CHIEF's NOTE : Tentang Memimpin


----------------


Seorang lelaki tinggi besar berlari-lari di tengah padang. Siang itu, mentari seakan didekatkan hingga sejengkal. Pasir membara, ranting-ranting menyala dalam tiupan angin yang keras dan panas. Dan lelaki itu masih berlari-lari. Lelaki itu menutupi wajah dari pasir yang beterbangan dengan surbannya, mengejar dan menggiring seekor anak unta.


Di padang gembalaan tak jauh darinya, berdiri sebuah dangau pribadi berjendela. Sang pemilik, ’Utsman ibn ‘Affan, sedang beristirahat sambil melantun Al Quran, dengan menyanding air sejuk dan buah-buahan. Ketika melihat lelaki nan berlari-lari itu dan mengenalnya,


“Masya Allah” ’Utsman berseru, ”Bukankah itu Amirul Mukminin?!”


Ya, lelaki tinggi besar itu adalah ‘Umar ibn Al Khaththab.


”Ya Amirul Mukminin!” teriak ‘Utsman sekuat tenaga dari pintu dangaunya,


“Apa yang kau lakukan tengah angin ganas ini? Masuklah kemari!” Dinding dangau di samping Utsman berderak keras diterpa angin yang deras.


”Seekor unta zakat terpisah dari kawanannya. Aku takut Allah akan menanyakannya padaku. Aku akan menangkapnya. Masuklah hai ‘Utsman!” ’Umar berteriak dari kejauhan. Suaranya bersiponggang menggema memenuhi lembah dan bukit di sekalian padang.


“Masuklah kemari!” seru ‘Utsman, 
“Akan kusuruh pembantuku menangkapnya untukmu!”.


”Tidak!”, balas ‘Umar, “Masuklah ‘Utsman! Masuklah!”


“Demi Allah, hai Amirul Mukminin, kemarilah, Insya Allah unta itu akan kita dapatkan kembali.“


“Tidak, ini tanggung jawabku. Masuklah engkau hai ‘Utsman, anginnya makin keras, badai pasirnya mengganas!”


Angin makin kencang membawa butiran pasir membara. ‘Utsman pun masuk dan menutup pintu dangaunya. Dia bersandar dibaliknya & bergumam,


”Demi Allah, benarlah Dia & RasulNya. Engkau memang bagai Musa. Seorang yang kuat lagi terpercaya.”


---------------------


Tentang memimpin, saya sering sendiri merenung.


Di penghujung petang jelang berganti malam, atau ketika duduk menyepi di tepi surau, saya kerap terngiang cerita-cerita kepemimpinan seperti di atas.


Sudahkah saya menjadi seorang leader yang baik? Yang adil? Yang menepati setiap butir darma dalam ikrar pelantikan? Yang tidak menzhalimi seorangpun diantara rekan-rekan saya? Sudahkah saya menyiapkan sebaik-baik hujjah ketika ditanya satu per satu perihal seluruh urusan kepemimpinan ini?


Di satu titik, saya sejujurnya merasa sangat takut. Ngeri. Setengah mati. Membayangkan bahwa akan ada hari dimana saya harus mempertanggung jawabkan semua perkara ini di hadapan Rabb Yang Maha Melihat. Dibacakan satu per satu kezhaliman serta kelalaian yang kiranya bacut terjadi di bawah mata pengawasan kepemimpinan saya. Duhai, adakah yang masih merasa aman?


Saya masih merasa jauh dari semua perasaan aman tersebut. Mendekati pun bahkan mungkin tidak. Karena hakikatnya diri ini masih berlumur dalam genangan maksiat;  -sudah berat, mengapa masih harus bertambah berat? 


Amanah kepemimpinan adalah suatu yang memberatkan pundakmu! Larilah darinya jika engkau mampu! 


Tapi, apakah lantas itu menjadi satu-satunya jawaban?


Tentang orang-orang yang sudah terlanjur duduk di tampuk kursi kekuasaan, berlaku adil adalah suatu keharusan. Meski kita tentu belum sebaik kriteria seorang Umar bin Khattab, tapi setidaknya mari kita selangkah lebih dekat untuk meneladani kepemimpinan beliau.


Adanya jabatan, bukan lantas mengizinkan kita untuk berleha merasa nyaman. Tapi sejatinya, Allah sedang menguji kita dengan memberi kesempatan untuk berbagi kebermanfaatan yang lebih banyak, berbuat kebaikan yang lebih utama, melalui ragam program serta keputusan yang kita eksekusi sebagai seorang Leader.


Itulah amanah.


Tentang memimpin, memang terbilang begitu berat. Ketika waktu, tenaga, serta pikiran kita tak lagi sekedar untuk kapasitas kepentingan pribadi, namun beralih menjadi sebentuk tanggung jawab untuk mengayomi masyarakat banyak, melindungi orang-orang yang berada di belakang barisan kita, dan membersamai mereka dalam setiap masalah dan problematika.


Memang berat, tapi justru karena itulah, para pemimpin yang adil mendapat ganjaran terbesar di sisi Allah, sebagai golongan pertama yang Dia naungi dalam lindungan-Nya ketika hari dimana tak ada naungan selain naungan milik-Nya. Memang berat, tapi justru karena itulah, para pemimpin adil adalah orang-orang yang paling berhak mendapat dukungan doa dari segenap kaumnya. Agar diberi kekuatan, kesehatan, kemudahan, dan tentu keberkahan.


Tentang memimpin, bukan berarti sekedar berdiri di atas lalu berbuat semena-mena. Memimpinlah dengan sebaik-baik kehormatan! Itulah cara kita membalas orang-orang sudah sedia percaya menempatkan kita dalam posisi tersebut. Dan dengan itulah, semoga kerelaan serta permaafan dari mereka pada akhirnya nanti turut meringankan langkah kita ketika kelak mengahadap Dzat Pemilik semesta alam.


Kepemimpinan memang memberatkan pundak bagi setiap dari kita yang mengembannya, namun justru karena berat itulah, maka kita harus begitu berhati-hati agak tak jatuh dan terpesok. Ya kan?


Bersama, mari kita terus berlayar. Doakan saya untuk selalu amanah. Ingatkan saya bila sempat terselip khilaf di antara kita. Dengan itulah, semoga semua perjalanan ini akan berujung indah hingga bersama-sama menapakkan langkah menuju jannah.


Allahumma Amiin.


--------------------


ps. Cerita di bagian paling atas, kami kutip langsung dari tulisan salah satu Gurunda kami, Ustadz Salim A. Fillah. Semoga berkenan.


------------------------


Ibukota,
20 Sya'ban 1441 H - 21.03
Perasaan Lega

Komentar