perlu tersenyum usil seakan-akan aku begitu bodohnya tak mampu menebak apapun." gerutuku merajuk kesal.


"Hahaha..." untuk orang-orang seusianya, aku bahkan terkejut Pak Tua masih bisa tertawa selepas itu.


"Betul, Bujang. Rahwana dari Alengka. Jadilah seperti dia, yang dalam urusan hati, pantang baginya untuk mundur melangkah, meskipun nyawa taruhannya. Dia membuktikan kepada kita, bahwa jatuh cinta pun terkadang memang tak membutuhkan alasan tertentu. Begitu dia merasa menaruh hati kepada sang Dewi, saat itu juga dia putuskan untuk membawanya ke negeri yang dia pimpin."


"Tapi, bukankah itu yang disebut dengan menculik, Pak Tua?" aku menyanggah, berusaha menolak mentah-mentah gagasan barusan.


"Itu betul, Bujang. Namun itulah yang menjadi pembuktian cinta dari seorang Rahwana. Daripada meratapi nasib dan menunggu hingga penghujung usia, dia lebih memilih untuk bertindak dengan caranya sendiri. Mengambil keputusan, mempertaruhkan segala-segalanya."


Aku terdiam. 


"Dan tentang kehormatan, adakah yang sanggup sehebat Rahwana? Bayangkan Bujang, satu dasawarsa membersamai Dewi Sinta, seorang putri dengan kecantikan yang begitu mahsyur di zaman itu, adakah kemudian Rahwana mengambil paksa kehormatan darinya?


Tidak, Bujang. Alih-alih memperlakukannya dengan semena-mena, Rahwana justru menempatkan sang dewi di Taman Argasoka yang begitu indah, lengkap dengan semua keperluannya.


Setiap hari Rahwana datang menemui sang dewi. Membawakan hadiah terbaik, membacakan syair terindah, atau bahkan hanya sekedar mengajaknya mengobrol singkat. Semua itu memang mentah-mentah ditolak oleh Dewi Sinta. Tapi tak mengapa! Sungguh! Karena keesokan harinya, Rahwana akan tetap kembali datang, dengan secercah harapan di balik senyum tulusnya. 


Sekali-dua kali, bolehlah dia merasa kesal atau gusar dengan sikap sang Dewi, tapi itu bukan alasan baginya untuk memaksakan kehendaknya melalui kekuasaan dan kekuatan yang dia miliki. Karena baginya, Bujang, ini adalah perihal kesungguhan cintanya pada sang Dewi. 


Duhai, bukankah Rahwana terlihat begitu ksatria dibanding anak-anak muda zaman sekarang, Bujang?"


Sejenak ada jeda yang hadir menggantung, menemani petang kami di pinggir Sungai Kapuas. 


"Hari itu Rahwana maju menyongsong Sri Rama di medan laga. Dia tahu dirinya akan tersungkur ke pelukan bumi pertiwi. Tapi tak mengapa. Setidaknya dia tak menyesali apapun. Dia gugur di atas keyakinan akan cinta sucinya pada Dewi Sinta. Dia mati sembari tersenyum, penuh kerelaan yang menggetirkan hati."


Aku masih tertegun. Tanpa kusadari, air mataku perlahan mulai mengalir turun. Aku bisa merasakan ketulusan cinta dari sang Rahwana, raja raksasa dari Alengka tersebut. Aku bisa turut membayangkan segenap pengorbanan dalam perjuangannya memenangkan perasaan sang Dewi Sinta. Sekalipun tak berbalas. Sekalipun bertepuk sebelah tangan. Selama 10 tahun.


"Ah, cerita yang indah, bukan? Tapi setiap orang berhak atas kisah kasih mereka masing-masing. Engkaupun demikian, Bujang. Boleh jadi, akan ada penghujung yang berbeda bagi cerita cintamu. Yang terpenting teruslah berusaha, teruslah memperbaiki diri. Jangan pernah berhenti meyakini, bahwa semua ini merupakan bagian terindah dari keping kehidupan yang diberikan Sang Pencipta. Ketika itu telah tuntas menjadi sukma dalam dirimu, Bujang, di saat itulah engkau genap berhasil melampaui seorang Rahwana, durjana malang dari Alengka."


Aku tersenyum. Kali ini benar-benar tulus. 
Pak Tua selalu tahu bagaimana menghibur orang yang sedang patah hati.


"Terima Kasih."


----------------


Ibukota Lama
23 Ramadhan 1441 H - 17.45
Tentang Borno

Komentar