KEPING KEDUA PULUH LIMA : Cemberut



Sesekali, bolehlah kita ber-cemberut ria. Itu justru menandakan bila kita hanyalah sekadar manusia, bukan?


Bahwa kita ini seutuhnya manusia, diciptakan dari sekumpulang daging, darah, dan tulang. Bahwa kita ini manusia apa adanya, begitu ringkih untuk sekadar menahan sakit yang turut terkira, atau sekedar mengarang emosi yang terlanjur tertera. 


Sesekali, bolehlah kita ber-cemberut ria. Dengan itu, kita justru belajar jadi tahu bahwa raut muka kita masih seutuhnya terkoneksi dengan selaksa hati tempat perasaan kita berpadu makna. 


Kita masih sempurna sebagai seorang manusia. Lengkap dengan aneka ihwal perasaan dengan segala macam tafsirannya. Nurani kita masih ada. Kemanusiaan kita tak mati. Kasing sayang kita tak surut beranjak layu. Pun amarah, rupanya masih bersisa seberapa. 


Bukankah ini, sesuatu yang layak untuk kita syukuri bersama?


Bayangkan, bila suatu hari nanti, raut muka tak lagi segaris haluan dengan instruksi hati dan akal. 


Kasihan para politikus yang tak lagi bisa menebar janj-janji kampanye dengan senyumannya yang paling manis. Kasihan para anggota dewan yang tak lagi bisa marah-marah menebar opini di media televisi. Kasihan para artis yang tak lagi dapat mencari nafkah lewat kemampuan akting mereka di depan kamera. 


Dan kasihan KITA, yang tak lagi mampu mengekspresikan perasaan cinta, haru, gundah, maupun bahagia kepada orang-orang terkasih. Sekedar hambar, yang lantas, apa bedanya kita dengan robot buatan pabrik, bukan?


Sesekali, bolehlah kita ber-cemberut ria. Agar kiranya kita dapat belajar bertafakkur dari hal-hal paling remeh, untuk kemudian menghaturkan tasyakur setinggi-tingginya kepada Dzat Maha Sempurna yang menciptakan kita dengan tanpa kealpaan. Karena sesiapa yang mampu bersyukur terhadap yang sedikit, niscaya lebih mudah baginya untuk kembali bersyukur manakala mendapat anugerah lebih banyak. Ya, kan? 


Jadi, selamat ber-cemberut ria. Namun ingat, hanya sesekali, lho ya. Karena kata orang, cemberut yang terlanjur akut dapat membuat hati turut mengkerut, serta menyebabkan lingkaran perkawanan kita ikut menciut. Mau? Saya mah ogah, atuh. 


------------------


Ibukota Lama,
1.52 - 10 September 2019
Senyum yang Bermetamorfosa

Komentar